Saturday, December 29, 2007

A Thousand Splendid Suns

Pengarang: Khaled Hosseini
384 halaman, hardcover

Penerbit: Riverhead Books

Tanggal Publikasi: 22 Mei 2007


Khaled Hosseini mengawali novel terbarunya dengan memperkenalkan kata harami, bastard. Sepotong kata yang familiar dalam bahasa Indonesia: haram. Bagi Mariam yang berumur lima tahun, kata itu berarti makian ibunya bagai mengusir serangga yang tidak diinginkan. Baru kelak ia mengerti bahwa ia anak haram, tidak layak beroleh perlakuan dan kasih sayang seperti anak yang ‘legal’. Setelah ibunya menggantung diri dan kedatangannya ditolak Jalil (sang ayah yang beristri tiga), Mariam semakin sadar dirinya hanya ada untuk melayani orang lain.

Dengan latar pinggiran desa Gul Daman di tahun 1974 tempat Mariam tumbuh besar, dan kemudian Herat, cerita baru mulai sepenuhnya di Deh Mazang. Wilayah ini terletak di pinggiran kota Kabul, tempat Rasheed memboyong Mariam sebagai suami istri. Dua orang yang berbeda dialek dan adat dalam satu atap pastinya menimbulkan konflik. Rasheed, pria Pashtun berusia 45 tahun, menganggap rendah Mariam yang orang Farsi tanpa sekolah dan terlebih lagi harami. Kekejaman Rasheed semakin menjadi setelah Mariam keguguran anak pertama, kedua, hingga ke enam. Penderitaan Mariam berlanjut hingga akhir bagian pertama, bersamaan saat komunis menggulingkan kekuasaan Daoud Khan di tahun 1978.

Hosseini bertutur layaknya adegan film yang dituangkan dalam tulisan. Penuh suspens, kalimat menggantung di akhir bab, atau adegan klimaks yang merubah plot. Hal ini membuat tulisannya mengalir terburu karena banyak adegan dan percakapan yang ingin disampaikan. Bahkan deskripsi mengenai Deh Mazang, Kabul, dan latar terjadinya setting terasa samar. Rasanya pembaca tidak keberatan membaca buku yang lebih tebal untuk mendapat narasi yang lebih detail tentang karakter maupun setting, selain adegan yang tampak menarik jika difilmkan.

Faktor ini pula yang membuat saya kurang bersimpati terhadap tokoh Mariam yang penderitaannya begitu hebat, cenderung didramatisir. Berulang kali kepasifan Mariam menimbulkan rasa gemas, walau dengan latar belakang hidupnya kepasifan itu sangat mungkin terjadi. Momen menarik saat Mariam pertama kali mengenakan burqa menjadi hal biasa, karena mungkin hal itu sangat lumrah di Kabul. Saya berharap karakter Mariam melontarkan pemikiran yang lebih jelas mengenai hal ini. Begitu pula di akhir bagian pertama cerita, saat Mariam dicekoki kerikil oleh Rasheed hingga mulutnya berdarah dan giginya rontok. Mengingat Amerika tempat Hosseini menelurkan karyanya, perlu ditelusuri lebih jauh hal-hal yang terasa asing bagi kalangan pembaca.

Bagian kedua loncat ke tahun 1987, memulai tokoh Laila yang berusia sembilan tahun disertai Tariq, kawan masa kecil yang kemudian (bisa ditebak) menjadi kekasih. Tokoh Tariq yang berkaki palsu mengingatkan saya akan film Kandahar (2001), yang membuka filmnya dengan adegan ironis: pria-pria berkaki satu atau tanpa tungkai berlomba mengejar pesawat Palang Merah yang tak berani mendarat. Pesawat ini menjatuhkan kaki palsu baru dengan parasut yang melayang-layang, dan para pria ini adalah korban ranjau perang seperti Tariq.

Perjalanan kedua bocah menuju Patung Budha di Bamiyan menjadi bagian menarik yang membuka sisi lain Afghanistan. Patung ini menjadi simbol sejarah keragaman religi di jalur sutera beribu tahun lalu di Bamiyan. Ketika kemudian kekuasaan Taliban meluluhlantakkan kedua patung Budha, bisa dimengerti jika muncul perasaan marah dan antipati terhadap aksi penghancuran ini. Kisah Mariam dan Tariq terus berlanjut hingga tahun 1989 saat Soviet meninggalkan Afghanistan, hingga tahun 1992 ketika Mujaheedin menguasai Kabul.

Latar sejarah Afghanistan selama periode ini dituturkan menarik, terutama dengan benang merah dua saudara laki-laki Laila yang berjihad melawan komunis. Mammy (ibunda Laila) keluar dari balik selimutnya, berpesta saat Mujaheedin konvoi di jalan-jalan kota Kabul. Tapi kemenangan ini malah memunculkan pemberontakan lain terhadap pemerintah Rabbani, antar kekuatan sipil Pashtun, Hazara, Hekmatyar, dan Massoud. Peperangan kembali membayangi Kabul, dan Mammy kembali bersembunyi di bawah selimutnya.

