Monday, December 27, 2004

Duka


Please Click here: Indonesia Help for Online information about resources, aid and donations for quake and tsunami victims in Aceh & North Sumatra (Indonesia), and here: Air Putih Media Peduli Bencana Gempa dan Tsunami.

Turut berdukacita... buat korban bencana tsunami di Indonesia dan negara Asia lainnya...
...sungguh, saya kehilangan kata-kata,
hanya mampu mendaras doa di bilik hati saja...
...sungguh, damai adalah suatu hadiah mega mewah
ia muncul tiba-tiba sekilat perginya...

(ah ya, kelak mungkin saya akan menulis pikiran panjang saya tentang ini...)

Friday, December 24, 2004

Peace

Aku hanya mampu menyesap syukur...
damai yang kurasa seperti kemilau lembut matahari senja kemerahan di garis barat, yang mendongak menghadap bulan bulat putih berkabut di langit timur.
Damai, tanpa pertentangan, tanpa pertanyaan.
Saat-saat ini adalah saat aku berjalan melayang....

Thursday, December 23, 2004

Arisan, Natal


Aku baru selesai nonton Arisan, yang ternyata menang FFI (telat banget ya...?). Setelah sekian lama film itu teronggok di antara tumpukan film lain (makasih ya Gunar & Ndew, sori kelamaan nginep). Aku tertawa-tawa sendiri melihat satirnya. Sederhana tapi mengena. Film ini seperti halnya film Indonesia lain: bisa ditinggal beberapa menit di sana-sini tanpa harus dipause. Karena jalan ceritanya mudah ditebak tanpa harus merasa kehilangan sekian menit itu. Tapi sungguh, film ini mampu menghiburku.

Eniwei, bukan maksudku menulis resensi. Entah apapun latar belakangnya, arisan sudah berubah. Tak sekedar jadi tempat berkumpul akrab dan mengocok undi. Tetapi jadi ajang pamer dan menaikkan gengsi. Suguhannya harus wah, dengan hiasan gemerlap di meja saji. Tidak mudah menjadi diri sendiri karena sudah ada standar yang harus dipenuhi. Film Arisan buatku jadi analogi perayaan Natal di sini, mungkin di Amerika umumnya.

Christmas, dengan berbagai latar belakang yang mudah dicari dengan sekali klik, di sini sudah nyaris kehilangan makna. Keindahannya tetap terjaga dengan hiasan lampu-lampu, lagu-lagu, christmas tree (ya, aku juga pasang satu), dan berkumpul bersama keluarga. Dengan advertensi 'spirit of giving' (seorang kawan memelesetkannya jadi 'spirit of shopping'), seluruh media dibombardir dengan beragam produk christmas gift. Para ibu terkadang malah stress karena harus menyelenggarakan pesta yang sempurna dengan hiasan senada. Di negara yang memang merayakannya, aku merasa Natal sudah jadi komoditi, komersial. Seperti Arisan.

Melihat suasana di sini, di saat-saat ini...aku malah jadi kangen masa kanak. Bersama kakak-adik tersayang dan Ibu-Bapak. Dan sebuah Natal yang sederhana.

Selamat Natal buat Keluarga nun jauh....

Sunday, December 19, 2004

Vakum


Terkadang, aku ingin di satu titik waktu berhenti denyut. Senja jam empat musim dingin, di pelabuhan. Di titik ini mendadak semua orang berhenti bergerak. Ada anak kecil tertawa dengan mulut ternganga. Seorang wanita mengepul asap rokok yang menggantang di merah rekah bibirnya. Pria kondektur taksi air mengangkat jangkar dari laut beriak beku. Pelayan menuang minuman di gelas, airnya melayang di udara. Seorang anak melompat terhenti di udara dengan bola mengambang nyaris dalam genggam. Seekor camar menukik di tiga senti tepat di atas remah roti. Ya, di titik ini semua gerakan terhenti. Udara tak lagi terhirup, matahari mengintip di sela kabut, warna jingganya abadi. Aku mengira akupun membeku. Ternyata tidak.

Di titik ini aku bisa menghirup laut, memandang petang berwarna sempurna, berjalan di antara patung manusia. Semua senyap. Hirup nafaskupun tak terdengar, karena udara tak mengalirkan bunyi. Berjalan dalam vakum. Hingga lima menit merayap, tiba-tiba semua serentak bergerak. Kembali seperti semula, seperti tak terjadi apa-apa.

Malam ini, keinginan itu muncul lagi. Satu titik saat waktu berhenti denyut. Karena butiran indah itu turun perlahan. Melayang lembut serupa tirai. Kala terhenti, ia menjadi jutaan titik putih di udara. Berlangit kelam tanpa lintang. Dingin menusuk kulit tanpa angin, karena tak ada lagi gerak.

Aku bisa memandang titik putih itu dari dekat. Lebih jelas karena ia membeku di udara. Bentuknya serupa renda bulat berlubang halus. Sangat halus. Ah, ternyata benar... ia memang serupa renda, sekarang aku percaya. Aku enggan menyentuhnya. Karena ia akan lenyap begitu kusentuh, tak menjadi apa-apa. Tanah di pijakan berselimut debu putih lembut. Cantik dan menggodaku untuk terbenam di dalamnya. Tapi aku hanya punya lima menit, seperti biasa. Maka akupun hanya terdiam. Menikmati renda putih halus itu. Menikmati indah... hingga vakum dan senyapku lenyap.

Friday, December 10, 2004

Angels & Demons; Antara Putih dan Hitam


Menempatkan perdebatan antara science vs religi bersamaan dengan thriller tampaknya berlebihan. Angels & Demons -yang kubaca akibat penasaran setelah Da Vinci Code dan ternyata punya plot bertempo sama- membuktikan ia jadi tergopoh ingin memampatkan seluruh tema dalam satu gerbong. Jadinya di akhir halaman malah mengecewakan, karena endingnya terlalu dipaksakan. Apalagi ia ingin jadi bombastis dan serba mega ala Amerika. Buat pembaca di sini disebut seru dan highly recommended, tapi buat pembaca dari luar US -Itali atau Jepang misalnya- banyak hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya tokoh bernama Olivetti yang diambil dari merek mesin ketik padahal di Itali sendiri nama ini nggak umum dipakai. Atau kontradiksi tokoh-tokohnya yang agak berlebihan. Buatku sendiri kelompok Illuminati -yang jadi sentral dan diulas cukup panjang di sini- ternyata hanya jadi kedok satu orang malah membuat antiklimaks yang disayangkan. Rekomendasi: bolehlah dibaca di waktu senggang, tapi nggak usah dikoleksi, heheh... :)

Science dan religi yang kulihat selama ini adalah dua dunia yang terpisahkan, hampir tabu untuk dibicarakan. Karena dibesarkan dan sekolah yang memang mengacu ke arah ini. Akibatnya banyak fakta science yang tidak seluruhnya terjelaskan, guru pun belum siap dengan pertanyaan bertopik ini. Akibat lain adalah fakta sejarah yang juga mengambil jalan putar dan dijelaskan dalam kerangka menghindari terjadinya konflik. Akibat besarnya: kita diajarkan hal-hal yang terkadang bukan hal sebenarnya dan berdampak pada kebingungan, atau ketidaksiapan pada fakta science dan sejarah. Akibatnya di lain pihak: aku malah merasakan pentingnya faith yang sudah disusupkan akibat model pendidikan yang kusebut di atas saat menghadapi kontradiksi. Mungkin ini yang disebut pendidikan nurani.

Yang menarik dalam Angels & Demons adalah penjelasan panjang lebar mengenai CERN (pencipta WWW) di Switzerland, dan konsep mengenai antimatter yang dijelaskan dengan mudah. Mengingatkan pada Burung-Burung Manyar-nya alm. YB Mangunwijaya yang juga sedikit mengupas CERN, dan menurutku punya tema lebih menarik dalam gaya literatur bertempo lambat. Pertentangannya kurang lebih sama tapi lebih humanis. Antara idealisme dan praktikalisme, antara luar negeri dan dalam negeri, antara rasio dan hati. Dari dua kutub kontradiksi, seringkali wilayah abu-abu tidak ada sama sekali. Dan saat ini terjadi, kita harus memilih. Pilihan yang seringkali belum tentu benar, tetapi seringkali tidak salah jika kita menuruti nurani. Karya literatur negeri sendiri yang sudah diterjemahkan sebagai The Weaverbirds dalam bahasa Inggris ini meraih SEA Write Award dari Thailand dan menurutku patut dikoleksi.

Kalau mau jujur, kita -ah, aku tepatnya- seringkali lebih memilih abu-abu saja. Karena ia tak harus dicap gelap karena hitam, atau diejek terang karena putih. Karena ia tak harus bangun kala siang dan tak harus lelap di waktu malam. Di bawah abu-abu kita -ah, aku tepatnya- tak harus bertanggung jawab pada siapa-siapa. Dan saat harus memilih, aku tak pernah harus ke ujung kutubnya (toh ada manusia lain di sana...). Akibatnya, terlalu enak terlalu lama berada di bawah kelabu, aku bungkam saat gelap menyerang dan silau saat terang membentang...aku hanya melayang kabut di atas tanah hitam berlangit putih...

Tuesday, December 07, 2004

Ada Apa Dengan Cinta...?

It is not the answer that enlightens, but the question.
Eugene Ionesco Decouvertes
Quote di atas kutangkap di satu pojok halaman terbitan berkala. Dan yang langsung hinggap di kepala adalah judul film lama di atas. Film yang kuingat bukan hanya karena kesegarannya, tetapi karena ia punya Tanda Tanya. Efek tanda tanya itu mampu merangkai beragam interpretasi: kuatir, was-was, gosip, selain bisa jadi cerita apa saja tentang Cinta. Bayangkan kalau judulnya diganti: Cinta Sedang Jatuh cinta, titik. Kurang menggigit, ya? Pertanyaan ini kuputar di otak, kala kelakuanku berubah menyebalkan serba nggak jelas: Ada apa dengan kamu, Dy?

Pertanyaan juga manjur mengungkap kisah misteri yang tak terpecahkan. Mengingatkanku pada tokoh Hercule Poirot dengan sel-kecil-kelabu-nya. Setiap ada pembunuhan, ia punya satu pertanyaan kunci: "siapa orang terakhir yang ditemui korban sebelum meninggal?" Dan tokoh ini mampu mengungkap berbagai misteri yang diawali dan dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dengan brilian. Satu-satunya buku seri misteri yang kusuka karena tokoh antiknya dan yang selalu gagal kutebak tokoh penjahatnya. Nah, pertanyaan jenis ini kupakai kalau aku lupa meletakkan barang -kunci misalnya- di suatu tempat," Di mana terakhir kali kamu pakai barang itu?"

Pertanyaan juga bisa jadi bintang biduk. Dalam buku karya peraih nobel yang sudah lama sekali kubaca: "Quo Vadis?", Peter (Petrus) melarikan diri dari kota Roma yang berselimut api saat pengikut Jesus dikejar-kejar untuk dimusnahkan. Di Via Appia ia berpapasan wujud Jesus, dan Petrus bertanya "Quo vadis, Domine?" Pertanyaan yang mengundang jawab Jesus," Ke Roma...untuk disalib lagi..." Berbaliklah Petrus ke Roma dan menjadikan Roma awal penyebaran agama Kristen di dunia dan mati sebagai martir. Di luar keindahan buku ini, yang membekas adalah, "Kamu sebenarnya mau ke mana?", saat aku kehilangan biduk, tersesat hilang arah.

