Wednesday, December 06, 2006

Rumah Hutan

Di luar banyak hal yang aku kerjakan sekarang, salah satu yang terpenting adalah blog-site yang satu ini. Permintaan dari my dear beloved sister, dan baru saja kuselesaikan. Tentang rumah-usahanya yang sekarang.
 
Rumah Hutan yang cuma kudengar dari ceritanya, dan dari seorang kawan yang sudah mampir ke sana. Rumah Hutan yang cara mengebelnya tidak memencet tombol tapi menginjak potongan kayu di depan pintu. Yang meja tamunya dari lesung dihampar kaca, yang kasurnya dari besi dan berkelambu. Seperti liburan ke desa, ke rumah nenek. Dinaungi pemandangan merapi, aliran sungai, dan sawah padi. Rumah Hutan yang ingin sekali kukunjungi, dan mudah-mudahan terlaksana sebentar lagi.  
 
Buat yang berencana ke Jogjakarta, silakan mampir ke Omahlas, Rumah Hutan yang dikelola kakak saya dan suaminya. Boleh menginap atau cuma beberapa jam, sambil belajar membatik atau membuat lilin, atau jalan-jalan ke lingkungan sekitar yang masih asri. Silakan hubungi e-mail yang tertera di blogsite-nya.

Thursday, November 16, 2006

Aksara

Gadis kecil itu tak mampu bicara banyak. Entah pemalu, mungkin memang pendiam. Tapi tatapannya memancarkan pikiran dan hatinya. Hingga suatu hari.
 
Ia berjalan diantara pepohonan taman. Dipetiknya konsonan u dari daun yang melayang jatuh. Dijejaknya huruf k dari gemerisik tumpukan daun. Dilompatinya huruf c dari genangan becek air. Dititinya huruf t di jembatan kayu. Ditangkapnya aksara s dari percikan air sungai, digoresnya huruf p dengan batu di atas tanah. Ia tersenyum nyaris tertawa. Aku mengumpulkan aksara, pikirnya. Ia teruskan memetik huruf dari udara, awan, burung.... 
 
Dibawanya huruf-huruf itu pulang. Disusun rapi-rapi di atas meja. Dibuatnya beragam kata dan gubahannya. Lalu ia rekam kata-kata itu dengan digital kamera. Kata-katanya indah, karena ada daun melayang, bunyi gemerisik, titian kayu, percikan air, goresan batu di dalamnya. 
 
Lalu ia merasa masih banyak huruf yang kurang. 
 
Esoknya ia menuju tengah kota. Banyak dilihatnya kawan-kawannya bercakap sambil melangkah. Ia menarik napas dan mulai mengumpulkan aksara. Kali ini huruf-huruf berkelebatan amat cepat. Gadis kecil mampu menangkap huruf q, v, dan konsonan i dari orang yang berjalan terburu. Lalu huruf g dari gedung tinggi, r dari lampu lalu lintas, l dari penjual kakilima, dan seterusnya. Hingga ia kelelahan dan memutuskan untuk pulang. 
 
Disusunnya aksara hari itu di atas meja. Berulangkali ia gubah huruf-huruf menjadi kata-kata yang ia harapkan bisa membuatnya gembira. Tapi ia hanya bisa menyusun kata-kata seperti iri, persaingan, serakah, patah hati. Dilatari gedung tinggi, bunyi lintasan mobil, gemerlap etalase toko, gesa orang di jalan. Ia bingung, dan kecewa. BUkankah karya manusia harusnya membuat mereka lebih 'kaya'? Mungkin secara materi, pikirnya, tapi belum tentu di jiwa. 
 
Lalu ia menjadi takut. Ia enggan mengumpulkan aksara lagi. Gadis kecil itu tetap tak mampu bicara banyak.

Friday, October 27, 2006

A Present

Ia menyorongkan sepotong kertas ke hadapanku. Gambarnya tidak besar, dibandingkan ukuran kertas yang A3. Aku menatapnya sambil senyum, seperti selalu. Saat kulihat gambar itu, aku nyaris tidak mengerti. Tampak sebuah kotak hampir bujur sangkar sempurna. Kotak itu dicoret-coret dengan pen hitam hingga hampir tertutup seluruh permukaannya. Lalu seperti ada bow, rangkaian pita di atasnya.  
 
"Ayo buka, Ma. It's a surprise for you." "Wow, terimakasih sayang. Bagus sekali present-nya?" Wajahku berbinar, sekaligus menahan tawa. "Ayo buka, c'mon..." Lalu aku berpura-pura membuka ikatan pita di atas gambar kotak itu, memasang wajah surprise dan gembira, "Hey, I like it a lot. You did a great job.... apa ini..?" Masih berusaha memancing apa isi hadiah darinya.  
 
"It's a heart, Mama. It's for you." Aku terkejut. Dan terenyuh. Sempat terdiam dan mengamati coretan gambar di kertas itu. Ia benar. Ia menggambar sebentuk hati, membingkainya dengan kotak. Dan mencore-coret kotak itu supaya isinya tidak terlihat. Lalu diberi gumpalan pita di atasnya. Ah ya, aku lihat sebentuk hati itu. Buatku.  
 
"I love you too, Damian...."

Sunday, October 15, 2006

Rochambeau Rubbles

Why would I concern on Rochambeau apartment being demolished? Maybe I wouldn’t, just like any other foreigner living in foreign country. But I could write something about it, since I had lived there for over a year. You might read all historic backgrounds on this 100 year old building in many sites, which carry nostalgic handsome picture about the past, but living in it is a different delightful story.  
 