Tariq dan keluarga akhirnya mengungsi ke Pakistan, menoreh kenangan dalam diri Laila. Saat keluarga Laila ikut merealisasikan mimpi dan bersiap meninggalkan Kabul, mendadak harapan itu musnah. Diterjang dentuman bom yang menembus rumah Laila hingga ke tanah. Gaya tutur ala direktur film menjadi prosa yang indah dalam barisan kalimat,” .... So did a thousand shard of glass, and it seemed to Laila that she could see each individual one flying around her, flipping slowly end over end, the sunlight catching in each. Tiny, beautiful rainbows.”

Bagian ketiga mempertemukan dua tokoh utama wanita Mariam dan Laila, keduanya sebagai istri Rasheed. Balutan cerita protagonis melawan antagonis begitu nyata, cenderung hitam-putih. Kesedihan berlanjut dengan penderitaan, berputar bergantian hingga simpati terhadap dua wanita dan seorang anak nyaris menjadi datar. Namun kesuraman ini tak mampu menandingi kengiluan saat Laila terpaksa melahirkan anak kedua dengan operasi caesar tanpa anestesi. Hosseini menuturkan pergolakan di Afghanistan tahun 1997 di bawah Taliban, ketika rumah sakit tidak diperuntukkan untuk wanita, dan dokter wanita yang tersisa harus mengoperasi pasien dengan mengenakan burqa.

Dentum peperangan menjadi bingkai hidup rakyat sipil di Kabul. Selalu terdengar tanpa harus terlibat, namun menimbulkan ketegangan, kekeringan, kemiskinan. Tanpa bermaksud menghilangkan unsur surprise buku ini, tiba-tiba sudah saatnya Laila keluar dari kesuraman. Bahkan penulis memberi penutupan tokoh Jalil dalam rupa surat dan – untuk keuntungan Laila – sejumlah uang. Suatu kebetulan yang memudahkan, nyaris klise. Dengan latar belakang Laila yang berpikiran lebih maju, selain karena sudah mengecap bangku sekolah dan pengaruh Babi sang Ayah, ternyata jalan keluar tidak datang dari diri Laila sendiri.

Pencerahan untuk Afghanistan berlanjut di bawah pimpinan Hamid Karzai tahun 2002. Saat ini Tariq dan Laila kembali ke Kabul setelah sekian tahun mengungsi ke Pakistan. Cerita kemudian diakhiri dengan latar kota Kabul tahun 2003, memuat secercah mimpi pembangunan, kemajuan kaum wanita, dan keinginan untuk berperan. Walau disebut dalam epilog delapan juta warga Afghanistan menjadi pengungsi, tokoh cerita menjadi wakil rakyat yang masih menaruh harap. Harapan yang entah kapan terpenuhi, karena di tahun 2007 ini masih terjadi peperangan di Kabul, pemberontakan Taliban melawan koalisi Amerika. Dari 5000 lebih orang yang terbunuh tahun ini (menurut AFP), 700 orang adalah warga sipil.

Secara keseluruhan A Thousand Splendid Suns adalah novel literatur populer berlatar sejarah Afghanistan, menarik dan layak menjadi koleksi pembaca fiksi, bahkan sangat mungkin dituangkan sebagai film. Seperti buku pertama Khaled Hosseini: The Kite Runner yang edar filmnya musim gugur tahun ini. Berbeda dengan karya sebelumnya, novel kedua ini dipenuhi muatan mengenai kehidupan wanita Afghan, budaya dominasi pria, dan latar belakang sejarah Afghanistan selama tiga dekade. Bahkan disebut-sebut novel ini ditumpangi propaganda Amerika, walau menurut saya fiksi adalah fiksi, terserah bagaimana pembaca menanggapinya.

Sebagai penulis handal, Khaled Hosseini yang kelahiran Kabul dan sekarang menjadi duta UNHCR, masih menyusupkan prosanya di sana-sini. Ia merangkum tentang negara asalnya yang tak henti berperang dengan jitu, tertuang dalam ucapan pengemudi taksi dalam perjalanan ke Bamiyan,” And that my young friends, is the story of our country, one invader after another.... Macedonians. Sassanians. Arabs. Mongols. Now the Soviets. But we’re like those walls up there. Battered, and nothing pretty to look at, but still standing.....

Friday, October 19, 2007

Kosong

"Aku merasa kosong" ujarnya, lamat. Tanpa binar semangat, pun tanpa semburat sendu. 
 
"Kenapa?" tanyaku tanpa mengharap jawab. Aku tahu, kali ini bukan penjelasan yang penting. Hanya rasa. "Mungkin kamu sudah moksa," gurauku menyunting senyumnya. "Sudah di atas awan, nggak ingin apa-apa lagi, nggak merasa apa-apa lagi...." Pikirku, tiadakah lagi yang penting buatnya? Mungkin, harapku, hanya saat ini.  
 
Senyumnya pudar, pandangnya kembali mengawang," Nggak tahu, kosong aja...." dan berlalu dari hadapku. Seribu kenapa menghujam benak. Tapi aku tahu, bukan penjelasan yang penting. Hanya rasa.  
 
