Monday, December 27, 2004

Duka


Please Click here: Indonesia Help for Online information about resources, aid and donations for quake and tsunami victims in Aceh & North Sumatra (Indonesia), and here: Air Putih Media Peduli Bencana Gempa dan Tsunami.

Turut berdukacita... buat korban bencana tsunami di Indonesia dan negara Asia lainnya...
...sungguh, saya kehilangan kata-kata,
hanya mampu mendaras doa di bilik hati saja...
...sungguh, damai adalah suatu hadiah mega mewah
ia muncul tiba-tiba sekilat perginya...

(ah ya, kelak mungkin saya akan menulis pikiran panjang saya tentang ini...)

Friday, December 24, 2004

Peace

Aku hanya mampu menyesap syukur...
damai yang kurasa seperti kemilau lembut matahari senja kemerahan di garis barat, yang mendongak menghadap bulan bulat putih berkabut di langit timur.
Damai, tanpa pertentangan, tanpa pertanyaan.
Saat-saat ini adalah saat aku berjalan melayang....

Thursday, December 23, 2004

Arisan, Natal


Aku baru selesai nonton Arisan, yang ternyata menang FFI (telat banget ya...?). Setelah sekian lama film itu teronggok di antara tumpukan film lain (makasih ya Gunar & Ndew, sori kelamaan nginep). Aku tertawa-tawa sendiri melihat satirnya. Sederhana tapi mengena. Film ini seperti halnya film Indonesia lain: bisa ditinggal beberapa menit di sana-sini tanpa harus dipause. Karena jalan ceritanya mudah ditebak tanpa harus merasa kehilangan sekian menit itu. Tapi sungguh, film ini mampu menghiburku.

Eniwei, bukan maksudku menulis resensi. Entah apapun latar belakangnya, arisan sudah berubah. Tak sekedar jadi tempat berkumpul akrab dan mengocok undi. Tetapi jadi ajang pamer dan menaikkan gengsi. Suguhannya harus wah, dengan hiasan gemerlap di meja saji. Tidak mudah menjadi diri sendiri karena sudah ada standar yang harus dipenuhi. Film Arisan buatku jadi analogi perayaan Natal di sini, mungkin di Amerika umumnya.

Christmas, dengan berbagai latar belakang yang mudah dicari dengan sekali klik, di sini sudah nyaris kehilangan makna. Keindahannya tetap terjaga dengan hiasan lampu-lampu, lagu-lagu, christmas tree (ya, aku juga pasang satu), dan berkumpul bersama keluarga. Dengan advertensi 'spirit of giving' (seorang kawan memelesetkannya jadi 'spirit of shopping'), seluruh media dibombardir dengan beragam produk christmas gift. Para ibu terkadang malah stress karena harus menyelenggarakan pesta yang sempurna dengan hiasan senada. Di negara yang memang merayakannya, aku merasa Natal sudah jadi komoditi, komersial. Seperti Arisan.

Melihat suasana di sini, di saat-saat ini...aku malah jadi kangen masa kanak. Bersama kakak-adik tersayang dan Ibu-Bapak. Dan sebuah Natal yang sederhana.

Selamat Natal buat Keluarga nun jauh....

Sunday, December 19, 2004

Vakum


Terkadang, aku ingin di satu titik waktu berhenti denyut. Senja jam empat musim dingin, di pelabuhan. Di titik ini mendadak semua orang berhenti bergerak. Ada anak kecil tertawa dengan mulut ternganga. Seorang wanita mengepul asap rokok yang menggantang di merah rekah bibirnya. Pria kondektur taksi air mengangkat jangkar dari laut beriak beku. Pelayan menuang minuman di gelas, airnya melayang di udara. Seorang anak melompat terhenti di udara dengan bola mengambang nyaris dalam genggam. Seekor camar menukik di tiga senti tepat di atas remah roti. Ya, di titik ini semua gerakan terhenti. Udara tak lagi terhirup, matahari mengintip di sela kabut, warna jingganya abadi. Aku mengira akupun membeku. Ternyata tidak.

Di titik ini aku bisa menghirup laut, memandang petang berwarna sempurna, berjalan di antara patung manusia. Semua senyap. Hirup nafaskupun tak terdengar, karena udara tak mengalirkan bunyi. Berjalan dalam vakum. Hingga lima menit merayap, tiba-tiba semua serentak bergerak. Kembali seperti semula, seperti tak terjadi apa-apa.

Malam ini, keinginan itu muncul lagi. Satu titik saat waktu berhenti denyut. Karena butiran indah itu turun perlahan. Melayang lembut serupa tirai. Kala terhenti, ia menjadi jutaan titik putih di udara. Berlangit kelam tanpa lintang. Dingin menusuk kulit tanpa angin, karena tak ada lagi gerak.