Atau dalam film-film roman komedi yang banyak mengangkat kisah pernikahan. Si wanita dalam segala kehebohan persiapan dan urusan resepsi yang nggak habis-habis, tiba-tiba terdiam dan panik. "Sebenarnya aku memang mau nikah nggak ya...?" Lalu temannya akan bikin satu pertanyaan yang langsung menyelesaikan masalah; "Kamu cinta dia...?" Ah, sederhana ya? Filmnya bisa jadi diakhiri dengan perkawinan atau nggak, tergantung jawaban si wanita. Buatku, pertanyaan ini membantu kala hendak memutuskan diri dengan sesuatu: kerja, atau lingkungan misalnya: "Cukup cintakah kamu dengan yang dilakukan sekarang?" Karena ini membantu menyederhanakan hal-hal yang seringkali dipersulit sendiri.

Ahh... aku melantur, tapi sungguh quote itu mengingatkanku akan banyak hal. Tak usahlah seperti karya jurnalis dengan 5W+1H, tapi aku menyempatkan untuk bertanya pada diri sendiri. Mau apa ya aku hari ini? Entah saat sibuk sekali atau nggak ada kegiatan sama sekali. Jawabnya bisa panjang berliku, atau cukup singkat saja. Bersantai dan bermain tanpa merasa bersalah karena rumah berantakan, atau bikin target untuk menyelesaikan sesuatu. Paling tidak, aku jadi tahu apa yang harus atau nggak harus kulakukan atau apa yang kelak akan kulakukan. Ya, pencerahan memang seringkali muncul karena pertanyaan.

Thursday, December 02, 2004

Spark of Colors


I love colors. They don’t just exist and standstills but give us ideas and feelings. They are such a perfect art created by The One that none of them are bad. They are just simply beautiful... don't you think? That is why going to a bead store for me is like a kid in the candy store. Colorful candy store that is. Yup, it’s so beautiful and yummy I just want to grab everything until my stomach get hurts. Well, in beads case: until I got pocket-ache…. :)

Using colors is just so common but it’s really challenging once you combine them. If you still remember my Spark of Stones project, I haven’t use as much colors since I just started. But I couldn’t resist myself to explore more on colors and shapes and materials. So I made some new beaded jewelry in new tones. I have some notion though that I designed them based on my taste, which made me surprised that ones of not-my-favorite piece got sold and the ones that I think look better just flirt me to be worn.

So please take a moment and click here: Spark of Stones – 3, and tell me: which one would you like best? (Just put the photo number if you like). You could also check out the link at sidebar where I also put a new feature: a chatterbox so you could splash some ideas or suggestions. Thanks so much!

Monday, November 29, 2004

S L I

.....
+ ...kamu nggak apa-apa?
= Nggak... memang kenapa?
+ How's your marriage?
= Totally fine, kenapa tanya?
+ Terus kenapa nulis begitu?
= Nulis apa?
+ Blog yang barusan, broken heart, aku sampai merinding bacanya...
= Hehe... bagus dong berarti
+ Tapi itu betulan, apa bukan?
= Suer aku nggak apa2, itukan tulisanku aja
+ Idenya dari mana?
= Ya dari sebaris lagu. Kadang dari buku, film, daun, hujan, anak, tivi...
+ Jadi bukan tentang kamu dong...?
= Itu memang tulisan dan hasil pikiranku, tapi seringkali bukan aku. Aku kan pernah bilang, inspirasi datangnya ndak dari diri sendiri aja...
+ Ah, aku sudah mikir yang nggak-nggak
= Mauku sih bisa nulis kayak aktor memerankan tokoh di film. Bisa jadi apa dan siapa saja. Bisa jadi aku, kamu, ia... keluar dari diri sendiri
+ Jadi kamu aktor yang berhasil dong...?
= Hehehe... kalo dibilang gitu ya makasih...
+ Nanti dianggap lain sama orang yang baca gimana?
= Tau sendiri, aku jarang peduli sama pendapat orang lain tentang aku....
+ Ya sutralah...Damian apa kabar?
= Baik, tambah banyak tingkah tapi lucu...
+ Lagi ngapain dia?
= Hehehe...Lagi ngupil... lho...Damian, jangan... (panik)
+ Kenapa? (was-was)
= Itu... upilnya dimasukin mulut... wah, udah dulu ya. Nanti sambung lagi.
+ Ok deh (nyengir kuda). Love you Sis
= Love you too, bye.

Klik. Tut tut tut tut...

Wednesday, November 24, 2004

Broken


Saat bayangnya membingkai bayangmu, di sepanjang langkah tinggalkan jejak. Tawanya jadi bunga di dada, air matanya pisau menyayat. Kamu jatuh cinta. Saat nafasnya menghirup nafasmu, belainya menjadi candu. Desahnya menggaung di udara, erangnya menghujam jiwa. Kamu jatuh cinta.

Hingga waktu menjadi sang Tuhan. Saat putar dunia tak lagi di kitaran aura, ia menampakkan warna. Rindumu jadi beban, ucapmu jadi usang. Langkahnya menyeret langkahmu, wajahnya memaksamu sembunyi. Kamu patah hati. Saat waktu menjadi sang Tuhan. Sosokmu telusuri bunga lain. Bayangnya membingkai bayang lain. Kamu patah hati.

Kamu bertanya, menuntut, mengumpat, menyumpah. Satu hari, dua minggu, tiga bulan. Kamu jatuh cinta...pada patah hati.

Hingga putar dunia tak lagi di kitaran aura, sejarah mengulang dirinya. Kamu jatuh cinta, menunggu hingga waktu menjadi sang Tuhan, dan kamu jatuh cinta lagi... pada patah hati.

...you fell in love with a broken heart... *


* inspired from a line of "Broken", a song by Robert Downey Jr., released today.

Friday, November 19, 2004

Sungkem

Apa hubunganku dengan Lebaran? Jawabnya: Mbah. Dan sungkem. Saat Lebaran di tanah air, aku sungkem sama Mbah. Kala seorang kawan tahu hal ini dan bahwa Mbahku muslim ia membelalak. Kok bisa? Jawabku: Kenapa nggak? Kawanku ini lebih heran lagi saat tahu anak-anak mbahku alias saudara dari Bapak dan Ibuku punya keyakinan beda-beda. Jadi setiap Lebaran kami sekeluarga bisa menikmati ketupat di rumah Bude, dan setiap Natal semua saudara berkumpul di rumah Bapak. Ucap kawanku lagi: Lho kok bisa sih? Sekarang ganti aku yang heran: Memangnya kenapa?

Tradisi sungkeman telah ada sebelum agama Islam masuk ke Jawa. Kemudian pada jaman walisanga, tradisi itu dikemas dalam ritual Lebaran. Dengan sungkeman itu manusia akan kembali sadar akan sangkaning dumadi (asal-muasalnya) di mana orangtua merupakan orang yang menjadi lantaran dia berada di dunia. Oleh karena itu bagaimana pun keberadaan orangtua berdua, mereka harus dihormati.

Kalau kawan saya menganggap sungkeman itu kejawen, kayaknya nggak tepat juga. Karena kejawen berhubungan dengan ilmu kebatinan, aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke Jawa. Sementara sungkeman sendiri mungkin bisa disamakan dengan kowtow-nya keturunan Tionghoa, bahkan agama Hindu (Bali) punya tradisi semacam sungkeman ini. Kalau ada menteri yang sungkem sama Presiden menurutku ya salah kaprah, karena Presiden bukan raja keraton, apalagi orang tua... sama seperti tradisi lain yang dipelesetkan dalam kehidupan politik/pemerintahan yang notabene banyak orang Jawa-nya.

Aku sungkem ke Mbah selain tanda hormat, juga minta maaf dan doa restu. Walau sekarang hanya lewat telepon. Sama saat aku sungkem pada Bapak dan Ibu saat Natal sekian tahun lalu, dan yang paling berkesan saat aku menikah dulu. Hubungan kekeluargaan bukan dipisahkan oleh kepercayaan agama, tapi direkat oleh keindahan tradisi, yang sayangnya seringkali hilang makna, dan dilupakan. Jadi kalau ada kawan yang bertanya lagi aku bisa menjawab pasti, karena perbedaan harusnya memperkaya. Bukan memisahkan.

Thursday, November 11, 2004

Fiksi: Da Vinci Code


Belum, buku ini belum basi. Di sini paperback-nya belum edar, karena hardcovernya masih laku keras. Ditambah edisi bergambar yang baru edar minggu lalu, seharga $35. Buku ini termasuk jenis yang sulit dihentikan saat sudah mulai dibaca. Seru! Di luar itu, walau disebut-sebut berdasarkan fakta dan riset, buku ini tetaplah fiksi. Dan fiksinya Amerika (catat!). [Dan Brown bikin kesalahan cukup fatal di sini: kurator di Louvre paling tua usianya 65 tahun harus pensiun, sedangkan Sauniere berumur 75 tahun.] Kalau dari fakta dan riset yang ada digabung menjadi cerita dan kesimpulan yang menarik, disinilah kedasyatan Dan Brown sebagai penulis. Karena ia benar, people loves conspiracy.

Titel ini nggak lama lagi bakal nongol di layar lebar, diusung Columbia Pictures. Aku pribadi senang banget baca dan nonton historical fiction. Tapi kalau sudah hasil produksi Amerika (baca: Hollywood); skeptik. Buat perbandingan, coba deh baca bukunya Umberto Eco (penulis asal Itali): The Name of The Rose (filmnya dibintangi Sean Connery). Thriller bersetting biara di Italy abad 14. Pembunuhan gara-gara manuskrip karya Aristoteles yang dilarang edar jaman gereja Katolik berkuasa saat itu. Ada satu lagi buku karya Melvyn Bragg (penulis asal Inggris): Credo, berlatarbelakang abad gelap di Inggris saat Kristen bentrok dengan kepercayaan pagan. Bedanya, Da Vinci Code bersetting jaman sekarang dan bisa dinikmati semua orang dari berbagai kepercayaan, sedang dua judul lain yang kusebut bagus mungkin hanya bisa dinikmati orang yang paling nggak ingin tahu tentang sejarah (kristen).

Eniwei, buat penggemar Dan Brown, tahun depan bakal beredar buku barunya The Solomon Key, bersetting di Washington tentang Freemason, kelompok rahasia yang di dalamnya termasuk beberapa pendiri Amerika, didukung simbolisme dari arsitektur bangunan di Washington (sumber: baltimoresun). Jagoannya: masih Robert Langdon, dan aku yakin bakal didampingi seorang wanita cantik lainnya. Amerika banget nggak sih....?!