Saat harap terhempas dan melayang, mengundang harap lain yang tak lagi mampu menggayut senyum. Saat uang tak lagi mampu menyogok keinginan, teronggok di celengan berselaput debu. Saat langkah tergesa mengejar jabat menjadi lambat, tak lebih cepat dari merangkak. Kerja jadi biasa, prestasi jadi klise, ambisi jadi memuakkan. Ucap jadi basi, senyum jadi tawar, tawa jadi hampa. Tak ada lagi kecewa, tak juga sesal. Kosong. 
 
Itukah kosongnya? Seperti gelas yang airnya habis diminum? Atau gelap yang merayapi malam, atau desis statik setelah lagu usai? Kosong tanpa pretensi.... Seperti kertas yang penuh tulisan dan kemudian dihapus. Seperti menutup cerita di sebuah buku, atau menelepon kekasih yang jauh. Ada, namun tak terjamah. Memenuhi pikiran, sekaligus memeras otak hingga kering. Kosong, tak positif, tak pula negatif. Titik nol.  
 
Hari ini ia tersenyum. Saat tulisanku belum usai, kosongnya sudah lalu. Sudah kuduga, kosong itu ada buat dia. Kosongnya adalah putihku. Saat rasaku tak berwarna, di satu masa.

Wednesday, August 22, 2007

Summer That Reads

Fiction reveals truths that reality obscures. ~Jessamyn West

Summer is almost over. The sun sets earlier, the clouds fly heavier, and the grass glistens from early morning raindrops. Somehow I love fall better, but now I already miss long-noon-sunshine when we can swim till late or driving with no hurry or play outside all day. It’s like life seems longer, time goes slower.

Anyway, apart from all of that -and summer vacations, beaches, barbecuing, day trips, and other ‘summer stuff’- there are books I want to write about. There were actually about four and a half fictions/literature I’d read in these 3 months.

First is
The Secret Life of Bees by Sue Monk Kidd, which had an interesting way of narrating the story of a young girl with problematical background, but I eventually became bored. It’s simply because I could not relate to the setting of the story, which I later learned from Amazon, actually took place at the time of ‘Southern Gothic’ in 1960s. Well, guess I got nothing much left to say on this one.

The second is an easy mindless read of a pop-novel
The Right Address by Carrie Karasyov and Jill Kargman. Along the way I always laughed almost vomit at these rich people of Park Avenue NY who got sooo much money almost-too-many that they have nothing else to do but gossiping, shopping, partying, social-climbing, and then some more gossiping. I know it’s always fun to imagine such lifestyle but there’s always a price on that: you might not be able to be just yourself. Too many masks to wear. After I finish I almost feel grateful being middle-class, although I must admit that these characters of women can be easily found in any classes of life. Uh-huh. Other than that, I think the writers purposely told the story in a chick-lit way that was shallow, mindless, and gossipy to create the exaggerating unsophisticated life of supposedly sophisticated people. There, don’t read it I’d say.

Then there is
The Brethren from John Grisham. I always read Grisham’s books that involve lawyer, court, judge, and clients, whatever. Always fun and easy. Always flip through the pages till finish, and he’s good at this plot of thriller, slowly reaching its climax with, unfortunately, more and more predictable ending. Not as good as his other books but I’m still amazed how I missed this not-so-new one. Oh, by the way, the character Aaron Lake reminds me of ex- New Jersey Governor Jim McGreevey who was actually a gay but getting married to achieve his political career. And from him I would know that there’s the term ‘gay-american’ which sounds like ‘asian-american’ or ‘hispanic-american’, like it’s some kind of new ethnic group in the US. Well, I’m way off the course now. Let’s move on.

The Conch Bearer by Chitra Banerjee Divakaruni already reminded me of LOTR from the start. Especially this 12 year-old Anand that resembles the character of hobbit who had to bring the conch from Calcutta to the Himalayas. I love the wisdom and exotic Indian setting, with Hindi culture and ethnic food that almost made me drooling. The story itself mostly a kid fantasy that would fit middle-high school reading. But the wisdom…. That part would leave me speechless since it’s so related even with adults. With people who have lived many more years than kids but still searching for the classic wisdom of honesty, loyalty, and compassion. Which one would be the most important for you?

There is one special sentence in this book that really intrigued me “… in order to gain something great, one must release his hold on something else equally beloved.” I always thought that everything you have had never taken away from you, it just changed its substance. Some kind like the law of conservation of energy: energy can not be created or destroyed; it can only be changed from one form to another. Which lead me to think that every person already had his/her talent, even fate, but sometimes it changes to something else unpredictable. Like when you work extra hours with extra money but then you had to change your car tires (yup, extra money=new tires), or even give up an office job to home job such as raising a kid, or not being a lawyer but being a teacher. How can you tell that one is better than the other, that they are not equal? (Oh… please don’t take out that calculator). Or have ever thought that the more money you have it doesn’t mean your bank account becomes fatter???

Okay, so my last book this summer is a splendid book:
House of Sand and Fog by Andre Dubus III, which actually not new at all even already was being filmed. The characters are strong: Massoud Amir Behrani, a former colonel in the Iranian military under the Shah who was fleeing to the US and try to reach the American dream, his submissive wife Nadi, and Kathy Nicolo, a lost soul right after she lost her house; even I can understand the troubled mind of Deputy Sheriff Lester Burdon. The way the story told also interesting, making me put myself as an ‘I’ in the character and try to understand his/her way of thinking.