We started living there on October 2003 in a one bedroom apartment, simply chosen while we’re still in our home country, with a help from a friend who already lived there. The prime reason was its location, which allowed my husband to spend 10 minutes walk to his office in Wachovia Building. We could save a lot since he would go home for lunch and we did all our activities in downtown Baltimore. Our apartment facing Franklin Street in fifth floor was appropriate; I always tried to make it clean and tidy. Moreover, we hadn’t had a car yet so it was so comfy for us to just walk out the door and roam around the city, the way of life that I love.  
 
Did I actually love living in this building? I didn’t have much complaints other than dog-pee smell –every so often beer spills- in the elevator; a deafening drill sound from the street construction below; a sleepy drunk on front door steps; a banging door in the dark stair. Oh yes, and other creature living with us in winter: itsy bitsy tiny mice. That’s the one thing I love to hate the most.  
 
Otherwise, I love the straight view from living room window: an angel relief on the roof wall of church across the street, watching the ever bustling Charles and Franklin Street junction below. I love to take Damian to Mount Vernon Park; petting some dogs and watching fountains, with bonus once-a-year fireworks from our windows. I love going to Enoch Pratt Library, two times a week for the kid, and being an early bird in its annual book sale. We saw all kinds of parade from the best place; went to Walters Museum exactly in 2-hour free admission; I just walked across the street to Beadazzled and started making jewelries. I love walking to Baltimore Basilica if I needed to whisper a pray; further to Lexington Market for a few piece of doughnuts or fresh veggies; even further to Inner Harbor, and Federal Hill at the furthest. We didn’t miss all kind of restaurants along Charles Street; we merely believe my home-cooked meal still tastes better. I thought it was the healthiest time of my life ever since I finished school.  
 
We seldom met our neighbors, but it’s a good mix of students, single moms, old folks, all kind of workers, and I particularly remember a man who loved to wear his kilt –sometimes along a bagpipe. By October 2004 there was only a couple of tenants lived in the building, I think we moved out at the same week before it would be emptied in November. The front door was already broken, other than tenants used the laundry room as well. Me and my husband felt relieve when we finally moved out though we also miss all the conveniences we had.  
 
A couple of weeks ago, this old building was being demolished by Archdiocese Of Baltimore -the owner of the property. When I saw a great piece of Rochambeau fallen apart, my mind was wandering on those old days we had lived there. A short one year compare to one hundred ages it had. As me and my husband had backgrounds in architecture, we could not avoid talking about preservationist versus religions, maybe politics involved. A few local things we did not comprehend as foreigners. Why not demolish the rigid parking garage right beside it instead. We agree that this prime location in a city was best used as a residential/commercial. Other than its historic value, modestly it’s because we experienced living there. With a way of life that was not only belong to particular people, just for Baltimore City residents.  
 
Further reads: Rochambeau short history (pic taken here), Articles in Baltimore Sun, and Opinion in Urbanite.

Monday, October 09, 2006

Lately

Belvedere Farm, dengan corn field maze dan tumpukan jerami dan bunga matahari dan barn berisi anak sapi dan babi, dan kalkun dan kambing, lalu naik truk jerami yang ditarik traktor, dan memetik labu oranye yang mungil lucu, lalu melihat berjenis-jenis pumpkin yang aneh, mendorong Damian dan Dhika di wheel barrel, berlarian dan membawa pulang apel cider. Mengulang dua tahun lalu, dengan rasa senang baru. 
 
I can picture myself just sit on the hay waiting for the sunset while writing or reading and my son just playing around 'till he just lays down tiredly on dirt. Nggak harus di sini, or di US, tapi bisa juga di pinggiran sawah kampung halaman....
 
Hari sebelumnya, dan beberapa jam sesudahnya, aku main tanah liat. Ikut workshop keramik yang -untungnya gratis- diadakan oleh Baltimore Clayworks. Seneng juga main tanah bikin bowl berbentuk ikan, dan ternyata keesokannya bikin hiasan dinding berbentuk ikan juga. Jadi pingin liat hasilnya seperti apa, mesti nunggu november nanti saat karya peserta workshop dipamerkan di galeri Baltimore Clayworks. Niat juga ya yang bikin acara, dan memang kebiasaan di sini kalau ada acara tertentu bikinnya komprehensif, walau ujung-ujungnya promosi, hehehe.... 
 
Belakangan juga masih ikut beberapa craft fair (ayo tengok jingga gems), sabtu besok ada lagi. Rencana sih bikin tambahan photo-frame dari recycled-paper, sambutan di acara sebelumnya cukup baik, tapi nggak sempat bo...! Mari break sejenak, menikmati fall, my favorite season....

Tuesday, September 26, 2006

choo-choo....

oooh i can't wait... kenapa rasanya lama sekali? semalaman susah tidur menunggu hari ini. dan tadi tidur sepanjang jalan karena bangun terlalu pagi. sekarang sudah sampai pun masih harus menunggu... chugga-chugga-chugga-chugga-choo-choo...

 
suara itu menari-nari di kepalaku, asap hitam itu hadir di mimpiku, wajah birunya yang tersenyum bertebaran di ruang mainku. benarkah ia sungguh ada? biru, besar, dan bisa dinaiki? ahhh.. tak sabar rasanya. chugga-chugga-chugga-chugga-choo-choo... 
 
suara itu masih menari-nari di kepalaku. kali ini ditimpali suara aslinya, dari lokomotifnya yang raksasa, dengan asap hitam tebal melayang di angkasa. ohhh itu diaaaa.... chugga-chugga-chugga-chugga-choo-choo... 
 
aku melompat-lompat kegirangan, dibarengi ratusan anak lainnya. melihat wajah senyumnya ditimpali gerak bola matanya. it's coming, it's coming, thomas's coming... chugga-chugga-chugga-chugga-choo-choo... 
 