Sua



Hmmm... saat lama tak sua, tiba-tiba bertatapan, aku gelagapan. Bicara apa, ya? Mulai dari mana, ya? Ujung lidah terasa penuh kata-kata ingin berebutan tumpah. Jadinya malah terdiam, menelan ludah. Otak berputar-putar sibuk memilih topik paling menarik, tetapi jadi pusing malah ingin berbalik, lari. Ya, terlalu banyak yang ingin kuucap, dan masanya sudah lewat untuk kalimat tertutur rapi. Karena lama tak sua. Bukan aku tak sengaja mencarimu, aku hanya menghabiskan waktu dengan yang lain, dan maaf, aku tak merasa kehilangan kamu. Jadinya aku hanya mampu menatap, berpikir tanpa hasil, dan menunduk. Boleh kita bertemu lagi kapan-kapan saja? bisikku dalam hati. Dan saat aku menengadah lagi, ia sudah pergi. Berganti layar lain, dan percikan lain.

Wednesday, October 20, 2004

Gugur, Sumarah


Setelah sekian musim berlalu: aku suka musim gugur. Musim yang mengingatkan bukan pada sinar cerah matahari ufuk timur, tapi redup hangat senja di cakrawala barat. Bukan pada warna kuning dan biru, tetapi jingga dan ungu. Indah pohon berjajar gradasi merah, dan ubah coklat saat kelepaknya melayang di udara, jatuh ke tanah basah. Saat anak-anak kecil tak lagi berlarian di taman menghirup surya, tetapi duduk di tebaran tumpukan daun kering dan melemparnya ke udara, tertawa. Saat orang tak lagi menghirup cola dingin tapi secangkir coklat hangat, tak lagi berjemur tak ingin terusik tetapi berkumpul berbicara menebar akrab.

Musim gugur adalah bukan halimun di jendela pagi berembun, ia adalah rintik hujan menampar jendela di senja mendung. Ia tidak ingin muncul dengan megah cerah, ia muncul sederhana terhembus angin dan pergi dengan desah. Musim yang wangi tanah basah, bukan bau tanah pupuk atau kering. Saat serangga tak lagi melanglang diganti bajing berloncatan berebut makan. Ia tak perlu bunga warna-warni karena saat ini pohon ingin berwarna bunga sebelum mati. Ia tak menjajikan keceriaan hidup sementara tetapi kedamaian yang lekang. Musim yang dingin tapi menghangatkan hati dan pikiran. Mengingatkan bahwa sebelum yang baru tumbuh, yang lama harus gugur lebih dulu. Dengan sumarah. Seperti sumarah-nya orang Jawa bilang: pasrah total dengan sadar, percaya diri menyerahkan ego parsial pada dunia universal.

Yup, aku suka musim gugur. Hembus angin dingin di taman bertebar daun berwarna merah coklat tiduri harum tanah basah - menghirup kopi hangat memandang senja jingga di garis langit barat - sepatah kata tentang indah sambil senyumi orang lewat - tak lagi sibuk berlari berkejar dengan detak hanya duduk sejenak menikmati hari - dalam dekapan hembus angin dingin.

Friday, October 15, 2004

Tentang Bekerja di US

Berita itu terpampang jelas di layar monitor. Jatah visa kerja di US untuk tahun fiskal 2005 sudah habis. Pemerintah US tidak akan menerima aplikasi visa kerja untuk orang asing [H1B] hingga bulan April tahun depan, dengan ijin mulai kerja pada bulan Oktober 2005. Kesimpulannya buatku jelas, hingga setahun penuh ke depan, tertutup kemungkinan buatku untuk mencari kerja lagi.

[Entah kenapa ada satu bagian dalam diri gue pingin kerja lagi. Dulu di Bandung gue sambil kuliah sudah magang di perusahaan interior, habis lulus tiga tahun di Jakarta gawe di konsultan arsitektur dan interior plus proyek2 sampingan, terus pindah ke Singapore kerja dua tahun di konsultan arsitektur juga. Gue pingin kembali ke tempat yang sudah gue tinggalkan dengan rela dua tahun lalu, saat gue melahirkan anak yang memang ingin gue urus sendiri. Dan gue nggak pernah menyesal dengan keputusan itu. Gue terbiasa mengatur dan merencanakan hidup gue sendiri. Bukan gue nggak percaya ada campur tangan yang Di Atas, cuma gue berusaha meraih apa yang gue rencanakan. Dan maunya sih setelah Damian usia dua tahun gue pingin kerja lagi.]

Berita itu sudah jadi konfirmasi sebuah ucap perpisahan yang sudah kugumam dua minggu sebelumnya. Saat harapanku membuncah setelah diterima bekerja di perusahaan interior-furniture ternama di US, sebagai Designer Assistant. Hanya ada satu kendala, mereka menawarkan gaji di bawah standar rata-rata yang diperbolehkan untuk memulai proses aplikasi visa. Kenapa tampak rumit? Sebenarnya nggak. Syarat aplikasi visa H1B untuk orang asing dasarnya kurang lebih begini: kerjanya dalam bidang 'speciality occupation' [arsitektur termasuk di dalamnya], minimal lulusan sarjana dengan pengalaman kerja sesuai jalurnya, disponsori oleh perusahaan yang menerima kerja, dengan gaji standar minimum di state masing2 sesuai latar belakang dan pengalaman. Ada hal-hal yang lain yang menentukan memang, tetapi syarat2 di atas sudah jadi saringan untuk memulai urusan keimigrasian. Sudah bisa ditebak, untuk perusahaan satu ini, di point terakhir aku terhambat.

[Gue sudah melalui wawancara paling enggak di empat perusahaan. Konsultan arsitektur pertama bilangnya sih tertarik dengan portfolio gue, tapi berpikir keras setelah tahu harus mensponsori visa gue, yang artinya perusahaan dia bakal bayar biaya administrasi dll minimal seribu dolar.
Perusahaan kedua di bulan Maret, setelah presentasi ke empat orang , gue rada kaget juga, langsung menerima gue. Semua nggak ada masalah, begitupun gaji. Ehh... nggak tahunya pas mau ngurus visa, jatah visa tahun ini-2004 sudah habis! Gue nggak bisa aplikasi visa dan kerja sampai bulan oktober tahun ini. Perusahaan ini nggak bisa nunggu, butuh orangnya kan saat itu juga. Kecewa juga sebenarnya, tetapi saat itu memang Damian belum dua tahun, jadinya gue masih nggak apa2, dan hal ini bikin gue optimis paling nggak kualifikasi gue memenuhi standar orang sini.
Konsultan ketiga kelihatannya tertarik, tetapi tampak hati2 karena sudah terbiasa menerima kerja orang asing. Karena belum bisa kerja sampai oktober ini, dia nawarin solusi, kerja aja dulu di sini, dibayarnya nanti setelah visanya keluar, alias agak2 ilegal dulu. Gue bukan nggak percaya sama dia, karena beberapa teman gue juga melalui hal yang sama. Tapi waktu itu masih bulan Juli, jadi kalo nunggu sampai Oktober, gue 'diutangin' dulu tiga bulan...Wah mending nggak dulu deh, mending ngurus Damian di rumah....
Memang nggak mudah mau kerja di negara orang, kecuali mau dibayar rendah sekalian atau punya outstanding quality (penelti, sekolah di sini), atau punya koneksi. Di sini aja orang banyak yang nganggur, ngapain bayar dan sponsorin orang asing? Sampai terakhir ke perusahaan yang barusan udah mau terima gue ini.]

Sejak dulu aku percaya, suatu hal terjadi sesuai harapan jika memenuhi 'the right person, the right time, the right place'. [Jadi inget kampanye Kerry "the wrong war at the wrong time in the wrong place" heheh...]. Maka terjadilah, termasuk secuil keberuntungan. [No question, tentu saja dengan ijin yang Maha]. Jadi dari sini kesimpulanku, memang belum waktunya atau mungkin sudah bukan waktunya lagi. Mungkin aku harus belajar berpikir informal, terbuka untuk berbagai kemungkinan. It's another country, with another rules, but with some other possibilities.

[Gue sempat shock karena nggak siap dengan kemungkinan ini, apapun alasannya. Suatu kemungkinan yang harusnya sudah gue siapin sejak nikah dan punya anak dan pindah ke negara lain. Tapi dua minggu lalu, dengan rela, gue sudah mengucapkan salam perpisahan, dalam hati. Dengan masa lalu dan pengalaman yang terlanjur gue tekuni dan sukai. Dengan gambar dan resume yang sudah gue simpan dengan rapi. Di laci yang terkunci.]

Tuesday, October 12, 2004

Sekilas Jalan

Minggu lalu aku banyak habiskan waktu buat jalan-jalan, mengunjungi ini-itu yang mumpung masih bisa kesampaian sebelum cuaca semakin dingin. Selain itu karena dua minggu lagi kami bakal pindah dari downtown. Downtown yang [relatif] banyak hiburan dan terjangkau tanpa perlu kendaraan alias gerak jalan. Begini ulasannya...

Kamis, 7 Oct 2004: Melihat Chocolate Festival di Lexington Market.
Lexington Market yang berdiri sejak 1782 merayakan anniversary-nya yang ke 220 tahun ini. Sudah lama sekali ya? Bayangin dari jaman orang belanja ke pasar masih naik kuda! Kurang lebih ada sekitar 140 vendors di pasar ini, dengan ragam produk makanan segar, sayur, seafood, bakery, dll, mirip sebenarnya dengan pasar di Indonesia lengkap dengan interaksi pembeli-penjualnya emhh... kecuali di sini jauh lebih bersih dan teratur, lalu ada atrium untuk berbagai kegiatan, terkadang diiringi dentuman live-band dan sudah termasuk obyek wisata.

Sudah beberapa kali aku ke sini, sekedar beli sayur atau daging yang relatif lebih murah, dan terutama untuk jajan makanan jadi yang beragam, nggak ketinggalan donat dan eclair-nya [satu dolar saja dapat lima, masih lebih murah dan nggak kalah enak sama Dunkin di Jakarta].

Festival Coklat di Pasar Lexington ini mengambil tempat di atrium, dipenuhi penjual berbagai jajanan coklat [yum...], dari cake, muffin, truffle, candy, pie, apel celup coklat, fudge, cookies, rasanya berdosa sekali melihat coklat yang menggiurkan itu...
Acaranya juga diiringi live-band, demo bikin chocolate cake, lomba makan coklat [sayang nggak sempat lihat], dan cicip coklat gratis! Sejauh yang kucoba, coklat di US ini rasanya agak terlalu manis buat lidahku. Favoritku masih coklat bar isi liquor merk Lindt yang kutemukan di Singapore dulu. Satu-satunya yang mengganggu buatku cuma MC acara ini... Soalnya laki-laki african-american yang besar ini bicaraaa... terus nggak berhenti, dengan gaya orang yang berkotbah di gereja. Cuma kata-katanya diganti: "Embrace the Chocolate... Let The Chocolate fill your life... Come and try some, and you'll never regret... Please don't go, before you taste this..." Ya ampun... Kayaknya di sini Coklat sudah jadi sekte baru kali yaa....