The story itself is remarkable, original and tragic at the same time, really different from any other books I’ve read about immigrant in the US. By the second part of the book, which I thought I might have speculated the ending, I actually could not guess at all until I reach the last page. And I got that kind of ‘hollow in your heart’ feeling after I finished. It’s like you can not absorb the meaning of it all right away. You feel sad and angry and empty at the same time. And you turn the back cover in slow motion, try to save the whole story in your mind before the book is really closed. This one is a four star.

I wish summer would span a little bit more time until I get my waiting list book:
A Thousand Splendid Sun by Khaled Hosseini, which I really hope to get my five star. I fell in love with his first book which I had read nearly two years ago: Kite Runner and it actually will show up in a movie this fall. Well, I guess that’s why his second book becomes so popular I need ten more people to finish reading it before I can get it from the library. And so I start counting….

Monday, August 06, 2007

Why?

Entah sejak kapan Damian mulai menyebutkan satu kata itu. Why? Mungkin awalnya tidak kusadari, karena awalnya hanya menanyakan masalah 'sepele'. "Why do people eat, Ma?" "Biar tambah besar dan kuat," jawabku singkat. Dan ia manggut-manggut. Lalu,"Why do we pray, Ma?" "We should be thankful and ask for blessings." Habis ini ia akan menanyakan "What is blessings, Ma?" Kali ini aku mesti berpikir dulu sebelum menjawab. Itu masih biasa.

Kemudian setiap kali aku minta dia melakukan atau tidak melakukan sesuatu langsung disambarnya,"Why, Ma?" Ohhh, rasanya tidak habis-habisnya aku berucap menjelaskan panjang lebar hanya untuk menjawab satu kata itu. Setiap kali ia bertanya sebelum melakukan apa yang kuminta. Itu masih kuanggap biasa. Dan selalu bisa dijelaskan alasannya.

Film pertama Damian di bioskop, Spiderman 3. Seru, banyak action, dan Damian antusias menyaksikannya. Yang lebih seru lagi,setiap ada adegan yang tidak dimengerti ia akan bertanya,"Why Spiderman turned black,Ma?" "Why the Sandman jadi bad guy,Ma?" "Why Harry jadi goodfriend lagi, Ma?" Dengan suaranya yang nyaring. Di dalam bioskop. Dan aku sibuk menjawab berbisik-bisik. Oh well, untunglah film anak-anak. Banyak anak-anak, dan nggak terlalu penting buatku mengikuti setiap adegan.

Belakangan, variasi dan bobotnya bertambah. Seringkali aku 'terjebak' menjawab panjang lebar. "What's inside this, Ma?" Telunjuknya menyentuh dahinya. "Brain." Kupikir sudah, titik. "Why do we have brain, Ma?" Dan kutatap dia dengan raut menyerah-malas-menjawab-tapi-selalu-nggak-tega, dan berkicaulah aku hingga wajahnya menunjukkan kepuasan disertai manggut-manggut. Entah mengerti atau tidak. Damian juga suka menceritakan mimpinya. Setiap pagi ia bercerita tentang mimpinya semalam. Kupikir mungkin sebagian benar, sebagian khayalan. Lalu,"Why do we have dreams, Ma?" Kali ini jawabku,"I'm not sure, Damian. Let me find out about that, OK?" Untunglah kali ini ia cukup puas, aku hanya berharap ia lupa. Ternyata tidak.

Cogito ergo sum, I think therefore I am. Ia bukan cuma seorang anak, tapi manusia yang utuh, berpikir. Aku jadi terpekur, sudah lama sekali aku tak bertanya 'mengapa'. Tidak banyak lagi yang jadi kejutan rasanya. Berita, cerita, bahagia, derita, hidup. Tidak lagi menimbulkan pertanyaan 'kenapa'. Sudah kurang rasa ingin tahu, antusiasme melihat hal baru. Menerima dan menyerap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dirasakan. Seringkali tanpa pertanyaan. Would that make me less of a human?

Monday, July 23, 2007

Catatan Perjalanan

Sabtu pagi di akhir Juni, musim panas yang cerah. Jam enam pagi kami sudah berkendara menuju Barat Laut. Melalui highway yang membosankan, membuatku jatuh tertidur lagi hingga beberapa saat sebelum memasuki Pittsburgh. Beberapa kali aku dan Umi bertukar pembicaraan di telepon. “Sudah sampai mana?” “Baru masuk Pittsburgh”. “Nggak ke Falling Water?” “Nggak dulu deh, waktunya nggak cukup, kalo mau tour at least butuh 2 jam. Rencananya jalan-jalan di kota aja.”

Perjalanan kali ini menuju Ann Arbor, Michigan, tempat tinggal kawan semasa kuliah yang belum lama melahirkan. Jaraknya 560 miles dari Baltimore. Rencananya kami akan berhenti di dua kota sebelum sampai tujuan: PittsburghCleveland. Lalu menghabisakan dua malam di Ann Arbor, dan kemudian dua malam di Chicago. Yang menarik dari perjalanan kali ini; tidak banyak historic district seperti yang biasanya kami kunjungi, melainkan kota-kota yang berkembang di jaman modern walau bangunan lama masih banyak dipertahankan. Maka kami sepakat tema perjalanan kali ini: kota dan arsitektur (hehehe, terlanjur koeli arsitektoer). Suami sudah menyusun tempat-tempat yang akan dikunjungi, terutama pusat kota (city center), bangunan landmark kota dan dan bangunan yang didesain arsitek moderen. Sementara aku sendiri kebagian mengurus tempat menginap, packing, perbekalan dan meminjam buku dari perpustakaan untuk melengkapi tempat-tempat yang akan dikunjungi.