don't blame me if i like train so much... maybe too much.... 
[as if told by a four-year-old-boy in his special trip]

Tuesday, September 12, 2006

Tragedi

Dua malam berturut memelototi tivi. Total sekitar 5 jam setengah, tanpa iklan. Enggan diusik, malas bangkit dari depan layar. Titelnya The Path to 9/11. Dalam rangka mengingat kejadian September 11 lima tahun lalu. Konsepnya sejenis film G30S/PKI yang diputar tiap tahun menjelang Kesaktian Pancasila di Indonesia. (Eh, jadi bertanya-tanya, sebenarnya masih'sakti' nggak ya... Istilahnya itu lho, dipikir-pikir mistis banget: 'sakti', memang kerisnya empu atau naga terbang...?ah sudahlah, melantur). Terus: konsepnya saja yang sama, tapi dari isi dan plotnya jauh beda. Walau keduanya bukan murni dokumenter, Film The Path cenderung independen --tidak disponsori pemerintah dan berbasis laporan komisi 9/11-- ditambah tempo shoot yang cepat, nggak lama-lama menyorot isapan rokok atau tatapan mata. Begitu. Makanya irit berkedip, enggan melepas alur dan isi omongan yang padat.  
 
Dan ternyata kejadian hari itu berlatar belakang hampir satu dekade, saat basement gedung WTC diledakkan tapi gagal diruntuhkan tahun 1993. Film ini nggak segan-segan menuding ignoransi pemerintah, jalur birokrasi yang lambat berkeputusan dan kurangnya kerja sama antar badan pemerintahan --termasuk antara FBI dan CIA. Yang menarik, selain runtutan kejadian dalam rentang delapan tahun, satu jam terakhir berisi runtutan kejadian pada 11 September 2001. Lengkap dengan detik-detik saat petinggi pemerintahan duduk terpana menyaksikan runtuhnya gedung WTC lewat layar ruang konferensi. Detail lain yang menarik adalah tidak dibesar-besarkan/disorotnya para korban, melainkan hal-hal lain seperti putusnya saluran network telepon seluler saking tingginya lintas pembicaraan, atau laporan seorang istri yang suaminya berada di salah satu pesawat yang dibajak. 
 
Film ini tidak berusaha memancing emosi, bahkan menggelar sisi lain Amerika yang tidak melulu super-kuasa. Salah satu tokoh agen khusus FBI John O'Neill yang selama film muncul dalam posisi penting ternyata, surprisingly (karena saya memang tidak tahu sejarah tokoh ini), menjadi salah satu korban hari itu. Tragis, karena tokoh ini duduk dalam divisi keamanan nasional yang mendalami Al Qaeda dan percaya OBL adalah ancaman terhadap US, tetapi tidak diindahkan oleh FBI pusat. Hingga akhirnya ia meninggalkan FBI di musim panas 2001, lalu menjabat kepala keamanan gedung WTC, dan menjadi korban. Mungkin lebih tepat disebut ironis. US's ignorance isn't bliss anymore.  
 
Kebetulan, dua hari sebelumnya baru pinjam foreign movie Paradise Now. Film berbahasa Arab berlatar dua pemuda Palestina yang menyelinap ke Israel untuk.... Ah, panjang ceritanya, nonton saja sendiri. Film ini membuka mata dan bikin terpana. Menyaksikan satu sisi coin yang seringkali dihindari. Membuat benar salah jadi nisbi. Jauh di luar prototipe hollywood, setelah nonton film ini dan kemudian menyaksikan The Path to 9/11, it just makes you wonder....

Thursday, August 17, 2006

Sisifus

Saat ini saya pikir, orang -termasuk saya- kadang terjebak dalam satu hal yang berulang. Seperti Sisifus. Mendorong batu ke puncak bukit tapi kemudian batunya menggelinding lagi ke bawah. Lalu diulang lagi. Susah payah didorong ke atas. Walau mungkin ada kesadaran, you have to do it again once you're on top. Makanya tumbuh kontradiksi, antara orang yang percaya akan proses (yang penting usaha, dan menarik pengalaman selama mendorong batu), Lalu ada yang beranggapan yang penting hasil akhir (kalau batunya bakal jatuh ke bawah, ngapain didorong ke atas?). Kalau yang cari aman ya mau dua-duanya, atau menghindar. 
 
Yang mengerikan, Sisifus mendorong batunya dengan kutukan mata buta. Seperti menutup mata hati, nggak sadar menjalankan apa yang diulang-ulang. Rutinitas. Walau kata Camus yang paling cocok dianalogikan dengan tokoh ini adalah pekerja kantor dan pabrik, ternyata saya sendiri seringkali melakukan hal kecil pun tanpa kesadaran. Rutin, otomatis. Naik, turun. Tiba-tiba jadi ngeri sendiri. Berarti mendorong batunya dengan mata buta. Paling tidak kalau melek, mungkin saya bisa putuskan untuk berhenti di tengah jalan, ambil jalan lain, mencari batu yang lebih kecil, atau apapunlah. Lebih bagus lagi kalo bisa memutuskan sebelumnya, sebenarnya perlu nggak batunya didorong ke atas....

