Tuesday, November 11, 2008

Sang Kursi

Dua hari lalu baru selesai baca bukunya Gunawan Moehamad: Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (Cyn, ingetin gue untuk balikin ya :)). Ada satu bagian yang masih mengiang di kepala saya sampai sekarang. Soal munculnya peradaban moderen yang dimulai dengan konsep individu di Eropa. Salah satunya ditandai dengan kursi. Termangulah saya.  
 
Kursi yang sebelum abad pertengahan hanya jadi singgasana raja kemudian bisa dimiliki rakyat jelata. Rakyat yang sebelumnya terbiasa duduk berdampingan di bangku (bench) ingin merasakan duduk tanpa beradu pundak dengan orang lain. Ingin duduk sendiri. Lalu kursi menjadi komoditi pasar. Bukan lagi privilese kaum borjuis. Keindividuan sudah tak lagi jadi barang mewah. 
 
Kalau kursi yang jadi singgasana raja dan bangsawan memang hasil karya seni yang rumit pada masanya, sekarang jadi terbalik. Kursi didesain menjadi barang seni supaya si empunya merasa elite, tak pasaran. Individualitasnya dimanjakan supaya berbeda dengan rakyat kebanyakan. Segelintir orang mencoba mengidentikkan diri dengan kursi bermerek desainer, berbahan tertentu, bergaya tertentu. Bukan sekedar kursi Ikea, tapi kursi Le corbusier, bahkan kursi Blobby yang milyaran dolar. Beberapa minggu lalu saat saya bersama beberapa rekan sekerja mengunjungi NeoconEast (semacam pameran produk interior & furniture), beberapa kali terdengar ungkapan bahkan jeritan kecil,” Ohhh... that chair is sooo me!” Dan mendekatlah si empunya stand,” Hey, isn’t he cute? He’s name is Billy.” Kursi pink itu adalah individu pria bernama Billy. Tentu saja pasarnya wanita. “Do you want to sit on Billy?”  
 
Mentranslasikan individu, atau jati diri dalam bentuk barang. Suatu hal yang terasa sekali di Amerika, negara yang individu penduduknya -buat saya- sangat dimanjakan.  
 
Kembali ke soal kursi. Tak banyak orang di Baltimore ini yang berpikir untuk komut berkendaraan umum, karena enggan berbagi kursi dalam bus dengan orang lain. Orang yang notabene dianggap ‘tidak mampu’ bermobil (yang mungkin jadi kondisi umum di belahan dunia manapun). Orang di sini malas berdampingan menunggu di bench halte bus, untuk kemudian bersebelahan dengan orang tak dikenal dalam sesaknya bus. Belakangan malah semakin sedikit halte bus dengan bench. Karena bench di halte identik dengan homeless. Tempat selonjornya tunawisma itu maka dihilangkan. Orang dibiarkan menunggu bus sambil berdiri . Memang berbeda dengan kota besar seperti Manhattan yang mayoritas penduduknya menggunakan subway atau bus. Tapi itu bukan mayoritas Amerika, yang lebih memilih membangun jalan layang dan tol karena individu bermobil yang semakin membludak. Mobil yang didesain dengan 5 kursi pun hanya dikendarai satu orang. Karena individu ingin dimanjakan dalam berkomut, pasar mobil nyaris nggak pernah surut. Hingga sekarang. Saat ekonomi Amerika mengalami keruntuhan.  
 
Saya jadi berandai-andai, mengajak satu orang Amerika ke Bandung. Naik angkot Caheum-Ledeng yang tujuh-lima. Makan di warung tegal berbangku panjang. Tempat yang masih berbangku panjang di sini, selain taman (inipun seringkali orang menempati satu bangku panjang tanpa mau berbagi), gereja, kafetaria sekolah. Tempat umum, tempat ibadah, sekolah. Ketiga institusi ini seperti tempat orang melebur, menjadi less individual. Begitu keluar dari pintu kebersamaan, orang asik mejadi ‘aku’, 'me', instead of ‘we’. Barang (termasuk mobil dan kursi) yang menjadi pengejawantahan individu Amerika tidak dibeli dengan uang, melainkan dengan kredit. Artinya, prediksi kemampuan konsumsi diatur dengan sistem kredit yang batasnya melebihi kemampuan sang individu untuk melunasinya. Individualitas bukan lagi realita, melainkan mimpi. Bukan esensi, tapi keinginan ‘menjadi’. Memanjakan individu berarti memanjakan mimpi. Dan mimpi Amerika (American dream) itu tidak gratis. Melainkan didalangi kapitalisme.  
 