Singkat cerita, selain singgah di Mellon Square, Bridge of Sighs, Dominion Tower, ada dua bangunan yang pantas dicatat: O’Reilly Theater by Michael Graves dan PPG Place by Johnson-Burgee. Setelah berjalan-jalan di kota, kami piknik singkat di Point State Park, tempat bertemunya dua sungai besar: Monongahela River dan Allegheny River menjadi Ohio River. Tempat ini termasuk dalam Nation Historic Landmark dengan pemandangan pinggir sungai yang sangat menarik, dan terdapat air mancur raksasa di ujung pertemuan dua sungai tadi.

Setelah perut terisi dan puas berfoto kami menyebrangi sungai menuju ketinggian Duquesne Incline. Damian sangat suka mengendarai sejenis kereta yang turun 45 derajat dan berusia 130 tahun ini. Pemandangannya selama menuruni bukit cukup menakjubkan, dengan latar belakang skyline kotaPittsburgh dan pertemuan dua sungai besar. Sekitar jam 2 siang baru kami berkendara lagi selama dua jam menuju Cleveland.

Yang menarik dari pusat kota Cleveland salah satunya adalah The Mall, taman kota digawangi Fountain of Eternal Life di Selatan yang dikelilingi gedung pencakar moderen karya Cesar Pelli dan HOK. Taman The Mall memanjang ke Utara diakhiri Lake Erie dengan fungsi wisata di pinggir danau seperti Science Center dan Rock&Roll Hall of Fame. Di sekeliling The Mall berdiri bangunan-bangunan pemerintahan neoklasik awal 1900-an seperti courthouse dan city hall, dilengkap sculpture moderen berskala raksasa seperti ‘Free’ dan ‘Portal’.

Setelah berjalan-jalan di pusat kota kami menyempatkan diri ke Heritage ParkConnecticut tahun 1796. Masa itu suku-suku Indian yang menetap di pinggir sungai ‘memberi jalan’ pada Moses dan ekspedisinya setelah disogok perhiasan dan whiskey. Lalu menetaplah Moses di sana, membangun settlement dan disebutlah kota baru itu Cleveland, diambil dari nama belakang Moses. Seperti bisa ditebak, musnahlah permukiman para Indian, dikalahkan oleh peradaban kulit putih yang terus berkembang dan beranak pinak. yang disebut Moses Landing, pinggir sungai Cuyahoga tempat Moses Cleaveland mendarat dalam ekspedisinya menjelajah

Melajulah kami selama hampir 3 jam menuju Ann Arbor, Michigan. Damian tertidur selama 2 jam perjalanan setelah lelah berjalan, berlari dan bermain air. Sekitar jam 9 malam kami baru check-in di hotel, dan setelah mandi langsung menuju kediaman Ludi dan Umi, yang sudah menyiapkan makan malam. Ternyata Fino terbangun, dan Damian sibuk menghibur. Kami sendiri bertukar cerita dan sekitar jam 12 malam kembali ke hotel, langsung pulas terdtidur.

July 1, 2007

Keesokan paginya kami sarapan di hotel yang dilengkapi dapur kecil, lalu keluar melihat-lihat kota Ann Arbor yang terkenal dengan University of Michigan. Di kompleks kampus kami melihat bangunan Bio-medical Research yang menarik dan ternyata setelah kutelusuri mendapat AIA design award dan didesain oleh Polshek NY. Jam sebelas kami bertemu lagi dengan Keluarga Mahadi dan diajak makan dim sum yang terkenal di Ann Arbor, lalu menuju Greenfield Village yang termasuk kompleks Henry Ford museum di Dearborn, sekitar 40 menit perjalanan. Kali ini Damian puas melihat-lihat ruang kerja Thomas A. Edison, rumah masa kecil Henry Ford, train roundhouse, dan terutama mengendarai kereta api selama hampir 1 jam melalui komplek yang cukup besar. Selama perjalanan itu kami melihat rumah petani, ladang tanaman, termasuk orang-orang yang bekerja dan bermain dengan kostum tahun 1800-an. Sekitar jam lima sore saat komplek museum tutup kami baru keluar, dan kali ini menuju Detroit yang hanya 15 menit perjalanan.