Sunday, July 16, 2006

Tiga Minggu

Sudah tiga minggu off dari pojok ini. Mungkin minggu depan bakal kembali, mungkin lebih lama lagi.
Seminggu pertama dihabiskan bermain bersama pria berkumis dan bajak laut yang kelelahan ini. Minggu kedua road-trip selama empat hari ke utara dan timur Baltimore. Kali ini kami pergi bersama Riko dan Arti, menyusuri aspal total sekitar 1800 miles. Persinggahan pertama di Albany, NY. Kemudian menuju utara melalui jalan pinggir danau dan bukit yang indah di Vergennes. 
Persinggahan berikutnya di Burlington-Vermont, menginap satu hari. Kota pinggir danau yang cantik. Esok siangnya singgah di Ben&Jerry's Ice Cream Factory, sekaligus melihat film sejarah dan proses produksi ice cream di sana. Damian sempat bermain di playground, dan kami melihat makam untuk ice-cream yang kurang sukses di pasaran, lengkap dengan nisannnya. 
Lalu mampir makan siang di Quechee-Vermont, di restoran yang lokasinya sekaligus tempat pembuatan blowing-glass art 'Pearce Glass'. Malamnya sampai di Boston-Massachusetts, menginap dua malam di Braintree. Esok paginya menuju Harvard Square mengunjungi Harvard dan MIT. 
Lalu makan siang di Penang, Chinatown, dan menuju Boston Harbor dan Quincy Market. Sorenya berjalan-jalan di Newbury Street, semacam 5th Ave di NY tapi berupa rowhouse yang direvitalisasi jadi pertokoan. Nice city! 
Hari ketiga di Boston kami pulang menuju Baltimore dengan menyempatkan singgah di Providence-Rhode Island, dan New Haven-Connecticut mengunjungi Yale. Thanks to our ride-partners Riko & Arti!
Ah ya, minggu ketiga dihabiskan dengan menonton final WC, dan kembali bermain bersama Superman, Bajak Laut, Train Driver, Popeye, Batman, Dmitri, Scholl-boy, Monkey ....

Sunday, July 09, 2006

A Part of Me

Ia sudah jadi bagian diri Saat kuhirup kopi di pagi hari, minus versi tubruknya yang legit kental. Saat aku meraih bacaan dan membawanya ke kamar mandi. Lupa diri saat tenggelam dalam barisan abjad, menentengnya kemanapun hingga tamat. Saat kucuri rokoknya dan kuisap diam-diam, berlanjut dan kemudian terlupakan. Saat menemaninya menyatroni piala dunia melawan dini hari, dan hingga kini masih kunikmati. 
 
Harapannya jadi bagian harapanku Saat kuliah dua tempat, sekolah arsitekturnya tak tamat, aku yang meneruskan dan kami berbagi proyekan. Kala menjelajah tempat dan safari darat, mencoba melihat dunia tanpa tinggalkan akar. Melakukan dua hal sekaligus bersamaan, mencurahkan pekerjaan tangan hingga melupakan sekitar. Seringkali enggan mendengar hingga tersandung, belajar melalui jalan tersulit... 
 
Otaknya sudah jadi bagian alam pikirku Seperti kala sepucuk suratnya kuterima mengurai chaos dan kosmos, membahas maya di luar nyata yang menyelip di indra. Saat melihat orang baik adanya kadang tertipu Memandang gelas cenderung setengah penuh walau lebih separo kosong Kala mencoba mencerna alkitab sekaligus membaca sejarah Siddhartha Memeta inspirasi dalam perjalanan jauh, menyangkal lelah, membuang amarah dalam ayunan langkah.
 
Ia sudah jadi bagian diri, he never really left me....

Wednesday, May 24, 2006

Dance With My Father

I've never heard this song my whole life. And when I drove home, this song just came out of the blue at wsmj, by Luther Vandross. I'm being selfish, but this morning, I know this song is for me...  

Back when I was a child 

Before life removed all the innocence 

My father would lift me high 

And dance with my mother and me and then 

Spin me around till I fell asleep 

Then up the stairs he would carry me 

And I knew for sure I was loved 

If I could get another chance 

Another walk, another dance with him 

I’d play a song that would never, ever end 

How I’d love, love, love to dance with my father again 

When I and my mother would disagree 

To get my way I would run from her to him 

He’d make me laugh just to comfort me, yeah, yeah 

Then finally make me do just what my mama said 

Later that night when I was asleep 

He left a dollar under my sheet 

Never dreamed that he Would be gone from me 

If I could steal one final glance 

One final step, one final dance with him 

I’d play a song that would never, ever end 

‘Cause I’d love, love, love to dance with my father again ...... 

 lyrics taken from here

Monday, May 22, 2006

Buat Bapak

Bapak, 
Tulisan tentang Rendeng masih ada di halaman ini. 
 
Tentang memori masa kanak. Secuil tentang Bapak. Tulisan itu masih ada Pak, belum sempat saya kirimkan (karena Bapak tidak lancar dengan komputer, dan dulu saya tidak sabaran mengajarkan). 
 
Dan sekarang Bapak sudah menyusul Mbah Putri. 
 
Maaf saya di posting lalu masih terpeta, dan sekarang saya sudah harus mengucapkannya lagi. Beribu maaf saya Bapak, tidak bisa ada di sana. Kali ini buat melepas kepergian Bapak. Dan maaf buat kesalahan saya yang lain, yang terlalu banyak. Semoga Bapak damai disisi-Nya. Amin. 
 
And though I didn't say it much then, I want to scream it out loud now. I love you.

Sunday, May 21, 2006

In-between people

Dari perbincangan dengan seorang kawan saat makan malam, ada frasa yang menarik buat saya. Ia jenis orang yang bisa menyimpulkan dengan tepat apa yang saya maksud dalam satu atau dua frasa saja. Mungkin nggak orisinil, tapi itu nggak penting. Salah satunya ini. In-between people. 
 