Aku bisa memandang titik putih itu dari dekat. Lebih jelas karena ia membeku di udara. Bentuknya serupa renda bulat berlubang halus. Sangat halus. Ah, ternyata benar... ia memang serupa renda, sekarang aku percaya. Aku enggan menyentuhnya. Karena ia akan lenyap begitu kusentuh, tak menjadi apa-apa. Tanah di pijakan berselimut debu putih lembut. Cantik dan menggodaku untuk terbenam di dalamnya. Tapi aku hanya punya lima menit, seperti biasa. Maka akupun hanya terdiam. Menikmati renda putih halus itu. Menikmati indah... hingga vakum dan senyapku lenyap.

Friday, December 10, 2004

Angels & Demons; Antara Putih dan Hitam


Menempatkan perdebatan antara science vs religi bersamaan dengan thriller tampaknya berlebihan. Angels & Demons -yang kubaca akibat penasaran setelah Da Vinci Code dan ternyata punya plot bertempo sama- membuktikan ia jadi tergopoh ingin memampatkan seluruh tema dalam satu gerbong. Jadinya di akhir halaman malah mengecewakan, karena endingnya terlalu dipaksakan. Apalagi ia ingin jadi bombastis dan serba mega ala Amerika. Buat pembaca di sini disebut seru dan highly recommended, tapi buat pembaca dari luar US -Itali atau Jepang misalnya- banyak hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya tokoh bernama Olivetti yang diambil dari merek mesin ketik padahal di Itali sendiri nama ini nggak umum dipakai. Atau kontradiksi tokoh-tokohnya yang agak berlebihan. Buatku sendiri kelompok Illuminati -yang jadi sentral dan diulas cukup panjang di sini- ternyata hanya jadi kedok satu orang malah membuat antiklimaks yang disayangkan. Rekomendasi: bolehlah dibaca di waktu senggang, tapi nggak usah dikoleksi, heheh... :)

Science dan religi yang kulihat selama ini adalah dua dunia yang terpisahkan, hampir tabu untuk dibicarakan. Karena dibesarkan dan sekolah yang memang mengacu ke arah ini. Akibatnya banyak fakta science yang tidak seluruhnya terjelaskan, guru pun belum siap dengan pertanyaan bertopik ini. Akibat lain adalah fakta sejarah yang juga mengambil jalan putar dan dijelaskan dalam kerangka menghindari terjadinya konflik. Akibat besarnya: kita diajarkan hal-hal yang terkadang bukan hal sebenarnya dan berdampak pada kebingungan, atau ketidaksiapan pada fakta science dan sejarah. Akibatnya di lain pihak: aku malah merasakan pentingnya faith yang sudah disusupkan akibat model pendidikan yang kusebut di atas saat menghadapi kontradiksi. Mungkin ini yang disebut pendidikan nurani.

Yang menarik dalam Angels & Demons adalah penjelasan panjang lebar mengenai CERN (pencipta WWW) di Switzerland, dan konsep mengenai antimatter yang dijelaskan dengan mudah. Mengingatkan pada Burung-Burung Manyar-nya alm. YB Mangunwijaya yang juga sedikit mengupas CERN, dan menurutku punya tema lebih menarik dalam gaya literatur bertempo lambat. Pertentangannya kurang lebih sama tapi lebih humanis. Antara idealisme dan praktikalisme, antara luar negeri dan dalam negeri, antara rasio dan hati. Dari dua kutub kontradiksi, seringkali wilayah abu-abu tidak ada sama sekali. Dan saat ini terjadi, kita harus memilih. Pilihan yang seringkali belum tentu benar, tetapi seringkali tidak salah jika kita menuruti nurani. Karya literatur negeri sendiri yang sudah diterjemahkan sebagai The Weaverbirds dalam bahasa Inggris ini meraih SEA Write Award dari Thailand dan menurutku patut dikoleksi.

Kalau mau jujur, kita -ah, aku tepatnya- seringkali lebih memilih abu-abu saja. Karena ia tak harus dicap gelap karena hitam, atau diejek terang karena putih. Karena ia tak harus bangun kala siang dan tak harus lelap di waktu malam. Di bawah abu-abu kita -ah, aku tepatnya- tak harus bertanggung jawab pada siapa-siapa. Dan saat harus memilih, aku tak pernah harus ke ujung kutubnya (toh ada manusia lain di sana...). Akibatnya, terlalu enak terlalu lama berada di bawah kelabu, aku bungkam saat gelap menyerang dan silau saat terang membentang...aku hanya melayang kabut di atas tanah hitam berlangit putih...

Tuesday, December 07, 2004

Ada Apa Dengan Cinta...?