Di Detroit kami dibawa ke pusat General Motors tempat Ludi bekerja dan melihat pemandangan Danau Erie dari lantai 20-sekian. Pemandangannya cantik, di seberang perairan sudah terlihat kota Windsor di daratan CanadaAnn Arbor, lalu memesan makanan India untuk dimakan di rumah karena restoran hampir tutup. Setelah makan dan bercakap, tak ketinggalan bermain dengan Fino hingga larut, kami pamit dari kediaman Ludi&Umi. Thank you for having us, guys! We sure had fun in Ann Arbor. yang dihubungkan dengan jembatan atas danau maupun bawah air. Kemudian kami berjalan-jalan sepanjang boardwalk pinggir danau dan kali ini Damian bermain air mancur hingga basah kuyup, puas dan bahagia sekali wajahnya. Sekitar jam tujuh kami kembali ke

July 2, 2007

Pagi-pagi kami sudah bangun dan check out dari hotel. Jam tujuh kami sudah dalam perjalan menuju Chicago dan sekitar jam sepuluh kami sudah sampai di tujuan pertama: Robie House karya Frank L. Wright. Awal kunjungan ini menandai Chicago sebagai mecca of Architecture, dan selanjutnya dipenuhi dengan landmark yang memeta kota ini. Kunjungan berikutnya adalah IIT campus yang dihuni Crown Hall by Mies, dan McCormick Tribune by Rem Koolhas. Spot berikutnya adalah komplek Adler Planetarium yang memiliki pemandangan danau Michigan berlatar skyline Chicago yang menakjubkan. We haven’t even reached the downtown yet, but we already got excited!

Sebelum check-in di hostel tempat kami menginap dan ‘meginapkan’ mobil, kami memutari kota, bahkan sempat melewati Harpo Studio milik Oprah dan Wrigley Stadium. Sore itu kami menghabiskan waktu sekitar daerah Lincoln Park: mengunjungi Lincoln Park Zoo yang cukup besar dan koleksi binatang yang menarik, kemudian duduk-duduk di pasir North Avenue Beach sepanjang pinggir Danau Michigan.

Menurutku kota ini sudah menjadi theme park yang sangat besar. Dengan sedikit berjalan atau naik bus/el-train, kami sudah bisa mencapai tempat wisata atau taman atau pusat kota, atau seperti saat ini: kebun binatang dan pantai sekaligus. Sepanjang berjalan kaki pemandangan berganti-ganti karena sesaat melewati gedung tinggi, kemudian taman terbuka, kemudian menyeberangi jembatan, lapangan olahraga, taman bermain, dan tentu saja orang-orang yang berseliweran.

July 3, 2007

Hari ini dimulai pukul sepuluh pagi saat melangkah keluar hostel, dan ditutup pukul sepuluh malam setelah selesai melihat kembang api di Millenium Park yang kami saksikan dari Navy Pier. Duabelas jam waktu diantaranya kami berjalan-jalan di downtown Chicago, menyinggahi John Hancock hingga Sears Tower, Water Tower hingga Medinah Temple, duduk-duduk di Picasso hingga Flamingo, Buckingham Fountain di Grant Park hingga Crown Fountain di Millenium Park, Damian yang basah kuyup bermain air mancur hingga nonton sneak preview Ratatoulie, menguyah Garrett popcorn sambil menyedot frapuccino, berfoto di pinggir sungai hingga Navy Pier. Dan akhirnya melihat kembang api di langit selatan. Fun!

July 4, 2007

Perjalanan pulang mengarah Timur kami sempatkan mengunjungi tiga kota yang dilewati; Indianapolis, Cincinnati, dan Louisville. Setelah dari Chicago, rasanya kota-kota ini jadi biasa-biasa saja, hehehe….Walau begitu ada beberapa yang bisa dicatat: Contemporary Arts Center by Zaha Hadid di Cincinnati, dan Humana building by Michael Graves di Louisville. Setelah itu langsung kami lanjutkan berkendara hingga sampai home sweet home. Jam 2 pagi di 5 Juli.

Monday, June 11, 2007

Commitment

I feel like I’ve been having problems with commitment lately. As it means a pledge to something or someone, I definitely far from committed. I didn’t mean commitment to my immediate family since I put them on top of my list, as best as I can (not perfect, I admit). But even with my family in Indonesia; I don’t call them as much as I want. I don’t reply their sms or emails right away. I don’t send them Damian’s picture as often as I-don’t-know-how-long-ago. That’s embarrassing. 
 
I’m not committed to my religion since I’ve missed my duties and ceremonies. But if only He knows, I’m committed to pray to Him and whisper His name every time I start the day. And still trying. 
 
As commitment to work, which started as a-spare-part-time-work turned to full time, I just realized I don’t have that kind of commitment. At least not now. Some would say I’m being ungrateful, but really, it’s easy to juggle only if you have 36 hours a day (and don't blame me if still don't want to miss out Law&Order SVU). Even that might still leave me fallen asleep in Damian’s bed, forgotten to run the dishwasher. That’s my choice after all, and still I wouldn’t choose to have longer days because I won’t be perfect anyway. 
 
I have friends and I don’t, as they come and go as well as my commitments to them. I always love talking to them on the phone or spending time with them. But sometimes my mind is wondering about my other commitments, which actually I’m not committed to. That’s confusing, and I left out with little quality time and some might feel under-appreciated. As a friend. 
 
Nevertheless, I slip in some quiet time to commit, again, to my blog. This has the least retort to my imperfection and undisciplined commitment.