Diawali dengan perbincangan mengenai orang-orang yang dilihat setiap hari walau tak dikenal. Seperti kasir grocery. Atau tukang pos. Atau pelayan restoran. Atau orang yang tiap hari kita lihat di waktu yang sama (saat menunggu bis, misalnya). Walau tak dikenal, orang-orang ini termasuk membentuk keseharian dan rutinitas tanpa disadari. Pada saat harus pindah ke tempat lain, kita merasa kehilangan orang-orang seperti ini. Kehilangan memori. Rutinitas masa lalu. Wajah-wajah yang familiar. Tukang bubur ayam pagi. Wanita penunggu bis. Penjaga perpustakaan. Penjual koran. Bayang-bayang diri yang berkelebat di bawah matahari. 
 
Lalu kawan saya mengaitkan hal ini dengan buku yang ia baca, penulisnya imigran dari eropa timur yang tinggal di amerika. Salah satu kehilangan besar dalam hidup tokoh saat harus pindah adalah orang-orang ini. Sosok tak dikenal yang mengaitkan hidupnya dengan masa lalu. Dengan kenangan hidup di suatu belahan dunia di suatu waktu. Dengan suatu identitas yang mapan, dan rutinitas yang diharapkan. (Ia juga berucap belasungkawa atas kehilangan mbah saya, dan kehilangan akan sebagian diri saya di masa lalu). 
 
Saya menambahkan, ada kesamaan dari orang-orang yang ber-imigrasi ini. Alasan pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Kadang masa lalu yang sama (pengungsi perang atau revolusi, seperti dalam Kite Runner atau Minaret). Kadang ingin kehidupan yang lebih baik (Life of Pi, Namesake). Entah tokoh dalam buku atau pengalaman langsung penulisnya. Somehow, mereka punya karakter yang sama. Tapi yang pasti, walau mereka punya akar di negaranya, benih mereka jatuh di negara lain. Hati dan budaya mereka ada di tanah asal, tapi rutinitas dan hidup mereka ada di tanah baru. Terjepit. Atau terbelah. Atau terentang. In between. might be continued. might be not.

Sunday, April 16, 2006

Rendeng

Desa Rendeng, Purworejo. 1982.  
 
Hari menunjukkan pukul delapan malam saat mobil kami berbelok memasuki jalan utama Desa Rendeng, Kecamatan Gebang - Purworejo. Penerangan hanya dari teras rumah yang jaraknya berjauhan, seperti kelip kunang. Belum ada listrik. Jalan raya hanya cukup dua mobil beda arah, pas. Belum diaspal. Berdebu saat panas, becek saat hujan. Bapak harus mengemudi hati-hati karena diantara rumah berhalaman lebar terseling sawah yang lebih lebar lagi. Jangan sampai kami tergelincir. Satu dua orang yang lewat, biasanya ke mesjid, menoleh hingga memutar kepala saat mobil kami lewat. Mencoba mengenali keluarga siapa yang berkunjung. Karena jarang ada kendaraan lewat. Seringkali hanya ada angkot, sesekali delman. Ojek baru muncul akhir tahun 1990-an.  
 
Setiap kali hendak memasuki halaman rumah mbah, saya bisa mengenali. Berurutan dari warung di jendela (karena barang jualan dipasang di jendela saja). Pohon kembang sepatu di halaman rumah mbah buyut. Lalu pohon nanas di halaman rumah mbah kakung dan putri, orangtua bapak. Di seberangnya ada rumah tetangga yang masih berdinding bambu anyam dan berlantai tanah. Seperti saat rumah mbah belum bertembok bata dan berlantai 'ubin' seperti sekarang. Lalu disambut tulisan di dinding rumah paling depan, yang dilukis mbah kakung sepenuh hati . Aja dumeh. Waktu saya tanya bapak apa artinya, bapak bilang "jangan sombong", atau "jangan mentang-mentang". (Tulisan yang teringat hingga sekarang, walau saya sadar sering alpa diaplikasikan.) Mbah kakung dan mbah putri menunggu di teras sejak mesin mobil kedengaran di ujung halaman. Teh manis dan kue sagu-kacang, dan gula-kacang menunggu di meja ruang tamu. Penerangan lampu minyak membuat bayangan kami menari. Bunyi gas petromaks mengiringi pelukan. Nyanyi jangkrik menimpali percakapan. Obat nyamuk. Udara dingin. Tidur di bawah kelambu.  
 
Saya selalu menikmati liburan sekolah ke desa ini. Menikmati udara bersih dan suara alam. Pagi hari langsung menuju dapur yang terpisah dengan bangunan induk. Letaknya agak di belakang setelah melewati sumur di sebelah kiri, masih berdinding bambu anyam dan berlantai tanah. Memasak pun masih memakai tungku dengan kayu bakar, dalam panci tanah liat yang menggosong. Baunya harum. Mbah pun menolak memakai kompor minyak tanah, apalagi gas. Sudah terbiasa katanya, dan susah terbiasa dengan perubahan. Tapi saya menikmati kehangatan di depan tungku itu, menunggui mbah menuangi air panas ke gelas-gelas untuk teh dan kopi. Mengorek-ngorek kayu arang dengan sok tahu.  
 
Kemudian menikmati menimba air dari sumur untuk mandi. Menikmati memetik jagung di kebun sebelah rumah untuk dibakar sendiri. Menyukai mencabut singkong dan memberikannya pada mbah putri untuk digoreng. Memberi makan ayam di pekarangan belakang. Berjalan-jalan di 'hutan' kecil belakang rumah dan pura-pura tersesat. Memetik bunga sepatu dan memeras daunnya menjadi minyak. Mengejar kupu-kupu yang banyak sekali berterbangan. Terkadang kecewa saat melihat nanas masih terlalu kecil untuk dipetik. Jajan es atau gula kacang di warung jendela. Kebingungan saat berpapasan mbah-mbah yang menyapa berbahasa Jawa halus. Berkunjung ke pendopo mbah buyut putri di rumah sebelah. Terheran-heran melihat wajah tua ayunya yang masih ceria mengisap rokok dengan nikmat.  
 