Jumat, 8 Oct 2004: Mengunjungi National Aquarium in Baltimore.
Tepat lima menit setelah jam lima sore aku sudah mendapat tiket masuk ke Baltimore Aquarium, karena setiap hari Jumat selama fall-winter setelah jam lima tiketnya dijual seharga lima dolar saja [biasanya $17.50!].
Aku dan Damian menikmati satu-satu aquarium yang menampilkan binatang dari berbagai jenis air [sungai, laut, rawa, pantai, coral reef, amazon river]. Tak ketinggalan aquarium raksasa dengan ketinggian tiga lantai yang berisi ikan laut dalam. Aku tak menyangka dengan jumlah dan jenis koleksinya yang beragam, selain itu juga didukung flow exhibits sehingga pengunjung bisa menikmati dengan alur yang nyaman. Attention to detail, love it!

Selama hampir dua jam tak terasa kami menikmati dengan antusias. Terutama Damian yang ribut menunjuk dan menjerit histeris saat melihat Nemo-ikan kesayangannya, dan pandangannya yang takjub melihat 'ikan besar' [shark] dengan gigi tajam, dibandingkan dengan tubuhnya yang jauh lebih kecil.

Pada jam tujuh kami menikmati pertunjukan Dolphin yang sudah termasuk dalam tiket, buatku tidak terlalu istimewa. Tapi buat Damian, melihat Dolphin yang melompat menyentuh bola sudah luar biasa sekali tampaknya... Setengah jam kemudian kami pulang, lelah tapi puas....


Sabtu, 9 Oct 2004: Bermain Di Belvedere Farm.
Playgroup Damian tiap tahunnya mengadakan farm trip di bulan ini, karena sebentar lagi Halloween sekaligus berkesempatan melihat pumpkin farm. Letak farm ini tidak sampai satu jam dari downtown, dan semakin mendekati tujuan pemandangan yang kulihat semakin menyerupai "Little House on The Prairie". Kalau di desa tempat Mbahku di Purworejo sejauh mata memandang adalah sawah menghijau, di sini sejauh mata memandang adalah rumput dan ilalang berwarna kecoklatan. Sama indahnya, dengan kesan yang berbeda.

Saat kami mulai memasuki daerah lapang di belakang rumah kayu tua pemilik farm, anak-anak langsung berloncatan dan berlari menghampiri pumpkin yang besarrr sekali.

Mereka berebutan naik di atas pumpkin yang tergeletak di tanah, atau berusaha mendorong tanpa hasil. Di sebelah kiri tanah lapang ini ada peternakan kecil yang berisi domba [plus dua anak yang masih kecil], kambing, babi [dan tiga anak babi!]. Damian dan teman2 sibuk mengelus dan memanggili binatang-binatang kecil itu. Di sebelah kanan ada bangunan kayu semacam gudang yang dipakai untuk menjual hasil produksi buatan sendiri seperti berbagai jenis selai, aple cider, dan berbagai sayur/hasil peternakan lainnya. Yang lucu, ada buah semangka berbentuk angsa... Di tengah lapangan disusun berbagai jenis pumpkin dengan beragam bentuk dan ukuran, lalu ada kuda-kudaan dari jerami dan daun jagung. Agak jauh di sebelah kanan ada lagi kandang tanpa atap berisi kalkun yang besarr... dan kambing berbulu tebal.

Di bagian kiri lapangan ada dua mainan traktor dari kayu yang bisa dinaiki [salah satu favorit Damian di sini], dan ada terowongan pendek setinggi 1 meter yang terbuat dari jerami [aku ikut masuk karena... pingin aja :)]. Di sebelah kiri ini dibatasi ladang jagung yang tinggi dan kami juga bisa jalan-jalan di sini.

Setelah asyik melihat-lihat, kami berkesempatan naik truk pengangkut jerami yang disambung traktor di bagian depannya. Di dalam truk ini masih ada jerami-jerami yang ditumpuk buat tempat duduk. Selama lima menit perjalanan kami dibawa ke pumpkin farm yang masih jadi bagian Belvedere Farm. Di sini pumpkin berbagai ukuran bertebaran menunggu dipetik! Pemandangannya bagus sekali. Damian berlagak sok sibuk memilih pumpkin yang akan dibawanya pulang [kami boleh mengambil yang berukuran kecil].

Setelah selesai kami naik truk jerami kembali ke lapangan untuk bermain lagi [terutama anak2] dan melihat-lihat. Sekitar pukul dua belas kami menggelar bekal yang kami bawa dan berpikinik di lapangan rumput ditimpali semilir angin yang sejuk. Hmmm... speechless....


Minggu, 10 Oct 2004: Baltimore Farmer's Market.
Hanya dengan berjalan kaki sekitar sepuluh menit, aku sampai di 'pasar petani' yang diadakan hanya di hari Minggu sepanjang bulan Mei-Desember. Letaknya di bawah jembatan layang, terlindungi dari hujan dan panas. Pasar yang ini lebih mirip lagi dengan pasar tradisional di Jakarta. Produk yang dijual kebanyakan sayuran, seafood dan daging segar langsung dari produsen, dengan harga yang jauh lebih murah dari tempat lain. Selain itu juga dijual berbagai jenis roti yang menggiurkan ditemani minuman hangat, makanan jadi, kopi buatan sendiri, dan jauh di sisi kanan dijual craft karya sendiri.

Di bagian craft ini aku tidak melihat produk yang signifikan, sampai di satu meja tempat seorang perempuan berusia sebaya denganku menjual hasil karyanya. Lilin dalam gelas bening yang berhias ikan dan kerang, menyerupai aquarium, dan berbau harum [scented candle]. Kreatif sekali, lagipula pekerjaannya rapi. Aku berkenalan dengannya. Huyi, asal Thailand. Ia baru berjualan di sini dua minggu, dan hobinya ini dilakukan selain waktu kerjanya. Tampaknya cukup banyak yang tertarik dengan hasil karyanya, karena unik dan disukai remaja. Ia bilang, hari ini penjualan belum menutupi biaya sewa stand. "Well, I think we have to take a risk to start business sometimes... because you'll never know....". Cukup lama aku bercakap dengannya, dan berjalan pulang dengan pikiran penuh, dan inspirasi dari seorang Huyi.

Hari minggu ini diakhiri dengan menjenguk seorang kawan di rumah sakit yang baru melahirkan anak ke-dua, seorang putri bernama Zahra Dinda Amani. Selamat untuk keluarga Hilman-Rina dan Raka!

Wednesday, October 06, 2004

Tiga plus Sembilan


....
you know I like roses
you are the rose in my heart
I love to see it grows up with
all of my affection
even for its thorn....

Sebait spontan di senja sejuk Bandung, ruang tamu asrama bergaung mendesak bisik.
Alirku mendesir, terpesona oleh ucapnya di getar bibir tersipu. Kuntumkah aku?
Sejenak hening menghantar nafas tertahan, perlahan bertatap menembus bulat kelam.
Pelukan, belaian, genggaman melayang di udara mengawang.
Setitik awal melapangkan setapak berujung samar, lewati bukit, genang lumpur, turuni lembah.
Setitik awal tanpa sadar mendesak ke depan... hingga sembilan tahun kemudian.

Sembilan tahun kemudian adalah tiga tahun lalu. Saat bait lain kau ucap di pendengaran sekerumunan. Dihadapanku dan di depan altar. Tahukah kamu, kala kulupa bait itu, yang terngiang adalah sebait sembilan tahun lalu? Sebait spontan yang jadi setitik awal. Yang membuatku mengulum senyum hingga sekarang.

Happy anniversary, my beloved hubby. [Thank you for your lovely rhyme...]

Thursday, September 30, 2004

Sahabat Lama


Ucap seorang sahabat lama, yang mengarung jarak sekian ribu kilometer kabel - dalam hitungan sekian jari dalam setahun, terkadang menapak lebih dalam dibanding keseharian ucapan dan seringnya perjumpaan. Ia, yang kukenal sejak rambut kami masih berkuncir kuda dan tubuh berbalut seragam biru. Sepatah cakap yang langsung kumengerti tanpa banyak basa-basi. Seseorang yang pernah kutemui kala sadar tercabut dari pipa nadi. Percakapan kami tak pernah benar-benar selesai karena acap terusik, dan toh bisa kami sambung sendiri dalam hati. Karena kami saling mengerti. [Dan kami sama-sama penggemar kopi, walau sama-sama membawa calon bayi di perut buncit, bercurah kata di Spinelli Bugis Junction atau di Starbucks Centerpoint, dulu sekali].

Sampai di satu titik masa kini, "Kalau mau disamain, gue ni udah kayak karet melar. Udah nggak bisa diapa-apain lagi, tinggal nunggu putus aja...". Perumpamaan yang ekstrim olehnya, walau mengungkap kebenaran. Dan yang mengherankan, di titik yang sama, aku berpikir dengan perumpamaan lain," ...seperti lilin yang mau habis, lelehan bentuknya nggak jelas, tinggal nunggu sumbunya berhenti nyala...". Tapi tak sempat kusampaikan padanya, karena aku masih terheran-heran dengan kesamaannya. Kesamaan pikiran yang terentang jarak sekian ribu kilometer kabel, dalam hitungan sekian jari dalam setahun. Itulah ia, sahabat lama.

Oh ya, satu ucap lagi sebelum terlupa: Thanks Pal.

Wednesday, September 22, 2004

Link!

Things went fast these days. I don't really have time to sit and think of what to write [oops, enough time to just sit and relax for sure]. We celebrated Damian's birthday two weeks ago, well we called it makan-makan actually. It felt like so many people coming since our apartment isn't that big but it was fun though, seeing these kids running around and the adults enjoying the foods we'd prepared [love to cook, love Indonesian food!]. We'll move to another apartment in Charles Village next month, so I'd been looking around some apartments that eventually made us back to the first choice.

We went to Baltimore Book Festival last week, two days in a row, where we could get good bargain books (if not for free!). There was a tent for children where we accidently attended a money saving presentation for kids and Damian brought home a cute piggy bank afterwards. The lady really knew how to teach about money to kids and it amazed me when some of them, age 4-6, already knew that saving in a bank is better cause they can get interests! Last but not least, I've listed some new beaded jewelries I made on ebay which lead to not-as-expected sale since there are too many sellers. I haven't thought seriously of selling it other way though, it's still a spare-time hobby for me.

Anyway, I just add some links of new pictures of our summer time [sadly, our trip pics on New York and Washington DC all gone with the old laptop] here: Summer 2004
Damian's birthday pics here: Damian Bday
and Thanks to everybody who'd come: Hilman-Rina-Raka, Gunar-Ndew-Dhika-Ndew's Mom, Riko, Arti, Rizky, Daisy, Kurnia-Betty-Mesakh-Sadrakh, Haris-Leli-Diva-Baheera-Leli's Mom, and Nicky Lubis who'd taken beautiful pics here: Damian Bday in BW
Check out my other Spark of Stones project here: Spark of Stones - 1+2
[As usual, you can find all the links at the sidebar!]

So, that's all for now. Welcome lovely autumn...