Sunday, April 29, 2007

Batik, dan Kelepon

Alkisah, seorang permaisuri dari raja Mangkunegaran seringkali ditinggalkan sang raja yang memiliki banyak selir. Ia merasa sangat kesepian dan diabaikan. Untuk membunuh waktu termangu, sang permaisuri mulai membatik. Mengambil motif bintang yang bertebaran di langit dari balik jendela istana, melukisi malam sendirian. Sekali waktu sang raja melihat karya sang permaisuri, dan menanyakan apa yang sedang dilukisnya. Taburan bintang di langit gelap, lambang kesepian menggayuti malam. Raja terenyuh. Lalu ia kembali ke istana dan meninggalkan selir-selirnya. Batik itu menyatukan lagi sang raja dan permaisuri. Motifnya dikenal sebagai batik truntum.

Cerita ini disampaikan padaku oleh kakakku, saat aku mulai belajar dasar membatik. Di luar perdebatan panjang tentang kepasrahan seorang istri yang ditinggalkan suaminya yang berselir banyak, dalam satu hal kami sepakat. Batik itu indah. Dan nggak gampang. Makanya adalah suatu seni tersendiri saat putri-putri jaman dulu bisa membuat batik tulis bermeter-meter dengan desain yang harus dicipatakan sendiri.

Aku sendiri beberapa kali terkena lelehan lilin panas, kesal karena tetesan lilin menodai kain, bahkan lengan tersenggol wajan. Butuh kesabaran dan konsistensi disamping kreasi. Beberapa potong kain aku habiskan sebelum satu lembar syal bisa kubatik bergambar bunga, kupu, capung dan kepik. Walau saat proses penyelupan warna terjadi kesalahan hingga hasilnya tidak sempurna, cukup puas rasanya bisa mulai belajar sesuatu, karya seni negeri sendiri. Apalagi langsung diklaim Damian sebagai miliknya. Karena warnanya biru muda.

***

"Pep, gue lagi pengen kelepon nih...."
"Apaan sih kayak orang ngidam aja, dari kemaren..."
"Abis dari kemaren belom ketemu keleponnya."
"Kan udah makan jajan pasar yang laen, ntar ajalah. Makanya bangun pagi-pagi ke pasar."
"Yaaa, tau sendiri gue bangunnya siang. Udah jauh-jauh masak nggak makan kelepon Pep...." liurku mulai menetes di ujung bibir, membayangkan lelehan gula merah yang mencelos dari bulatan hijau bertabur kelapa. Hmmm....

Aku uring-uringan.

Sampai pagi itu, saat aku ditinggal sendirian di rumah.
"Happy Birthdaaayyyy....!"
"Waaa... Makasihhh, apaan niy....?"
"Ini kelepon.... 33 biji, sesuai umur lo, awas nggak abisss!"
Aku membuka bungkusan daun kelapa, melihat bongkahan bola-bola hijau bertabur kelapa. Persis seperti yang kuidamkan. 33 biji. Hah....
"Bener nih nggak ada yang mau?" tawarku basa-basi.
Lalu kucomot bola itu. Satu-satu...

Jogjakarta, sometimes in February

Wednesday, April 18, 2007

Pusara

Pernahkah kamu bayangkan, perjalanan ke kampung halaman, bukan lagi menjadi liburan? Melainkan ziarah. 
 
Bukan lonjakan peluk penuh tawa riang, tapi tenggelam dalam sedan. Memeta sosok yang utuh dalam kenangan. Hanya bertatapan dengan foto rautnya di dinding, tanpa dekapan. Kesunyian di hati, dan jelalatan mencari-cari. 
 
Aku kehilangan masa, waktuku dicuri. Akukah yang terlambat, ataukah waktu yang merampasku terlalu cepat? Memohon masa lalu kembali sejenak, memberi kesempatan bercakap. Entah dengan sesosok bayang, ilusi, atau mimpi. Tak hanya dalam ingatan yang mengabut. 
 
Aku butuh menjamah. Tak hanya bertanya di bibir pusara. Mengucap penyesalan dan doa di seonggok tanah. Mengelus dan mengusap kelembutan rumput. Menetesi air di hitam granit berpayung terik. Yang cuma bisa menggores nama, tanpa cerita panjang di baliknya. Menabur kelopak bunga beraroma kasih, tanpa sungkem sembah memohon maaf. Atas kedatangan yang terlambat.  
 
Flower place (as Damian names it), Jakarta, January 2008. To all friends and people who had lost their loved ones.

Thursday, April 12, 2007

Suatu Hari di Awal Januari

Pandanganku mencoba memeta lobby kedatangan Incheon Airport. Yup, itu dia information, tempat aku bisa minta dipanggilkan shuttle dari hotel. Mendadak ransel di punggung dan stroller yang kudorong menjadi terasa ringan. Irit pembicaraan, pemudi di balik counter memintaku menunggu, dan tak sampai 10 menit kemudian ia sudah memanggilku lagi. Jemputannya sudah datang. Fiuh,nggak sabar rasanya meluruskan badan setelah 14 jam duduk di perjalanan. 
 