Hampir setiap kali ke sini pula kami diajak bapak berjalan sekitar tiga kilometer jauhnya. Menyusuri jalan raya, berbelok di jalan kecil yang membelah sawah. Kemudian mendaki bukit berbatu hingga mencapai pemakaman. Pemakaman yang isinya sebagian keluarga bapak. Menemani bapak membersihkan makam dan nyekar. Lalu berjalan pulang lagi. Sekali pernah kami diajak melewati pematang sawah, mencoba memotong jalan. Kami menenteng sandal, berjalan di pematang sambil menjaga keseimbangan. Kaki kami berlumpur coklat hingga sedengkul, tertawa-tawa setiap kali hampir terjatuh. Memanggil-manggil bapak yang jauh memandu di depan. Ditertawakan petani ompong yang mungkin berpikir,"dasar orang kota".  
 
Malam hari suasananya langsung berbeda. Jalanan gelap gulita diselingi kelip kunang. Orang berjalan membawa obor, lentera, atau senter. Paling senang kalau malam menunggu tukang bakso lewat, enak dan hangat, emoh peduli pakai boraks atau tidak. Tukang bakso pun bisa menetap berjam-jam lamanya, karena semua tamu yang datang ke rumah ikut disuguhi bakso, bahkan tukang baksonya juga disuguhi minum dan makanan kecil. Kalau tidak tukang bakso, terkadang digantikan tukang sate. Atau ketoprak. Sesekali diajak bapak berkunjung ke famili yang masih ada di desa ini. Lain waktu diajak ke rumah ibunda Ahmad Yani, yang memasang foto ukuran besar anaknya di ruang tamu. Seorang pahlawan, dari desa Rendeng. Cuma sesekali kami ke Purworejo kota, terutama untuk belanja ke pasar. Atau membelikan sarung buat mbah.  
 
Sekali waktu, saat adik perempuan bapak yang paling kecil (bulik) menikah, rumah ini berubah sangat meriah. Semua saudara berdatangan. Dapur penuh makanan. Kambing dan ayam dipotong. Orang-orang sibuk membuat janur dan bergadang sampai malam, membuat anak-anak ikut berlarian enggan lelap. Pada harinya, semalam suntuk digelar pertunjukan wayang. Lengkap dengan gamelan plus speaker yang suaranya sampai di kejauhan. Semua orang yang lewat boleh mampir, sehingga tambah banyak yang datang dan suasana makin meriah. Sayang, saat itu saya tidak mengerti cerita wayang dalam bahasa Jawa. Tapi bapak selalu mau menceritakan pada anak-anaknya. Seperti saat ia menceritakan dongeng kancil sebelum tidur. Seperti kesungguhannya mengajari kami aksara jawa dalam buku menulis halus.  
 
Saya agak segan dengan mbah kakung. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi besar berkulit gelap. Mungkin karena suaranya yang terdengar menggelegar di telinga saya yang kecil. Mungkin karena kopi kental dan rokoknya. Mungkin juga karena ompongnya. Entahlah. Sampai saat saya berusia awal belasan dan mbah Kakung meninggal dunia, ingatan saya tentangnya masih samar. Belum menyadari ketergesaan bapak yang berangkat mendadak ke desa dengan kekuatiran di wajahnya.  
 
Mbah putri serba kebalikan dari mbah kakung. Tubuhnya mungil dan putih. Suaranya halus. Selalu berkebaya dan berkain jarik. Cenderung pendiam dan sabar. Senang bercanda dengan bapak dan menunjukkan sayangnya pada anak tertua. Sampai usianya mencapai 80 segala sesuatu masih dikerjakannya sendiri. Kecuali menimba air. Saya jarang bercakap dengan mbah putri karena seringkali tak tahu harus bicara apa, apalagi ia tak sering berucap dalam bahasa Indonesia. Atau mungkin itu hanya alasan saya saja. Dan saat dewasa seringkali saya menyesali ketidakmampuan saya berbahasa Jawa. Bahasa orang tua sendiri yang dikalahkan kelancaran saya berbahasa Inggris.  
 
Hingga bertahun-tahun kemudian, kunjungan saya ke desa Rendeng semakin jarang. Apalagi sejak SMA hingga kuliah. Banyak penyebabnya. Atau juga karena mulai enggan. Tidak lagi jadi tempat yang menarik buat usia akhir belasan. Entah apa saja yang sudah berubah sejak kedatangan saya terakhir kali. Entah kapan. Tapi saya ingat listrik sudah ada. Jalanan sudah beraspal. Sawah lebih sedikit terganti rumah berdinding bata. Kebun jagung dan singkong sudah jadi taman karena tak ada yang mengurus. Mbah putri sudah mau memakai kompor minyak tanah di samping tungku-nya. Angkutan umum bertambah, ditimpali ojek. Pemakaman lebih penuh dan teratur.  
 
Desa Rendeng, Purworejo. 15 April 2006. 
 
Mbah putri berpulang. Dan kemudian ingatan ini berangsur kembali. Masa kecil yang menyenangkan, masih bisa bermain di desa. Tempat yang ingin saya tunjukkan pada Damian. Supaya ia juga bisa menimba air, mencabut singkong, berjalan di sawah, membakar jagung, mendaki bukit. Mengecap secuil tanah moyang di bumi yang semakin sempit. Seperti bapak yang mengajak saya ke sana waktu kecil. Ke Desa Rendeng, Kecamatan Gebang - Purworejo.  
 
