Wednesday, December 28, 2005

To Do Or Not To Do

Tanggalan tahun ini sudah menipis, hampir habis. Tahun ini banyak sekali kejadian yang agak di luar normal, hampir luar biasa. Baik yang menyenangkan maupun yang menyebalkan. Yang pasti menambah pengalaman, dan (mudah-mudahan) mendewasakan.

Lalu memulai resolusi baru. Hmmph... memangnya pernah bikin resolusi? Nggak tuh. Terlalu teoritis menurut saya, agak abstrak. Seperti jadi orang yang lebih baik (standarnya kan macem-macem), atau pingin mulai olahraga (kalau ini sih udah tau bakal males mulainya, hehehe). Yang ada paling bikin rencana-rencana, mencoba menuangkan lebih detail apa yang ingin saya lakukan. Mudah-mudahan.

Terkadang saya agak sulit mengambil keputusan di saat-saat genting bahkan nggak penting. Dan muncul pertanyaan," Lakuin - nggak, bikin - nggak, iya - nggak...." Lalu memilih sesuatu yang ternyata nggak tepat, dan kemudian menyesal. Sampai kemudian saya menemukan solusinya. Kalau saya memilih untuk tidak melakukan sesuatu tetapi saya pikir bakal menyesal kemudian dan akhirnya kepikiran, maka sebaiknya sesuatu itu saya lakukan saja. Semacam memilih 'a piece of mind'. Walau tetap dilakukan sebaik yang saya bisa. Kalau saya pikir dengan memilih untuk tidak melakukan sesuatu saya nggak akan menyesal, maka saya boleh nggak melakukannya, atau bisa ditunda saja. Kurang lebih begitu.

Contohnya? Selain saya praktekkan buat hal-hal yang lebih penting, bisa juga untuk hal-hal kecil seperti sekarang. Mau ngeblog kayaknya banyak banget yang pingin ditulis, sampai bingung dan males mulainya. Jadi menumpuk dan terkadang menguap begitu saja. (Ini juga yang bikin saya jarang menulisi apa yang saya alami/kunjungi/lakukan sehari-hari). Tapi kalau saya nggak nulis juga, saya bakal kepikiran karena sebenarnya saya pingin nulis. Heheheh, maka menulislah saya, walau isinya terkadang melenceng dari rencana semula.

Anyway, Happy New Year everybody!

Wednesday, December 21, 2005

Sendirian

Sendirian. Ia termangu. Hari itu mendadak libur. Sementara putranya sudah sign-up untuk satu minggu penuh di sekolah. Suaminya masuk kantor. Ia termangu. Sendirian.

Rasanya aneh, ada yang kurang. Celoteh dan dendang ramai anak kecil tak terdengar. Setelah tiga tahun lebih, tiba-tiba ia di rumah. Sendirian. Aneh. Lho, bukankah itu yang biasanya ia inginkan? Ketenangan, waktu sendirian sehari penuh? Ia termangu. Ternyata tidak juga. Ternyata ia sudah terbiasa. Dengan celoteh dan percakapan. Dengan dendang nyaring terkadang sumbang. Dengan hari yang terencana. Ia menunggu sore. Tapi sia-sia.

Ia adalah saya.

Lalu saya buka pintu kulkas, mencari-cari bahan yang bisa diolah jadi hidangan. Surfing resep. Ingin coba sesuatu yang baru. Ah, kayaknya yang itu bisa. Lady finger diganti vanilla cookie. Setelah browsing ternyata mascarpone bisa diganti cream cheese. Kahlua diganti rum. Yang lebih penting nggak usah dipanggang pakai oven. Sip. Lalu saya sibuk sendiri. Ngotorin dapur.

Dan voila, jadilah sepinggan tiramisu. Ala saya tentunya. Rasanya lebih mirip cheesecake. Ah, jadi ingat teman saya yang suka banget cheesecake (Umi, apa kabar?).

Beberapa hari kemudian, saya sendiri lagi. Tapi sekarang lebih terencana. Saya sudah daftar untuk volunteer di House of Ruth Tempat ini menampung wanita dan anak-anak terlantar. Kebetulan dibutuhkan khusus untuk holiday season, membantu sorting gifts yang masuk. Lagipula, sudah agak lama saya berencana volunteer buat holiday ini, terinspirasi dari Mer waktu Natal tahun lalu. Mencoba membelok spirit of shopping jadi spirit of giving. Paling nggak, giving time yang saya punya.