Thursday, September 16, 2004

Kunci


Aku mencari sebuah kunci. Kunci perak kecil pembuka sebuah laci. Kunci ini penting, karena isi lacinya juga penting. Ada album foto lama, ada tumpukan gambar hasil karya, ada penggalan tulisan dan rencana, ada bon dan kuitansi, ada referensi dan dokumentasi. Aku memerlukan isi laci itu, sangat. Tapi kuncinya hilang, dan lacinya terlalu kokoh untuk dibongkar. Sekian hariku terbuang untuk mencari kunci itu. Kuabaikan masalah lain di kitaranku. Karena buatku kunci itu terlalu penting, saat ini. Dan tidak ada kunci serep lain atau kunci pengganti. Aku masih mencari kunci itu, demi isi sebuah laci.

Mungkin kelak kutemukan kunci itu. Berkilau, tergeletak manis di sudut kamar. Tinggal dipungut dan dimasukkan ke lubang di laci. Dan bisa kukeluarkan seluruh isi lacinya. Dan akan kubuat kunci serepnya. Mungkin kelak kutemukan kunci itu. Atau... mungkin kunci itu telah hilang, for good. Dan kubiarkan laci itu tetap terkunci.

Bisakah kaubayangkan, kunci itu adalah sebuah kesempatan?

Tuesday, September 07, 2004

Keajaiban Dua Puluh Empat Purnama


Harum. Sesayup hirup dirimu membuat candu yang lekat di otak terpatri tanpa jeda. Harum di mulut pipi kening dada lengan kaki dan rambutmu yang terus merimbun. Kuciumi tiap hari tanpa reservasi tak kenal waktu dan mengguratkan senyumku sesudahnya, selalu.

Lucu. Memandang bentukmu yang bulat di tempat yang tepat mengundang gemas. Bentuk sempurna menyerupai dewasa dalam tinggi yang belum semeter namun lincah gerak dan gaya. Kuangkat, berputar, bergumul, kucubit, kukejar dan terlepas tawa, bahagia.

Bening. Binar mata kecil polos tanpa prasangka menatap luluhkan hati. Ada senyum-tawa-tangis di bening terlindung kelopak tipis yang manis. Dalam putaran purnama tatapmu tumpah tanya menuntut jawab cerdas munculkan binar di beningnya dan kau menganguk-angguk, mengerti.

Detik. Waktu bagimu tak berarti dan sangat berarti. Bermain, jalan-jalan, makan, tidur, membaca, mandi, berulang dalam duapuluh empat jam. Hitungan detik berarti bertumbah tinggi sekian mili, berkembang cerdas, bervariasi gerak, bertambah ucap, dan membuatku terpana lupa mungilnya saat kau lahir.

Keajaiban. Kesakitan berbuah senyum-tawa-tangis bahagia-bangga musnahkan segala regangan-erangan-jahitan rahasia di ruang bersalin. Bukankah keajaiban namanya? Tubuh mungil tanpa tatap dan gerak, menyusu sekian purnama bertambah berat di pelukan, suap mungil sesendok kecil menopangmu merangkak berdiri berjalan berucap. Dari tetes berubah ada dan tumbuh dan menjadi, bukankah keajaiban namanya?

Doa. Kuakui tak pernah ku teratur mendaras doa di bilik hati hingga kau hadir di rahim dan melengking tangis dan mengisapku dan awasi jatuh bangunmu dan mengantarmu tidur di pelukan malam. Sebaris doa terima kasih untuk sebuah keajaiban yang sehat hingga kini dan untuk nanti. Sebaris lagi mohon bimbingan menuntun, menjadi orang tua yang baik buatmu.

Dua frasa yang sudah mampu kau ucap mengiris ngilu di hati dan di gendang telinga: Tengkyu Mama dan Alevyu.
Hari ini kuucap kesekian kali, tertulis di hari adamu yang kedua tahun di dunia ini: Thank You, Damian. I Love You, too.

Tuesday, August 31, 2004

Membaca Ursula Hegi


Sejilid buku bekas yang kubeli di depan gereja kala menelusuri trotoar menuju pulang. Tak sengaja memang, tetapi deretan buku satu dolaran selalu menarik perhatian. Walau sudah lewat publikasi sekian tahun, menurutku tak ada buku yang basi (well, kecuali buku program komputer kali ya...). Dan nama Ursula Hegi sesayup muncul di ingatan, membuatku merogoh kantong celana dan membawanya pulang bersama beberapa jilid ringan lainnya. Membacanya pun tanpa beban. Bisa sambil tiduran, sambil nonton teve tersela iklan, sambil menunggui Damian makan. Karena isinya kumpulan cerita. Satu cerita pun bisa selesai satu kali mengisi waktu di toilet. Judulnya Unearned Pleasures (and other stories).

Lalu, apanya yang menarik?
Gaya berceritanya, karena pengarang mampu mengurai tokoh lewat alam pikirnya. Kesimpulanku, Ursula Hegi is 'a mind diver'. Dan setelah kutelusuri ternyata 'Hegi works much like a method actor, immersing herself in her characters, living and breathing within them'. Dia bilang,"I write fiction as if I were writing poetry."
Isi ceritanya, nggak muluk-muluk. Soal cinta, kematian, masa lalu, anak, rumah tangga, etc. Tapi dari cerita yang nggak muluk itu ada seribu satu pikiran di belakangnya. Pikiran yang bisa mampir di otak kita, atau orang yang kita kenal, tanpa prejudice.
Endingnya. Tak ada yang benar-benar selesai. Dan ini membangunkan sadar. Hidup ini seperti serpihan fragmen. Sometimes you want to stop the pain but you just have to live with it. Sometimes you want to stay with happiness at this moment but you just have to move on. Nggak ada yang benar-benar selesai, selama kita hidup dan berpikir. Sesaat kita di rumah, kemudian di tempat kerja, kemudian bertemu seseorang, kemudian mengirim sms, kemudian seorang bayi lahir, kemudian makan di restoran, kemudian....

Tuesday, August 24, 2004

Spark of Stones: New Project


Beadazzled. This shop at the corner of the street, opposite of my apartment, just had an appeal and started to call me. I went through the entry door and dazzled by the sights. Beads are everywhere. Hanging on the walls [no empty walls at all!], in the baskets, in the bowls, in the showcase, just everywhere I turn my head. Beads of Stones, Glass, Crystals, Woods, Acrylics, Silver, Gold, Bones… did I leave anything out? And in such beautiful colors….in all shades and gradations, simply as rainbows.

That’s how I started to create jewelry, well… necklaces for most. I borrow books from EPFL library to learn from scratch, and further on the designs. Right now I mostly use semi-precious stones which are familiar here [e.g. Amethyst, Garnet, Crystal Quartz, Sodalite], combined with any other beads to match. And when I made enough, I started to think of selling it. I know I have to touch up more on the pictures, but you never start if you think too much, right? The first time my necklace sold on eBay with my hubby’s help, I jumped up and down, followed with my beloved Damian who had no idea why I acted that way. He just knew I was happy :). Well, this is one of my hobbies I just like to do in my spare time, and when it turns out hanging on someone else’s collar, it just feels….gooood….

Please click here: Spark of Stones [or link at the sidebar] to see my other designs. Write to me if you’re interested!

Wednesday, August 18, 2004

Deklarasi

Kemarin Hari Kemerdekaan RI. Aku sama sekali tidak ingat. Karena tidak ada Merah-Putih yang berkibar seminggu sebelumnya. Karena tidak ada edaran minta sumbangan dari kelurahan. Karena tidak ada upacara bendera di tivi dari pagi hingga petang. Karena aku tidak menunggu-nunggu acara karnaval sepeda yang bisa diikuti Damian. Karena bazaar tujuhbelasan Kedutaan Indonesia di DC sudah lewat empatbelas hari. Karena aku tak sengaja mengingat-ingat.

Sampai aku mampir di sebuah blog yang membahas bahwa di hari kemerdekaan ini, bangsa Indonesia sebenarnya belum merdeka. Sampai percakapan di telepon dengan Ibu yang masih ikut lomba gerak jalan di kantornya. Sampai seorang kawan melahirkan anaknya yang Mahardhika. Sebuah kelahiran yang mengingatkan pengalaman sendiri. Dan hadirnya seorang bayi.

Lahirnya manusia bayi adalah seperti deklarasi. Ia menjerit lengkingan bahwa ia ada. Ia meronta di pikuknya dunia di luar rahim bunda. Ia menangisi ecapan air susu. Dari sederet garis tahun manusia, bayi-lah yang sebenarnya paling merdeka. Ia utuh dan bebas. Dari dogma dan perintah. Dari materi dan iri. Dari berbagai hal yang mampir di hidupnya sekian hari, sekian bulan kemudian. Ia hanya punya emosi, dan keajaiban yang mendesakkan bahagia di hati. Kerelaan hilangnya bebas untuk sebuah merdeka baru yang penuh harap. Penuh puja dan cinta. Penuh lembaran tergores doa orang tua. Hingga ia mencari kemerdekaannya sendiri. Kelak.


IF A CHILD....

If a child lives with criticism,
he learns to condemn.
If a child lives with hostility,
he learns to fight.
If a child lives with ridicule,
he learns to be shy.
If a child lives with shame,
he learns to feel guilty.
If a child lives with tolerance,
he learns to be patient.
If a child lives with encouragement,
he learns confidence.
If a child lives with praise,
he learns to appreciate.
If a child lives with fairness,
he learns justice.
If a child lives with security,
he learns to have faith.
If a child lives with approval,
he learns to like himself.
If a child lives with acceptance and friendship,
He learns to find love in the world.
[author unknown]

Selamat untuk kawan kami Ndew dan Gunar, semoga kelahiran sang putra melengkapi kebahagiaan keluarga.

Friday, August 13, 2004

Last Comic Standing

Malam ini aku kecewa. Comic gacoanku, Alonzo Bodden, tidak menang. Ia dikalahkan John Heffron, lelaki kulit putih yang bisa dibilang cute.



Kenapa Alonzo kalah? Aku agak susah mencari jawab, karena menurutku ia punya materi yang cerdas, dan berani, dan tentu saja bisa membuatku terbahak. Paling tidak jika dibandingkan dengan John yang materinya cenderung aman dan sehari-hari. Alonzo melucu masalah black & white people, wanita, sex, rasialisme Amerika, dan terselip sedikit politik. Hal-hal yang tidak lucu sebenarnya, tapi dalam tuturannya bisa mengundang tawa. Buat sebagian orang yang sensitif malah mengundang senyum sinis. Makanya saat ada yang bilang joke-nya jahat (mean), Alonzo berdalih; joke hanya ada dua jenis: lucu dan nggak lucu. Nggak ada joke yang jahat. Tapi aku bisa mengerti, ia termasuk jenis orang yang kurang disukai white people dan mungkin dibenci black people. Karena ia bicara apa adanya, bisa mentertawakan diri sendiri, walau di lain pihak bisa bikin banyak orang sakit hati.

Lalu, kenapa John menang? Aku agak susah mencari jawab, karena secara materi ia kurang berani, walau bisa membuat orang banyak tertawa. Tuturannya membawa masalah sehari-hari, tua-muda, hubungan suami-istri. Tetapi... ia pandai menyusun strategi. Ia punya 'koneksi' dengan penonton saat bercerita, enerjik, berkarisma, konyol, dan 'gaya'. Makanya banyak yang jatuh hati padanya. Lagipula, ia putih dan enak dilihat. Bandingkan dengan Alonzo yang hitam, besar, dan bertampang 'penjahat' (Ingat sekali waktu ia pakai kaos bertulis 'ex-prisoner'? Cocok kan?). Masalah satu ini kalau sudah di layar TV memang mustahil di-make over. Coba kalau para comic ini ngoceh di radio... aku tidak yakin hasilnya bisa sama.