It is not the answer that enlightens, but the question.
Eugene Ionesco Decouvertes
Quote di atas kutangkap di satu pojok halaman terbitan berkala. Dan yang langsung hinggap di kepala adalah judul film lama di atas. Film yang kuingat bukan hanya karena kesegarannya, tetapi karena ia punya Tanda Tanya. Efek tanda tanya itu mampu merangkai beragam interpretasi: kuatir, was-was, gosip, selain bisa jadi cerita apa saja tentang Cinta. Bayangkan kalau judulnya diganti: Cinta Sedang Jatuh cinta, titik. Kurang menggigit, ya? Pertanyaan ini kuputar di otak, kala kelakuanku berubah menyebalkan serba nggak jelas: Ada apa dengan kamu, Dy?

Pertanyaan juga manjur mengungkap kisah misteri yang tak terpecahkan. Mengingatkanku pada tokoh Hercule Poirot dengan sel-kecil-kelabu-nya. Setiap ada pembunuhan, ia punya satu pertanyaan kunci: "siapa orang terakhir yang ditemui korban sebelum meninggal?" Dan tokoh ini mampu mengungkap berbagai misteri yang diawali dan dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dengan brilian. Satu-satunya buku seri misteri yang kusuka karena tokoh antiknya dan yang selalu gagal kutebak tokoh penjahatnya. Nah, pertanyaan jenis ini kupakai kalau aku lupa meletakkan barang -kunci misalnya- di suatu tempat," Di mana terakhir kali kamu pakai barang itu?"

Pertanyaan juga bisa jadi bintang biduk. Dalam buku karya peraih nobel yang sudah lama sekali kubaca: "Quo Vadis?", Peter (Petrus) melarikan diri dari kota Roma yang berselimut api saat pengikut Jesus dikejar-kejar untuk dimusnahkan. Di Via Appia ia berpapasan wujud Jesus, dan Petrus bertanya "Quo vadis, Domine?" Pertanyaan yang mengundang jawab Jesus," Ke Roma...untuk disalib lagi..." Berbaliklah Petrus ke Roma dan menjadikan Roma awal penyebaran agama Kristen di dunia dan mati sebagai martir. Di luar keindahan buku ini, yang membekas adalah, "Kamu sebenarnya mau ke mana?", saat aku kehilangan biduk, tersesat hilang arah.

Atau dalam film-film roman komedi yang banyak mengangkat kisah pernikahan. Si wanita dalam segala kehebohan persiapan dan urusan resepsi yang nggak habis-habis, tiba-tiba terdiam dan panik. "Sebenarnya aku memang mau nikah nggak ya...?" Lalu temannya akan bikin satu pertanyaan yang langsung menyelesaikan masalah; "Kamu cinta dia...?" Ah, sederhana ya? Filmnya bisa jadi diakhiri dengan perkawinan atau nggak, tergantung jawaban si wanita. Buatku, pertanyaan ini membantu kala hendak memutuskan diri dengan sesuatu: kerja, atau lingkungan misalnya: "Cukup cintakah kamu dengan yang dilakukan sekarang?" Karena ini membantu menyederhanakan hal-hal yang seringkali dipersulit sendiri.

Ahh... aku melantur, tapi sungguh quote itu mengingatkanku akan banyak hal. Tak usahlah seperti karya jurnalis dengan 5W+1H, tapi aku menyempatkan untuk bertanya pada diri sendiri. Mau apa ya aku hari ini? Entah saat sibuk sekali atau nggak ada kegiatan sama sekali. Jawabnya bisa panjang berliku, atau cukup singkat saja. Bersantai dan bermain tanpa merasa bersalah karena rumah berantakan, atau bikin target untuk menyelesaikan sesuatu. Paling tidak, aku jadi tahu apa yang harus atau nggak harus kulakukan atau apa yang kelak akan kulakukan. Ya, pencerahan memang seringkali muncul karena pertanyaan.

Thursday, December 02, 2004

Spark of Colors


I love colors. They don’t just exist and standstills but give us ideas and feelings. They are such a perfect art created by The One that none of them are bad. They are just simply beautiful... don't you think? That is why going to a bead store for me is like a kid in the candy store. Colorful candy store that is. Yup, it’s so beautiful and yummy I just want to grab everything until my stomach get hurts. Well, in beads case: until I got pocket-ache…. :)

Using colors is just so common but it’s really challenging once you combine them. If you still remember my Spark of Stones project, I haven’t use as much colors since I just started. But I couldn’t resist myself to explore more on colors and shapes and materials. So I made some new beaded jewelry in new tones. I have some notion though that I designed them based on my taste, which made me surprised that ones of not-my-favorite piece got sold and the ones that I think look better just flirt me to be worn.

So please take a moment and click here: Spark of Stones – 3, and tell me: which one would you like best? (Just put the photo number if you like). You could also check out the link at sidebar where I also put a new feature: a chatterbox so you could splash some ideas or suggestions. Thanks so much!