Thursday, November 16, 2006

Aksara

Gadis kecil itu tak mampu bicara banyak. Entah pemalu, mungkin memang pendiam. Tapi tatapannya memancarkan pikiran dan hatinya. Hingga suatu hari.
 
Ia berjalan diantara pepohonan taman. Dipetiknya konsonan u dari daun yang melayang jatuh. Dijejaknya huruf k dari gemerisik tumpukan daun. Dilompatinya huruf c dari genangan becek air. Dititinya huruf t di jembatan kayu. Ditangkapnya aksara s dari percikan air sungai, digoresnya huruf p dengan batu di atas tanah. Ia tersenyum nyaris tertawa. Aku mengumpulkan aksara, pikirnya. Ia teruskan memetik huruf dari udara, awan, burung.... 
 
Dibawanya huruf-huruf itu pulang. Disusun rapi-rapi di atas meja. Dibuatnya beragam kata dan gubahannya. Lalu ia rekam kata-kata itu dengan digital kamera. Kata-katanya indah, karena ada daun melayang, bunyi gemerisik, titian kayu, percikan air, goresan batu di dalamnya. 
 
Lalu ia merasa masih banyak huruf yang kurang. 
 
Esoknya ia menuju tengah kota. Banyak dilihatnya kawan-kawannya bercakap sambil melangkah. Ia menarik napas dan mulai mengumpulkan aksara. Kali ini huruf-huruf berkelebatan amat cepat. Gadis kecil mampu menangkap huruf q, v, dan konsonan i dari orang yang berjalan terburu. Lalu huruf g dari gedung tinggi, r dari lampu lalu lintas, l dari penjual kakilima, dan seterusnya. Hingga ia kelelahan dan memutuskan untuk pulang. 
 
Disusunnya aksara hari itu di atas meja. Berulangkali ia gubah huruf-huruf menjadi kata-kata yang ia harapkan bisa membuatnya gembira. Tapi ia hanya bisa menyusun kata-kata seperti iri, persaingan, serakah, patah hati. Dilatari gedung tinggi, bunyi lintasan mobil, gemerlap etalase toko, gesa orang di jalan. Ia bingung, dan kecewa. BUkankah karya manusia harusnya membuat mereka lebih 'kaya'? Mungkin secara materi, pikirnya, tapi belum tentu di jiwa. 
 
Lalu ia menjadi takut. Ia enggan mengumpulkan aksara lagi. Gadis kecil itu tetap tak mampu bicara banyak.