Anyway... memang lebih mudah mentertawakan orang lain dibanding mentertawakan diri sendiri. Hasil malam ini sudah jadi bukti pilihan Amerika. Dan sebenarnya sudah bisa ditebak. Kupikir-pikir, seringkali orang yang 'lebih berhasil' (relatively) adalah orang yang bisa merengkuh banyak orang dan koneksi, sedikit hipokrit dan cari aman, enak dilihat dan ikut mayoritas. Sedangkan orang yang berani bicara apa adanya, tidak ikut arus, mementingkan 'isi' daripada penampilan seringkali tergeser. Contohnya di hidup sehari-hari, di tempat kerja, di pemerintahan, di mana-mana, dan di Last Comic Standing. Ah, aku masih kecewa.

Alonzo: "I love black women, but I like white women too. That's why I can't hate white men. 'Cause we need them for breeding."

John: "I'm officially at the age where I see that commercial for that Craftmatic Adjustable Bed and go, 'Sweet! Are you kidding me? You mean I can sleep in the shape of a U?"

Tuesday, August 10, 2004

Neighborhood

Aku suka tinggal di downtown, di tengah kota. Dibandingkan dengan tinggal di pinggir kota, suburb, county. Karena begitu kubuka pintu keluar apartemen, banyak yang bisa kulihat. Langsung mengayun langkah sepanjang trotoar, bisa spontan memasuki toko, museum, taman, atau tempat-tempat yang menarik perhatian. Aku selalu lupa menggambarkan suasana dan lingkungan tempatku tinggal buat keluarga nun jauh. Mungkin karena terbiasa, sudah jadi bagian hidup sehari-hari, aku terlupa mencatat. Padahal apartemenku terletak di jalan bersejarah Charles Street dan tak jauh dari Mount Vernon Place, suatu titik di pusat kota ini yang membekukan waktu. Kenapa? Karena sejak awal 1800, tempat ini sudah ada dan masih terpelihara. Ada beberapa tempat menarik yang sering kukunjungi, minimal dua kali, bahkan mengajak Damian main di taman atau library sudah tak terhitung lagi. Sekaligus buat kenangan, jika kelak kami pindah tempat tinggal.


Air mancur di taman Mount Vernon Place, menghadap Washington Monument dari timur. Jaraknya hanya lima menit jalan kaki dari rumah. Damian sering mengejar burung, melempar batu ke dalam kolam, mengejar anjing peliharaan orang, atau bertemu dengan anak lain yang juga main di sini. Pemandangannya indah sekali di musim gugur. Di musim panas banyak acara di kawasan ini. Pertunjukan band, konser kecil, festival bunga, festival buku, dll. Kami pernah mencapai puncak tertinggi monumen setelah dengan penuh perjuangan menaiki 228 anak tangga! Tapi pemandangan dari atas cukup memukau, sampai batas cakrawala.

Di musim dingin bersalju, pemandangannya cantik sekali.

Methodist Church bergaya arsitektur Victorian Gothic. Terlihat indah dan sekaligus mencekam buatku, entah kenapa.

The Walters Art Museum. Dari luar bentuknya masif dan tak ramah, tetapi koleksi di dalamnya menarik.

Enoch Pratt Free Library. Salah satu tempat favorit di kota ini. Koleksi bukunya lengkap dan variatif. Dari sini aku bisa menekuni hobi baru dari buku, dan terutama ada Children's Department. Di sini ada kolam ikan kecil yang disukai Damian, tempat bermain dan mengikuti program anak-anak setiap minggu.

Baltimore Basilica. Gereja katolik pertama di US yang letaknya persis di belakang apartemenku. Tapi tidak tiap minggu kukunjungi (ahh... kapan aku akan bertobat?)

Ada satu kawasan lagi yang sering kami kunjungi: Baltimore Inner Harbor. Letaknya di tengah kota, sekitar limabelas menit berjalan kaki dari rumah. Kawasan komersial pinggir air yang sering dikunjungi turis, tapi jadi hiburan juga buat warga lokal.


Friday, August 06, 2004

The Walters Art Museum


The Walters Art Museum terletak hanya sejauh dua blok dari tempat kami tinggal. Setiap hari Kamis pertama tiap bulan, museum ini boleh dikunjungi gratis (biasanya harus bayar $8). Makanya kesempatan ini tidak kusia-siakan, selain cuaca musim panas yang mendukung acara jalan-jalan. Terletak di 'jantung' kota Baltimore, museum ini menyimpan lebih dari 30000 benda, dari kebudayaan Mesir Kuno, Yunani, Romawi sampai karya abad 19 Eropa. Mau melihat mummy yang aku lihat? Silakan klik di sini:The Mummy

Banyak yang bisa kuceritakan, kesimpulannya: menarik sekali. Satu hal yang mencuri perhatian: setiap museum yang kukunjungi di sini pasti menyediakan ruang khusus untuk anak-anak beraktivitas, sesuai jenis museumnya. Bukan hal aneh jika di satu ruang pamer yang besar banyak anak usia SD yang duduk di depan lukisan atau patung, asik menggambar obyek di hadapannya di selembar kertas. Tak jarang kulihat gambar yang benar-benar bagus! Salah satu cara efektif mempopulerkan museum di kalangan anak-anak. Mungkin bisa ditiru di Indonesia, kelak. Suatu saat.

Saturday, July 31, 2004

Sang Tulus


aku rindu kuncup bunga
saat harumnya redup nyaris mekar
ia tak mengerti indah kuntumnya kemudian

aku rindu kepompong
saat gelungnya hangat tanpa metamorfosa
ia usah cantik namun rapuh bahaya

aku rindu kado yang belum terbuka
saat terbungkus manis dan tak penting isinya
ia usah tanggalkan hutang budi

aku rindu kanak dua puluh purnama
saat tumpah tanya tanpa harus keras kepala
ia bening dan siap menerima

aku rindu pandang pertama
saat jutaan rasa mengawang di udara
ia menyelami tanpa hirup kata

aku rindu semburat pagi
saat pancarnya intipi celah penuh janji
tanpa peluh dan terik matahari

aku rindu kenangan
saat sang tulus mengusir prasangka
ia manis dan penuh tawa

aku rindu sunyi
saat pekik lain tak jadi polusi
sendiri kusimak detak nurani

Wednesday, July 28, 2004

Jendela

Jendela tak hanya ada untuk mengalirkan udara. Tetapi juga jadi layar tempatku melihat cerita di jalan raya dan sekitarnya.


Apartemen kami ada di lantai lima bangunan tua di sudut blok. Tanpa halaman, berbatasan langsung dengan trotoar jalan raya dua arah. Dengan jendela yang hampir memenuhi satu sisi dinding living room, banyak cerita menarik yang bisa kusimak di sana. Oh ya, ditambah imajinasi sesuka hati sendiri tentu saja.

Sekali waktu, di Sabtu malam musim panas, saat jalan senyap. Sepasang kekasih duduk di bangku tunggu bus. Sang Pria tampak membujuk si wanita yang membuang pandang. Mereka bertengkar, suara mereka makin keras terdengar. Kata-kata makian meluncur deras. Sang Pria menendang kursi besi di sampingnya hingga terbalik. Wah, marah sekali ia, karena kursi itu kelihata berat sekali. Si wanita tetap tidak tergerak. Sang Pria mengangkat tong sampah besar dan membantingnya. Untung tak sampai berceceran isinya. Si wanita tetap -atau pura-pura- tak peduli, membuang muka, hanya bicaranya yang tak henti. Sang Pria kembali membujuk, berlutut, memohon. Si wanita tak menoleh, tangannya bersidekap. Sang Pria habis sabar. Ia tak bisa menyeret si wanita pergi, apalagi memukulnya karena bisa dituntut dan masuk penjara.

Tiba-tiba jantungku berhenti berdetak. Oh my God... Sang pria berlari ke tengah jalan, menghadang bus besar yang datang dari arah berlawanan. Edan! Mataku terbelalak saat bus itu berhenti tepat di depan Sang Pria yang entah sok hebat atau sudah gila. Hanya ada satu dua pejalan kaki yang lewat, enggan terlibat. Kali ini makian tumpah dari bibir sang supir bus. Si wanita? Masih duduk di bangku tunggu bus, menyumpahi sang pria yang dikencaninya. Lalu mereka berjalan, masih saling teriak, sang pria masih menendangi tiang, atau apapun di dekatnya. Sampai di perempatan jalan, sebelum menyeberang. Mobil polisi dengan sirene mengaung mendekat, berhenti. Di belakangnya ada empat mobil lagi, dengan lampu dan bunyi sirene empat kali lipat. Mereka memarkir mobil dalam posisi mengepung. Dua polisi bertanya-tanya pada pasangan itu. Polisi lainnya menunggu di depan mobil masing-masing. Lima menit kemudian, empat mobil meninggalkan tempat, dan dua orang polisi yang masih bicara dengan pasangan itu. Menengahi kasus domestic violence.

Aku menduga-duga. Kalau bukan pejalan kaki yang menghubungi polisi, mungkin orang lain. Yang punya jendela seperti kupunya.

Thursday, July 22, 2004

Kepribadian Lain

Sepotong pembicaraan yang terdengar tak sengaja kala menunggu kereta cepat.


"...Tante saya merawat orang seperti ini. Menit sekian ia di rumah. Sejam kemudian tertidur di pinggir jalan raya. Tapi ia tak pernah tahu bagaimana ia sampai ke sana. Orang ini mengidap kepribadian ganda. Kamu pernah dengar? Tante saya cerita..."

Aku pernah tahu. Sedikit. Dari buku Sybil Isabel Dorsett, gadis berkepribadian enambelas. Masa kanaknya lewat bersama kekejaman bibinya. Kekejaman seksual terutama. Akibatnya ia punya kepribadian lain tempatnya bersembunyi, dan menjadi orang lain. Sosok di mana ia sempat bahagia.
Dalam film yang aku lupa judulnya. Seseorang dituduh membunuh. Pengacaranya membela, alter-personality tertuduh yang berbuat. Tertuduh sendiri tak tahu apa-apa. Penuntut menampilkan saksi yang membuktikan penyakit ini mengada-ada. Tertuduh dibebaskan dua belas juri yang menganggapnya sakit jiwa.
Judy Castelli, artis seni rupa yang tinggal di New York. Karya-karya indahnya ada karena alter-egonya. Lukisannya menggambarkan orang-orang yang tak berwajah.
Aku masih ingat film dan buku Dr. Jekyll and Mr. Hyde. Sepotong ego dan alter ego dalam satu tubuh. Kebaikan dan kekejaman dalam bentuk yang paling ekstrim. Sisi paling gelap manusia muncul kalau diberi kesempatan. A story about an entity-the one who dwells inside most of us, externally conforming to culture, yet internally lusting for liberty.
Dalam manusia ada sebentuk 'mekanisme pertahanan' untuk menjaga kewarasan, kata Freud. Walau bisa menimbulkan bentuk kekejaman baru yang berantai.