Setelah bertemu koordinator volunteer, saya ditempatkan di ruang mainan anak-anak. Ruangan itu dipenuhi toys anak-anak segala rupa. Bertumpuk-tumpuk, berserakan, sampai saya membelalakan mata. Ruang ini surga buat anak-anak! Semuanya toys baru, sumbangan dari orang-orang yang baik hati. Dari beberapa label yang saya baca, kebanyakan toys ini disumbang secara personal dari anak-anak juga. Anak-anak yang lebih beruntung. Yang mau berbagi buat anak-anak lain yang kurang beruntung.

Lalu saya dan seorang lain mulai bekerja, membuka kantong-kantong. Melabel rak-rak berdasarkan jenis mainan, menyusunnya rapi-rapi. Termasuk buku, games, bahkan sepeda. Terkadang berhenti sesaat, memperhatikan mainan yang lucu, sambil berbagi tawa dengan yang lainnya. Sambil membayangkan, betapa senangnya anak kecil yang masuk ke sini, memilih mainan yang ia suka.

Saya sempat terharu. Tadi saya sempat melihat ruang tempat bermain anak-anak. Mereka yang sudah nggak punya orang tua atau yang orang tuanya nggak mampu menafkahi anaknya. Dan cuma setahun sekali mereka boleh merasakan mendapat mainan baru. Dan walaupun mereka mendapat mainan yang mereka suka, saya bisa mengira apa yang sebenarnya mereka inginkan. Berkumpul bersama keluarga.

Setelah menyelesaikan tugas, saya pulang ke rumah. Ternyata saya sangat tidak sendirian.

Thursday, December 08, 2005

Angin

Aku adalah sebulir angin. Melayang di udara bersama renda-renda mutiara. Hari ini aku melaju ke utara, menebas ranting yang payungi jalan raya. Lalu aku terhenti, menabrak kaca jendela. Di dalamnya kulihat ruang duduk suram dengan perapian. Dan seorang anak memeluk lutut di mukanya mencari kehangatan. Badannya terayun-ayun mengikuti dendang lirih dari radio tua. "You better watch out, you better not cry..." Oh please... masihkah ia percaya akan Santa?

Bulir angin di sebelahku berbisik," Aku ke sini tahun lalu. Saat itulah kudengar kisahnya. Orang tua anak itu sudah tiada, sekarang ia tinggal bersama neneknya. Satu-satunya yang masih membuatnya gembira adalah musim ini. Saat ia masih bisa berharap, Santa akan mempertemukannya dengan orang tuanya....". Aku terdiam. Saat seseorang kehilangan sesuatu yang luar biasa, sungguh wajar ia jadi percaya akan hal-hal yang luar biasa pula. Untuk meredam rasa kehilangannya....

Aku adalah sebulir angin. Melayang di udara bersama jarum-jarum air. Hari ini aku melaju arungi benua. Menghirup hangat di bibir samudera, menari-nari dengan butir pasir. Aku terhenti saat tertambat di rambut seorang perempuan muda. Di tangannya tergenggam ranting, menggores hamparan pasir. I love.... (sebuah nama). Ah, ia jatuh cinta. Lalu ia berdendang, akan cinta yang mengarung jarak, tak tembus mata. Hanya rasa yang melayang di udara, berharap angin menyampaikan pada yang terkasih di belahan dunia sana. Aku terpana. Masihkah ia percaya, akan cinta tanpa tatap mata?

Pasir yang memeta nama sang pria tersenyum mendengarku. "Hei, sudah dua tahun perempuan ini selalu ke pantai ini. Dan kami selalu menunggu goretannya yang tak pernah berubah. Bukankah itu pertanda indah, kesetiaan?" Aku tersenyum ragu. Sampai kapan ia akan bertahan menunggu?

Lalu pasir itu berlagu," Tolonglah angin, sampaikan pesan ini pada sang pria di belahan dunia sana...." Lalu aku berputar-putar di atas pasir yang memeta sebuah nama. Mengingatnya baik-baik sebelum membuatnya pudar dengan pasir yang berterbangan. Ah ya, daripada penuh sangsi dan banyak tanya, bukankah lebih baik membantu orang yang percaya?

Aku adalah sebulir angin. Terbang bersama burung. Menebar salju di udara dingin. Menari berputar bersama pasir. Berkejaran dengan jarum air. Meneruskan pesan, yang tak bisa disampaikan lewat kabel dan surat. Ke sudut hati.