Walau ingatan saya tentang mbah putri sudah samar, saya tahu ia wanita terpenting dalam hidup bapak sebagai anak tertua. Even though he might not be a perfect husband or father, I know he always tried to be a good son for his mother. And I'm sorry I can not be there for you, Bapak. Doa saya dari sini.

Tuesday, April 04, 2006

Cokelat

Ini asli nggak penting. Tapi seorang teman mengirim kuiz yang secara iseng-iseng aku coba, curi-curi waktu di tempat kerja. Terlanjur menjawab satu pertanyaan dan tercebur sampai selesai. Dan jadinya pake acara sign-up segala (doh...!) yang segera dihapus setelah dapat hasilnya. 
 
Ternyata aku seorang cokelat. Nggak tahu benar atau nggak. Nggak penting. Brown You're brown, a credible, stable color that's reminiscent of fine wood, rich leather, and wistful melancholy. Most likely, you're a logical, practical person ruled more by your head than your heart. With your inquisitive mind and insatiable curiosity, you're probably a great problem solver. And you always gather all of the facts before coming to a timely, informed decision. Easily intrigued, you're constantly finding new ways to challenge your mind, whether it's by reading the newspaper, playing a trivia game, or composing a piece of music. Brown is an impartial, neutral color, which means you tend to see the difference between fact and opinion easily and are open to many points of view. Trustworthy and steady, you really are a brown at heart.

Tuesday, March 28, 2006

4 - "Today was really fun...."

Thursday, March 2  
 
Setelah tiga hari bermain di theme parks, sekarang saatnya berjalan agak jauh lagi. Mengunjungi the real city, not an imaginary city as in the theme parks. Maka jam sepuluh pagi kami menuju selatan Florida sejauh 3 1/2 jam perjalanan, ke Miami. Iya, tempat Don-Johnson beraksi di Miami Vice, hehehe kuno banget.... atau yang lebih baru ya CSI Miami. Udara semakin panas dan segar semakin ke Selatan, bau laut menguar dipayungi langit biru. Kebanyakan orang lokal berkendara dengan kaca mobil terbuka. Kotanya sendiri terlihat jauh lebih moderen dibanding kota di state lain selama perjalanan. Perhentian pertama untuk makan siang di bagian utara Miami Beach. Tidak terlalu ramai dan bersih. Tidak lama kami di sana, karena tujuan sebenarnya adalah downtown Miami dan area Ocean Drive.

Saat memasuki Ocean Drive, aku jadi ingat kuliah dulu mengenai bangunan Art Deco. Bangunan tipe ini ada di mana-mana, dengan warna-warna pastel yang ceria. Sepanjang jalan dipenuhi kafe dan orang lalu-lalang. Dan yang lebih seru, orang-orang yang saya lihat tampak menjaga penampilannya, kelihatan cantik-cantik dan ganteng-ganteng dengan bentuk badan terjaga. Kata suamiku lengkaplah citra triple S di sini (Sun, Sand, and S@x). Oh ya menurut sensus 60% warga Miami adalah keturunan Hispanic, so no wonder why... Sejarah Miami bisa dilihat di sini.
 
Bermain di South Beach dan menemani Damian berenang hingga petang, kemudian menuju downtown Miami, ke Bayside Market Place. Mall pinggir air ini bentuknya sangat mirip Baltimore Inner Harbor, walau tidak terlalu luas. Setelah berjalan-jalan dan mengambil gambar, kami kembali melaju menuju utara. Melalui jarak 220 miles sepanjang Florida turnpike.  
 
Friday, March 3  
 
Setelah kemarin pulang larut, hari ini berniat bersantai-santai dan jalan-jalan sekitar Kissimme. Termasuk belanja souvenir dan ke factory outlet yang cukup besar. Yang patut dicatat, hari ini Damian bermain di pool hotel dan dengan semangat nyebur sendiri ke air setelah dipinjami ban dan pelampung. What a surprise.... Dia mengambang sendiri di air dan menendang-nendang, sementara aku menunggui di pinggir. Atta boy!  
 
Saturday, March 4 
 
Akhirnya, liburan ini sudah mendekati akhir. Setelah packing, sarapan, berfoto-foto, dan check out, akhirnya kami say goodbye to Orlando. Sekitar jam sebelas siang berangkat menuju timur. Karena perjalanan pulang ingin dinikmati, kami berencana berhenti di beberapa tempat. Keluarga Harris ingin ke Daytona Beach, sementara kami sendiri ingin ke St. Augustine (masih di Florida), maka kami pisah jalan saat memasuku I-95 North. Thanks buat Keluarga Harris dan Leli! Sekitar jam makan siang tiba di St. Augustine, kota historik tempat berdirinya first settlement orang Spanish di Amerika, bahkan disebut "Nation's Oldest City". Sangat menarik, dengan bangunan tua khas Spanyol dan terletak di pinggir pantai.

Di sini kami juga mengunjungi Castillo De San Marcos, melalui Flagler Institute, dan jalan-jalan kecil dengan tempat tinggal khas Spanyol yang dijadikan fungsi komersial. Kisah terkenal di kota ini adalah pencarian Fountain of Youth oleh Spanish explorer Ponce De Leon. Tujuan berikut adalah Savannah-Georgia, sekitar tiga jam perjalanan dari St. Augustine, yang dicapai saat surya turun ke cakrawala. Kami langsung menuju Riverfront yang ternyata tersembunyi di belakang jajaran gedung tua dan terletak dua level di bawah jalan raya kota. Jadi untuk menuju pinggir sungai kami harus menyebrangi jembatan besi yang menghubungi pinggir jalan dengan gedung, lalu menuruni undakan dua lantai ke bawah gedung dan menuju punggung gedung yang menghadap sungai. 
 