Tiba-tiba aku bergidik. Siang yang terik membangunkan lamun. Artinya masa kecilku cukup bahagia. Aku merasa puas sekali. Tak ingin jadi orang lain.

Monday, July 19, 2004

Baltimore Artscape

Selama tiga hari, di kota ini ada acara yang disebut Artscape. Mengingatkanku pada acara sejenis di Bandung: Pasar Seni ITB.


Ramainya sama. Berjalan saling senggol dan harus 'usaha' untuk masuk ke dalam kios. Cuma di sini kurang bau e-ek kuda :P
Kiosnya sama. Berjajar sepanjang jalan sekitar kampus University of Baltimore, Maryland Institute College of Art, dan Mount Royal Cultural Area. Kalau di ITB kiosnya dari bambu, di sini pakai terpal putih.
Isi kiosnya sama. Paling banyak lukisan, lalu ada keramik, perhiasan etnik, pernak-pernik, sekolah/kursus seni, lembaga/yayasan seni, sampai makanan dan mainan anak-anak. Bedanya di sini kiosnya lebih banyak (paling sedikit sepertiganya untuk kios makanan...), tapi di Pasar Seni ITB jauh lebih beragam barang seninya (dari seluruh Indonesia!).
Yang jaga kios sama. Mas-masnya ganteng dan mbaknya manis-manis. Bedanya, di sini mereka boleh memperlihatkan pusar yang ditindik.
Aksi panggungnya sama. Ada musik, teater, band, DJ, etnik, tari. Bedanya, sound system di sini sudah setara konser besar... nggak pakai nguik-nguik atau 'nyetem' alat lama-lama.
Acara sampingannya sama. Buat tempat ngeceng anak muda, dandan nyentrik dan sok 'nyeni'. Bedanya, di sana masih malu-malu. Di sini kadang nggak tahu malu.
Di Pasar Seni ada Happening Art-nya, di sini nggak ada. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin happening-artnya adalah orang-orang yang street-dancing, atau main saxophone sendirian. Ah, tapi masih asik di ITB suasananya. Lebih 'nyeni'.

Kesimpulannya:
Meminjam istilahnya Iyus, di sini lebih cocok disebut Not-So-Art Scape. Aku setuju, kalau soal seni/budaya masih asik dari Indonesia...
Lagipula, masa' Artscape malah banyak kios makanannya?! (Anyway, orang sini menyebutnya Culinary-Art. Idem doyan makan kali, ya...)
Walau harga barangnya memang lebih murah dari harga toko, tapi untuk kualitas yang lebih bagus, bisa diperoleh lebih murah di Pasar Seni. (Tentu saja, ya susahlah bandingin dolar sama rupiah...)
Di sini Walikotanya (O'Malley) ternyata anak band juga, nyanyi dan main gitar pakai kaus buntung (sayang aku nggak sempat lihat). Kalau di Bandung, biar panas walikotanya tetap aja pakai safari.

Walau akhirnya setelah dipikir-pikir Artscape di sini masih jauh kalau dibandingkan dengan Pasar Seni ITB, aku cukup senang kota Baltimore yang adem-ayem ini mendadak jadi 'Hip' selama tiga hari. Apalagi di sore hari Minggu aku sempat menikmati konsernya grup Arrested Development selama sejam lebih. Dengan lagu-lagu yang familiar dari albumnya Extended Revolution. Kali ini aku ikut bergoyang juga, seperti di Pasar Seni yang dulu itu... "I need sometime to ease my mind... I need sometime to ease my mind..."

Friday, July 16, 2004

Kebetulan?

Aku panik. Tadi pagi selagi iseng-iseng coba template baru. Menatap layar blog dengan banner berisi ads yang di luar alam pikirku. Wah, gimana nih... Aku panik. Gimana kalau kebaca orang? (Ya pastilah kebaca...) Walau aku sendiri jarang peduli sama ads dan pop ups yang bertebaran di website. Gimana nih ngilanginnya? Hampir nekat telepon seorang teman yang udah lama di dunia blog. Tapi, di Jakarta kan lagi tengah malam...

Pasrah, aku buka email. Mencoba bertanya lewat email saja, walau butuh waktu untuk menunggu jawabnya. Tiba di Inbox.... Tadaaaa.... Sudah ada email yang menunggu. Sebuah jawaban yang ada tanpa harus ditanya. Lugas dan menyelesaikan masalah. Ake terhenyak. Kebetulan sekali ya? Aku kehilangan kata. Terima kasihku hanya bisa kusampaikan lewat email. Dan lewat percikan ini. Thanks buat Neenoy. Karena alir airnya, percikanku ada.

Garis Wajah


Kemarin mengantar Damian ke playgroup. Hari ini tidak banyak yang datang. Hari Kamis ini disebut koordinator playgroupnya: The-International-Day-of-The-Week. Karena dibanding hari-hari lain, 90% peserta (anak+ibunya) berasal dari luar US. Ibu muda dari Argentina dengan anak perempuannya yang manis. Ibu sederhana dari Equador dengan anaknya yang bernama "bunga". Ibu yang hamil anak kedua dari Australia. Anak kecil berbahasa Prancis bersama ibu yang masih patah-patah bahasa Inggrisnya. Seorang ibu dari Inggris yang membiarkan bayi kecilnya merangkak di rumput. Baby-sitter dari South Africa yang sedang menyelesaikan kuliah. Dua orang ibu yang asyik mengobrol dalam bahasa Spanish, anak-anaknya lari kejar-kejaran. Ditambah tiga orang asli US. Dan aku tentu saja, bersama seorang teman dari tanah air.

Aku sudah bertukar sapa dengan mereka, sekian minggu berjalan. Aku tertarik dengan berbagai latar belakang bangsa. Tapi lama-lama aku terdiam. Dari mana saja, semua ibu adalah sama. Pasti yang jadi bahan omongan adalah anaknya. Umur sekian bisa demikian. Cerita tingkah laku anaknya saat liburan. Ikut sekolah ini atau kegiatan itu. Ibu-ibu ini,seperti apakah aslinya mereka? Apa sih hobi/kesenangan mereka? Bagaimana budaya mereka, membesarkan anak di negara lain? Buku apa yang mereka baca? Aku bertanya, tapi entah kenapa jawabannya kembali berbelok. Memang di sini hampir semua ibu mengurus sendiri anaknya. Mungkin hingga mereka tak bisa menikmati kesibukan lain. Atau membicarakan topik lain. Pribadinya seperti lilin yang meleleh untuk nyala pribadi anaknya. Aku sendiri, kadang-kadang ingin membicarakan hal-hal lain di luar anak dan keluarga dan rumah. Atau aku yang salah?

Mungkin bukan tempat dan saat yang tepat. It's a playgroup anyway. Tapi aku jadi bertanya-tanya. Di skala kecil multibangsa ini, wajah-wajah wanita menampakkan garis yang sama.

Monday, July 12, 2004

Ayut

Aku memanggilnya Mbah. Damian memanggilnya Ayut, kependekan dari Eyang/Mbah Buyut.



Usianya sudah melebihi delapan puluh, tak ada yang tahu persis kapan ia lahir (sekitar tahun 1920-an), iapun tak pernah memberi angka pasti kalau ditanya. Sosoknya termasuk tinggi untuk ukuran jamannya. Tubuhnya cenderung kurus, wajahnya dipenuhi keriput yang bercerita kala ia tak bicara. Langkahnya anggun dengan pandangan lurus ke depan, berbalut kain jarik dan kebaya jahitan sendiri. Kala muda ia memang termasuk penjahit laris, bahkan dipesan beberapa artis. Suaminya meninggal dalam perang, kala ibuku sekian bulan di kandungannya. Sejak itu ia menghidupi tiga anaknya, mandiri. Sembahyang dan puasanya tak pernah alpa, walau anak-cucunya menganut keyakinan berbeda.

Sekian tahun ia tinggal bersama keluarga kami, seringkali aku ke kamarnya minta diceritakan masa mudanya dulu. Banyak ceritanya yang menarik, seringkali membuatku terharu. Semuanya membuatku berkesimpulan ia adalah wanita yang mandiri dan berani. Ia pernah mengambil singkong tetangga untuk anak yang dititip padanya karena saat perang susah mendapat makanan, waktu itu tengah malam. Rumahnya pernah kebakaran dan tak ada yang tersisa, terpaksa ia makan berpiring daun jati menyuapi anaknya yang masih kecil-kecil. Ia memilih tinggal di kota suaminya bertugas, tidak bersama keluarganya, bahkan setelah suaminya meninggal. Ia pernah diganggu Belanda tetapi berhasil diusirnya. Tapi itu semua masa lalu, dan saat ia bercerita, tuturnya selalu dipenuhi tawa. Ia mudah akrab dengan orang lain, bahkan dulu pacarku, mbak dan adikku,merasa lebih akrab dengannya dibanding dengan ibu-bapak yang masih mengawasi dan jaga wibawa :) Sampai sekarang setiap pagi ia masih baca koran dan majalah di kursi goyang, terkadang diantar naik kereta mengunjungi anak-cucu-cicitnya di Semarang, ikut menjenguk saudara di rumah sakit, dan menyumbang orang yang kesusahan.

Semalam aku menelepon Mbahku. Suaranya masih ceria, penuh kangen. Terutama menanyakan Damian. Ia bercerita semalam bermimpi menggendong Damian sampai bangunnya kesiangan. Aku tertawa karena dulu saat Damian sembilan bulan dan banyak tingkah, Mbah bahkan sudah tak kuat memangku anakku yang berat. Tapi ia selalu ingin memangku Damian, walau sebentar. Dalam diriku terselip sedih, karena saat kami berangkat Damian masih berumur satu tahun, dan sekarang tidak ingat waja Ayut-nya.

Saturday, July 10, 2004

Rendezvous

Don't judge a book by its cover.


Namanya Rendezvous. Letaknya di tengah kota. Di antara gedung perkantoran, hotel, dan restoran. Ia mengisi lantai pertama, dengan etalase kaca berisi tebaran buku-buku di bagian muka. Sederhana, cenderung kusam malah. Saat aku memasukinya, bertambah kusamlah ia, berbau apak buku dan berselimut debu. Dinding kiri pintu masuk dipenuhi rak yang tingginya hampir mencapai langit-langit, mempersempit jalan masuk yang hanya selebar dua daun pintu. Tapi kemudian ruangnya melebar menjadi segi empat, paling sedikit seluas seratus meter persegi. Ditambah ruang lain di belakang yang khusus memuat buku fiksi. Seluruh dindingnya dipenuhi rak, berisi buku. Dua sisi dindingnya disekat-sekat rak membentuk ruang kecil 1x1 m. Di tengah ruang masih ada lemari-lemari pendek, dan kolom yang dijadikan tempat pajang. Terlihat sesak, seakan isi perut yang siap memuntahkan buku. Di sisi kanan menghadap etalase, ada semacam ruang duduk kecil, berisi sofa merah dan kursi berbingkai kayu. Semuanya kusam seperti tahunan tak dibersihkan, akupun enggan duduk di atasnya. Bukan hanya karena kotornya, tapi kalau sudah duduk di sana dengan sejilid buku, tampaknya bakal lupa waktu. Seperti mesin ajaib yang menghentikan waktu.

