Friday, August 26, 2005

[Sekelumit]

...Love had given me wings so I must fly....

Sekelumit yang kuingat saat kita menonton berdua, Jalu, entah apa filmnya. Tetapi selalu terngiang kala kita bersama. Denganmu aku mampu melayang walau canggung, mampu menukik tanpa harus terbentur. Karenamu aku menyusuri jembatan pelangi, menggarisi senja yang jingga, menyibak setapak cakrawala.

Aku harus terbang, Jalu. Karena aku diberi sayap untuk melayang. Setinggi yang aku sanggup, sejauh yang aku mampu. Tidakkah kaulihat, sayapku mampu mengarung jarak? Tidakkah kau ecap nikmat kapas awan di ketinggian udara?

Tetapi sekarang sayapku patah. Tergeletak di tanah basah menggiris ngilu. Aku berusaha menyeret sayap-sayapku, tapi bumi terlalu kuat menawanku. Aku rawat luka-lukanya supaya sembuh seperti dulu, tapi patahannya malah memberati ragaku.

Aku mengerti kamu marah, Jalu. Marah terhadap perbedaan kita. Marah terhadap nasib ‘bangsamu’ yang porak poranda. Ah, bahkan kamu sudah memakai kata itu. Bangsamu dan bangsaku. Tidakkah kau mau menyingkap yang sebenarnya? Bahwa mereka adalah mereka dan bukan karena bangsa? Bahwa orang biadab yang merenggut kehidupan saudaramu tidak sama dengan tetangga mamamu? Bahwa aku adalah aku? Bahwa kita menjejak bumi yang sama, beratap langit yang itu juga?

Aku ingin menggapai kamu, tapi aku tak tahu kemana harus menuju. Aku ingin kamu kembali menyentuh sayap patahku, supaya ia bisa mengangkatku lagi. Tolong bisikkan padaku, kemana aku harus menyeret sayapku, Jalu. Karena aku tahu akan sembuh... kalau saja kamu mengajakku untuk memahami. Dan belajar terbang lagi....

*****

Gue pingin banget nulis, karena memang ada yang pingin ditulis. Tapi sekarang weekend, udah malem lagi, otak males diajak mikir. Jadi gue post aja ini, sekelumit dari tulisan yang sudah lama tak tersentuh.... Oh iya, tunggu kelanjutannya: surat balasan dari Jalu buat ceweknya ini.

Sunday, August 14, 2005

Dua kali lipat

Sejak ia ada, ia menjadi bayangku yang hidup. Membuat tubuhku tidak hanya satu, tetapi dua. Dan diriku yang dua melakukan segalanya dua kali lipat.

Aku terbangun di pagi hari dua kali; saat diriku bangun, dan kemudian saat dirinya bangun dan meneriakkan namaku minta ditemani. Aku sarapan dua kali; saat kulahap sarapanku terburu dan kemudian saat kutemani -terkadang kusuapi- makannya yang lambat sambil bercakap. Aku berangkat kerja dua kali; saat kuantar ia ketempat kerjanya -which is playing, actually-, kemudian saat aku sampai di tempat kerja. Terkadang aku makan siang pun dua kali, makan siangku dan makan siangnya.

Salah satu yang kunikmati adalah aku bermain dua kali lipat; saat aku bermain di senggangku dan kemudian saat bermain dengannya. Mandipun aku dua kali, mandiku dan saat aku memandikannya. Satu hal lagi yang kusukai: aku membaca dua kali lipat, bukuku dan bukunya. Aku bernyanyi dua kali lebih banyak, menonton dua macam film, berjalan-jalan ke dua tempat. Laguku dan lagunya, filmku dan filmnya, tempat yang kusuka dan tempat bermainnya.

Terkadang saat ia sakit, aku merasa dua kali lebih sakit, even beg to give away his pain for me. Saat ia sedih dan menangis, hatiku ditoreh dua kali. Kala ia jatuh aku menghiburnya dua kali lebih banyak. Waktu ia belajar menjadi bocah besar, aku berharap bisa belajar jadi orang tua dua kali lebih baik.

Sejak ia ada, ia menjadi bayangku yang hidup. Membuat aku tak lagi satu, tetapi dua. Dan semuanya menjadi dua kali lipat. Kecuali satu. Waktuku sendiri menjadi dua kali lebih sedikit. And guess what? I never ever regret it. Malahan saat ia bahagia aku diberi tawa dua kali lipat lebih banyak. Wrong... tepatnya, kebahagiaanku belipat-lipat saat ia tertawa bahagia... And nothing can beat that feeling.

Wednesday, August 03, 2005

Anonymous

I really have loads of matters to write right now, even too much to just stay on my fingertips.... But it also too much that it weighs my heart, I just stare at the blank screen. You my dear blog, are just like a kid, a plain white page without a scratch, patiently waiting for me to fill you in. Once I splash the ink, nothing can wipe it, no paint will conceal it. It stays forever, even if I try to rub the stain.

And though I believe you as much to understand my heart, you, just like a kid, will candidly say it to the whole world. Say it naively to a world of bias and bigotry. Sometimes a world that loves cute fictions rather than reality. Sometimes a world that makes you an enemy. And that is why, my dear blog, I wish I were anonymous sometimes…. Where you can be my space to vomit as well as to splash a rejoice poetry.