Pemandangannya menakjubkan buat saya. Tua, artistik, charming, dan relax. Seperti orang tua yang sangat tahu apa yang diinginkannya, menikmati waktu tanpa merasa perlu terburu-buru. Downtown Savannah juga dikenal sebagai the largest National Historic Landmark District in the United States. Saya pribadi selalu menyukai kota-kota tua yang direvitalisasi. Sayang tak bisa terlalu lama, sekitar jam tujuh malam kami kembali ke jalur interstate menuju utara, kali ini sudah ditunggu teman yang tinggal di Durham-North carolina, tempat kami berencana bermalam. Tiba di rumah kedua teman lama Wahyudi dan Suzzanne, suami-istri teman SMP-ku, waktu sudah jam 12 malam. My hubby langsung tidur saat kepalanya menyentuh bantal, karena ia yang nyetir selama perjalanan. Aku sendiri menunda waktu ngobrol hingga pagi, karena sudah terlalu larut. 
 
Sunday, March 5  
 
Setelah cukup tidur dan mandi badan serasa segar. Kami sarapan dan menghabiskan pagi dengan mengobrol, sementara Damian bermain dengan kawan barunya Timothy yang hanya berbeda setengah tahun lebih muda. Sekitar jam sebelas kami berangkat lagi karena tidak ingin terlalu sore sampai di Baltimore. Tentu saja sebelumnya kami melihat-lihat sebagian kota Durham dan mengunjungi Duke University yang disebut mirip sekolahnya Harry Potter. Thanks Wahyu dan Suzanne! Setelah itu kami berpisah dan perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini, langsung menuju Baltimore. Tulisan ini tak akan pernah lengkap, foto-fotonya tak akan cukup dimuat. Tetapi kenangannya akan terus melekat. Seperti perjalanan lainnya. 
 
Suatu malam saat di resort, aku membaca PR-nya Aldi yang mengambil libur di hari sekolah. Tugasnya membuat cerita tentang perjalanan dan pengalamannya tiap hari selama liburan ini. Sebagian besar awal laporan hariannya diawali dengan "Today was really fun...." Maka, walau sangat sadar aku paling malas dan merasa nggak bisa nulis bagus tentang perjalanan, aku pikir ini saat yang bagus buat nulis. Awalnya bisa disamakan,"Today was really fun...." Ah ya, sebelum kembali ke rutinitas dan ingatan berangsur menghilang....

Thursday, March 23, 2006

3 - The Park

Monday, February 27  

Walt Disney, Magic Kingdom

Menghabiskan waktu dari pagi hingga malam di dunia anak-anak ini. Damian paling suka naik Train, Buzz Light Year, It's A Small World, carrousel, Alladin Carpet, Pooh Playground, dan banyak lagi... (Aduh, sampe nggak inget lagi...).

Fun!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, February 28  

Universal Studio, Orlando 

Walau lebih banyak tempat bermain buat usia sekolah dan teenager, di sini Damian tetap bisa bermain di area toddler. Paling suka... main air! 

 

 

 

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Wednesday, March 1  
 
Universal Island of Adventure 

What can I say.... Semangat bermain dan jalan-jalan masih tinggi.... tetapi semangat mengambil foto sudah berkurang, hehehe.... Ultimate ride: The Mummy Return! (Kali ini, tentu saja Damian nggak boleh naik.

 

 

to be continued....

Thursday, March 16, 2006

2 - The Beach

Sunday, February 26  
 
Hari ini mengarah barat Florida, menuju Tampa. Setelah satu setengah jam perjalanan, sekitar jam makan siang tiba di Ybor City, kota historic "the cigar capital of the world" di tahun 1900. Dulu pekerja pelinting rokok di sini datang dari Cuba dan Italia, bahkan sempat jadi sarang mafia.
 
 
 
Walaupun sekarang pabrik rokoknya sudah musnah, bagian kota yang dijadikan Historic Landmark Distric ternyata menarik. Bangunan tua direnovasi dengan ciri balkon dari trelis besi dan dinding bata. Seperti biasa di daerah wisata, banyak pertokoan, restoran, dan galeri dilengkapi streetcar yang sangat menarik perhatian Damian. 
 
Setelah makan siang, kami langsung menuju Hari ini mengarah barat Florida, menuju Tampa. Setelah satu setengah jam perjalanan, sekitar jam makan siang tiba di Clearwater Beach, melewati Tampa Bay dan menyusuri sisi Gulf of Mexico. Bau laut yang segar langsung menerpa hidung, aroma asin menyapa bibir. 
 
How I love the beach.... Pasirnya putih dengan garis pantai yang tak terlihat ujungnya. Walaupun matahari menyengat terik, udara dingin masih berhembus dan cukup kencang. Tapi kami tetap bermain air, mengumpulkan kerang, berjalan-jalan di pantai, duduk-duduk menatap cakrawala. Saat senja mulai turun kami sudah kembali menuju Timur karena cuaca yang mendingin. Dan saat matahari merah di ufuk barat kami berhenti di sisi highway yang menyebrangi Tampa Bay, dan menunggu bola merah itu lenyap. Sambil berpose sesekali :) Cantik..., langit senja yang sempurna. Lalu kami kembali ke Kissimmee, Orlando. Bye lovely Tampa.... Perjalanan 180 miles pulang pergi terbayar sudah.