Namanya Rendezvous. Ia menyendiri di tengah pikuk gedung dan jalan raya. Hanya seorang ibu setengah baya yang menjaga toko buku ini (setiap kali aku ke sana). Seorang ibu yang membuka tokonya tanpa terburu, kadang terlambat karena terhalang parade di tengah jalan. (Ia tinggal 45 menit dari downtown). Dan ia selalu tersenyum ceria di antara gunungan buku di sekitarnya. Tidak seperti sales yang menjaga dengan tegang, aku seperti ada di rumahnya saja. Ia bahkan tak menyediakan kantong khusus tempat buku yang dibeli, tapi aku selalu lupa membawa sendiri. Di toko buku bekas yang antik ini aku menemukan buku-buku yang menarik, baik sengaja dicari atau tidak. Dari novel klasik macam Monte Cristo atau Anna Karenina, sampai bukunya Umberto Eco, JK Rawling dan JRR Tolkien. Dan berbagai topik lainnya, seperti halnya toko buku lain. Sekali waktu, aku menemukan buku tetraloginya Pramoedya A. Toer, edisi terjemahan bahasa Inggris. Langsung aku ambil, mengingat bukunya yang kupunya masih berujud fotokopi karena dulu masih dilarang edar. Yang pasti, harganya jauuuuhhhh lebih murah dari toko buku lainnya, ditambah lagi diskon 50% di hari Sabtu. Faktor harga ini yang sebenarnya bikin toko ini semakin menarik, selain untuk datang ke sana aku cukup bercelana pendek dan bersandal jepit. Tak harus pura-pura, tak harus menarik. Apa adanya, karena tujuannya cuma satu. Rendezvous dengan buku favorit.

Thursday, July 08, 2004

22 Bulan

Kemarin, 7 Juli, Damian genap berusia 22 bulan.


Kemarin, ia sudah bisa berhitung -atau menyusun- dengan benar,
angka satu sampai enam:
wan, cu, ci, po, pai, cis... Howeee...
[sambil tepuk tangan, memuji diri sendiri]
Horeee...

Sunday, July 04, 2004

Kontemporer

Beauty is in the eye of the beholder.


Suatu hari di senja yang mendung lelaki ini mengambil sepotong pisang dan dikupasnya perlahan. Sambil makan dalam diam, ia berpikir mencari ide untuk menghasilkan karya berikutnya. Ia seorang artis angkatan sekarang. Ia habis akal, dihabiskannya pisang, hampir dibuangnya kulit pisang itu, tapi tak jadi. Karena saat itu ia berpikir,"I'm sick of throwing things in my life..." dan otaknya kembali bergairah. Ia menemukan idenya.

Diambilnya kulit pisang itu hati-hati, diletakkannya di atas meja. Bergegas diambilnya segulung benang dan sebatang jarum. Lalu, kulit pisang yang terbelah tiga, dijahitnya dengan teliti, disambung kembali serapi mungkin. Hingga kulit pisang itu tertutup, hampir seperti semula, hanya tanpa isi. Dibiarkannya sisa benang dengan jarum menjuntai diujung jahitan kulit pisang itu. Ia tersenyum, puas. Diambilnya dua buah jeruk, buah mangga, dan buah pisang lagi. Dikupasnya kulit buah-buah itu hati-hati, supaya kulitnya terpotong alami tapi masih mungkin disambung kembali, dengan jahitan tangan. Ia makan isi buah-buah itu, karena memang harus dimakan, tak boleh meleset dari konsepnya. Dan diulangi lagi proses sebelumnya, dengan bantuan empat jarum dan segulung benang putih.

Aku tidak ingat namanya, aku hanya ingat ide dan karyanya. Di atas rak putih sewarna dinding. Dengan papan peringatan supaya tidak disentuh. Lima onggok kulit buah yang kehitaman [karena sudah sekian lama], dengan jahitan benang putih yang menutup kembali kulit buah tanpa isi. Di bagian sayap Contemporary Art, Baltimore Museum of Art. Bersama karya-karya Piccasso, Matisse di sayap moderen, Rembrandt dan Van Dyck di sayap klasik, dan lain-lain yang kalau dilihat satu-satu nggak bakal habis dalam satu hari. Apa yang terjadi kalau kulit-kulit buah itu membusuk? Kalau dibuang, memang kontemporer sekali seninya...

Aku menyukai seni moderen, menghargai seni klasik dan menikmati seni tradisional. Sama sekali bukan sebagai orang yang ahli, karena aku memang orang biasa saja. Tapi aku belum pernah menyukai seni kontemporer, seperti karya seorang lelaki di atas. Karena seni kontemporer menekankan ide, dan hasil visualnya, maaf, aku tidak bisa menikmati. Sebentuk karya yang 'harus diberi keterangan' untuk bisa dimengerti. Mungkin otakku yang nggak 'sampe', kuno, nggak progresif, tapi seni kontemporer memang sampai sekarang masih jadi pergunjingan: termasuk seni atau bukan. Sama halnya aku masih tidak bisa menikmati arsitektur dekonstruksi, yang awalnya adalah ide/filsafatnya Derrida terus dipinjam buat jadi konsep bangunan.
Atas nama kontemporer.

Friday, July 02, 2004

A Kid in Me

Sudah tentu kami sering menghabiskan waktu bersama.
Aku dan Damian.


Kami ke playground. Aku dan Damian.
Damian ke bak pasir. Menuang, menumpahkan, mengayak, sesekali melempar pasir. Aku membuat istana pasir.
Damian naik ayunan. Aku dorong, ia tertawa kegirangan. Di sebelahnya seorang anak usia lima turun. Kunaiki ayunannya. Aku tersenyum karena malu untuk tertawa.
Damian ke pojok mengambil bola basket. Dilemparnya bola, tapi hanya bergulir karena berat. Aku gulirkan lagi bola ke arahnya. Sampai mendekati papan gawang. Kudribble dan kumasukkan bolanya ke keranjang. Gol...
Damian naik perosotan. Kali ini aku di bawah saja.

Kami ke playgroup. Aku dan Damian.
Damian ke meja puzzle. Ia sudah bisa menyelesaikan puzzle yang mudah. Ia pindah ke meja dengan puzzle yang besar dan agak rumit. Menyerah, bosan, ditinggalkannya meja. Kuselesaikan puzzlenya.
Damian ke meja prakarya. Ia senang mengoles kuas lem pada kartu kosong, tapi enggan disuruh menempel hiasannya. Ia bermain lem sampai puas. Kutempeli kartu dan kuhias. "Wah, Damian pintar sudah bikin kartu! Ini nanti kasih Papa, ya..."
Damian mengambil buku di pojok membaca. Diulurkannya buku ke arahku minta dibacakan. Aku bacakan dan kutunjukkan gambar untuknya. Ceritanya menarik, tapi ia sudah bosan. Ia lari ke arah mobil-mobilan. Kuteruskan membaca bukunya karena penasaran.
Damian naik perosotan. Kali ini aku di bawah saja.

Wednesday, June 23, 2004

Tempo Doeloe


Kawankoe jang boediman,

Adalah satoe kebetoelan bahwa saja menoelis padamoe demikian roepa. Berikhwal dari roesaknja kompie* (=komputer) di roemah jang mana berakibat terhambatnja saja menoempahkan isi otak melaloei watjana blog seperti biasanja. Dan seperti telah diketahoei oemoem, sedjak loeloes sekolah menengah, menoelis haloes adalah soeatu "luxury" karena kemalasan saja sendiri dengan adanya kompie dan mesin fotokopi.

Baroe kemoedian saja terfikir mengenai dirimoe, orang-orang dari tempo doeloe. Dan saja merasa beroentoeng mendjadi orang zaman sekarang. Marilah kita lihat bersama beberapa tjontoh sadja:
Bayangkanlah doeloe kamoe haroes menoelis berlembar-lembar oentoek menoelis novel misalnja. Apalagi di zamanmoe tidak adalah seperti orang sekarang sebut"back-up". Maka dari itoe, angkat topilah saja pada orang sematjam Pak Pram jang walau sudah bermesin ketik tetaplah moesnah karjanja beriboe lembar dibakar orang jang tidak berfikir, tanpa ada dupelikatnya.

Apalagi tempo orang masih menoelis dengan gambar, menoelis di batang lontar, atau menoelis dengan pena jang moesti dicelup sesekali ke dalam tinta. Betapa sabar dan berseninja mereka, boekan? Satoe hal lagi, boros sekali doeloe menggunakan hoeroef sampai saja tjapai sendiri menoelisnja.

Itoe baroelah hal-hal mengenai toelis-menoelis, beloem lagi masalah melahirkan tanpa obat (bagaimanapun saja sudah mengalaminya), berdjalan djaoeh kemana-mana (orang toea saja menenteng sepatoenja sepandjang djalan djaoeh ke sekolah soepaja tidak tjepat roesak), tak ada telefon, listerik, dan sebagainja.

Kawankoe jang boediman,
Maloelah saja karena kerewelan saja, hanja akibat roesaknya seboeah kompie. Padahal masih banjak lembaran kertas dan pena dan sematjamnja. Apa hendak dikata kawankoe, memang lebih enak hidoep di zaman sekarang, walau kami djadi semakin mandja. Moedah-moedahan kamoe mengerti hal-ikhwal jang koemaksudkan. Sampai djoempa di soerat mendatang.

Tabik,
Kawanmoe di zaman sekarang.

Crash

Dari sekeping kertas seminggu lalu.

Ini sisa. Kepingan rasa. Bete berat. Harddisk crash. Hilang semua. Foto, data. New York. Separuh novel. Tak selesai. Melayang, lenyap. Apa lagi? Entah, banyak. Nggak yakin. Bisa ulang. Nulis lagi.

Ini sisa. Kepingan rasa. Bosen banget. No internet. Dua minggu. Nggak ngeblog. Malas nulis. Maunya online. Ada tapinya. Damian senang. Mamanya nemenin. Nggak cuma. Nongkrong aja. Depan komputer. Bisa diajak. Main lagi. He He...

Ini sisa. Kepingan rasa. Campur aduk. Harddisk crash. Jadi ingat. Kata Mbah. Semua masalah. Pasti berhikmah. Tapi Mbah. Ah, sudahlah...

Tunggu saya. Di sini. Kalau keping. Menyatu lagi. Percikan blog. Bakal ada. Lagi, lagi.

[online at Enoch Pratt Free Library]

*****

Ps. Buat Kawan-kawan yang sudah mampir, terima kasih. Mampirlah lagi. Buat Neenoy dan bloggers lain, boleh banget blog saya di-link di blogspot masing-masing. Kalau bisa tinggalin website addressnya biar saya bisa mampir juga, dan tambah semangat nulis. Seperti orang bijak bilang: "Markitul-Terkipub" = Mari kita tulis, terus kita publish...