Aku mencoba ramah pada pengendara, memancing info dan bertanya-tanya. Tapi, hey, dia tak lancar berbahasa inggris. Maka 5 menit perjalanan diisi dengan bungkam, kecuali celoteh Damian yang hampir selalu bicara kalau tidak sedang tidur. Saat itu sekitar pukul enam sore di Airport New Town, lokasi hotel kami menginap semalam. Satu hal yang kuingat dari hotel ini adalah perlengkapan rambut. Tampaknya orang Korea terobsesi dengan rambutnya, karena di kamar mandi hotel aku menemukan perlengkapan selain shampoo, conditioner dan hair dryer: tonic, gel rambut, sisir (ihhh, siapa juga yang mau pake?!), dan hairspray.... Setelah mandi Damian bersikeras nonton Sinchan di kamar hotel, padahal aku ingin segera makan malam dan beristirahat kemudian. 
 
Cuaca dingin menusuk, neon bertulisan kanji menerpa saat kami menyusuri jalan. Banyak hotel dan restoran di sekitar jalan itu. Makan di mana ya? Aku nggak ngerti bahasanya.... Tapi aku sengaja menghindari tempat makan berbahasa Inggris, supaya bisa mencoba makanan tradisional sini. Jadilah kumasuki satu restoran di belokan jalan yang terlihat menarik dengan furniture serba kayu natural, dan gambar-gambar makanan terpajang sepanjang bagian atas dinding. Paling tidak, aku bisa menunjuk gambar kalau pramusajinya tidak berbahasa Inggris. Benar saja. Kutunjuk gambar seafood soup,"Spicy?" "Yes, yes, spicy." "OK, one for me. And shrimp noodle soup for my son, not spicy." "Yes, yes, shrimp, not spicy." Ia kembali dengan side dishes yang beraneka, tapi nggak ada yang disentuh Damian; dari kimchi, nori, sampai bakso ikan dan sejenis kacang. Lalu datanglah pesanan kami. Punyaku tepat seperti di gambar: panas, spicy, yummy. Punya Damian noodle soup, tapi mana udang-nya...? Hehehe.... kendala bahasa, tapi untunglah tidak spicy jadi Damian masih bisa menikmati. Harga makanannya sekitar 5000-7000 won per porsi, sekitar $5-$7, yang menurutku tidak mahal melihat tempat dan jenis makanan yang disajikan. 
 
Malam itu tidur jam sebelas malam, setelah menelepon my hubby di belahan dunia sana. Dan Damian sudah bangun lagi jam empat pagi minta jatah serealnya. Aku menggerutu, oh please.... aku masih pengen tidur niiii. Apa boleh buat, setelah tidak ada tanda-tanda bakal bisa tidur lagi, kami check out jam tujuh pagi dan minta diantar ke airport. 
 
Tujuan berikut: Seoul City, menghabiskan waktu sampai waktu berangkat jam lima nanti sore. Perjalanan 50 menit dari Yeongjong Island mulai terasa menarik di duapuluh menit terakhir, saat kami memasuki pusat kota Seoul. Macet, ruas jalan lebar, bangunan tinggi, tapi masih terselip ciri khas Asia. Menyeberangi Han river, yang pinggirnya masih membeku es, menuju downtown Seoul, melewati City Hall, lalu turun di Namdaemun Gate. Berfoto di depan Namdaemun, National Treasure #1 yang berdiri tahun 1398. Kulihat seperti gerbang kuno yang membingkai peradaban modern di sekitarnya. 
 
Menahan dingin dengan salju yang menjadi es, jalan jadi licin dan kami lanjutkan perjalanan menuju Namdaemun Market di seberang jalan, pasar terbuka-tradisional Korea yang luasnya melebihi 10 acres (40000m2) dan berisi lebih dari 1000 penjual. Serius, aku hampir nyasar di sini. Ramainya dan kaki limanya menyerupai pasar Tanah Abang -yang entah seperti apa sekarang- tapi luasnya jauh melebihi. Yang dijual segala rupa dari jajanan dan bahan makanan dan suvenir sampai tas bermerek tiruan, campur-aduk. 
 
Sebelum tambah jauh menyelusup dan akibat Damian yang protes minta makan, kami menyusuri pinggir jalan mencari tempat makan. Restoran ini letaknya tak jauh dari pasar, kecil, bangkunya berdempet, isinya ibu-ibu yang sibuk memotong-motong dan menyiapkan makanan. Selain harum makanan yang menggoda, tentu saja ada gambar yang jadi andalan buat memilih makanan. Ternyata menunya lebih baik daripada semalam, ada keterangannya dalam bahasa Inggris. Untungnya perutku tidak berontak dimasuki makanan pedas, sedikit asam dan segar sejak semalam. Mungkin karena ada penetralnya di salah satu side dish itu. 
 
Anyway, setelah sarapan yang cukup memuaskan, kami menyusuri lagi jalan menuju City Hall. Mampir ke toko suvenir yang terlewat, mengambil gambar City Hall, lalu menyeberang ke Deoksu Palace. Di depan Taehanmun Gate kami melihat-lihat, tapi aku memutuskan untuk tidak masuk karena harus kembali ke airport. Kebetulan, kami sempat melihat upacara pergantian penjaga istana sebelum naik bus menuju airport. Tiba-tiba tiga jam berlalu sangat cepat. Setelah mengambil ransel yang kutitipkan, kami melalui imigrasi dan menunggu penerbangan berikut. Tujuh jam lagi perjalanan menuju tanah air.