Sekedar informasi, hutang kartu kredit rata-rata penduduk Amerika adalah $10, 000. Tidak termasuk mortgage (KPR kalau di Indonesia). Living not within, but beyond their means. Individu yang terlalu dimanjakan, mimpi yang kebablasan  
 
"Hidup mewah, hidup mewah....," begitu kata Sponge Bob. Sambil berjualan coklat, bermimpi keuntungan berlipat dalam sekejap.  
 
Kembali ke kursi. Kenalkan, office chair termahal di dunia bernama Aresline Xten. Harganya 1,5 milyar dolar saja. Desainernya? Pininfarina, kantor desain Italia yang terkenal mendesain mobil mewah seperti Ferrari dan Cadillac. Kebetulan, ya? Dan ini baru kursi....

Thursday, October 23, 2008

Fall

Hey, it's the time of year again...
Musim yang menghembus angin inspirasi. Berwarna gradasi khayalan. Bergemerisik daun ditapaki lambat. Musim yang menggoda pikiran untuk rehat sejenak. Dari kegrusuan rutin, dari langkah setengah berlari, dari waktu yang mendului raga.
 
Hey, it's the time of year again...
Musim yang membawaku ke pojokan teras. Menatap pohon yang setahun lebih tua dan tetap indah seperti biasa. Menghirup dingin yang mengombang-ambing burung. Menari berpanggung tumpukan daun.
 
Damian? Iya, sudah besar.
Tapi masi kolokan. Terkadang mencuri pegang hidungku yang mengembang. Sudah enggan dipeluk cium di depan teman sekolahnya ("I'm a big boy, Ma"). Sudah menggambar buku cerita sendiri. Masih main bola dan mulai sok pakai gaya. Damian... mengingatnya menghangatkan hati. Sehangat susu coklat yang dimintanya tiap hari.
 
Hey, it's the time of year again...
Tidakkah kau ingin menatapnya lama-lama, seperti kekasih yang lama tak sua. Menutup mata tuk rasakan sentuhan dinginnya di pipi, seperti belaian jari-jari pujaan hati. Bercakap dengannya ditimpali hirupan kopi panas yang uapnya menggayut di udara, seperti berbagi curahan pada sahabat lama. Berlari tak puas di bentang lapangan rumput yang sebentar lagi akan menyerah hijaunya pada musim dingin....

Wednesday, July 30, 2008

Salad Days

Nulis ini sambil makan siang, di meja, di kantor. Abis makan jadi pengen nulis. Gara-garanya kecewa. Kecewanya sama makanan yang dipilih sendiri. Pernah nggak bayangin makanan sebelum makan siang, lagi laper berencana nanti makan apa. Rencana sih pengen makan salad. Beli di grocery store deket kantor yang bisa milih sendiri isi saladnya. Biasanya dulu-dulu juga doyan salad. Abis beli, balik, duduk, makan. Tiba-tiba setelah lima sendok jadi nggak selera, enek. Terus jadi ngebayangin gado-gado. Lho??! Iya, jadi sebel sama salad dan pengen gado-gado. Yang kalo beli di warung betawi cuma tujuh ribu perak (salad kelas kambing gini aja lima dolar!). Yang isinya lengkap pake ketupat. Yang ada tahu tempe kangkungnya. Yang kadang2 malah diseliweri lalat, hahaha bagian lalat nggak usahlah, geuleuh. Tapi... ngerti kan maksudnya. Mungkin sebenernya di bawah sadar pengen gado-gado, tapi ternyata otak udah menyesuaikan sama kondisi lokal yang cuma menghasilkan salad. Ya sudahlah... nanti di rumah bikin sendiri....

Tuesday, June 24, 2008

Fortune Cookie

I've been eating fortune cookies many many many times. Sometimes without fortune in it. Yang ada seringnya bikin ketawa. Habis kalau nggak isinya terlalu umum ("Financial prosperity is coming your way!"), spesifik tapi samar ("An important person will offer you support"), bahkan menyesatkan ("Your fortune is as sweet as you") Hahh, what's up with that! Isinya lebih banyak petuah ketimbang ramalan. Hey, it's for fun anyway. Asal muasalnya bisa dibaca di Wikipedia, tapi bukan itu yang jadi soal di sini. Buatku isi fortune cookie selalu ditertawakan dan dianggap remeh, tetapi selalu tetap dibaca.  
 
Sampe malam ini ketemu fortune yang satu ini "Pray for what you want, but work for the things you need." I get it. I just stick to this one and never worry about any fortune anymore.

Thursday, May 22, 2008

Dua, dan Lima Tahun

Bapak, Sejak semalam hatiku sedih. Mengingatmu. Mencoba memeta wajahmu. Di dinding, di layar monitor, di gelas tivi. Yang lebih menyakitkan, aku hampir kehilangan rupamu. Hanya bayang. Raut, dan sebentuk ingatan. Seulas senyum yang selalu ada. Walau segumpal lara menggayut di dada. Selirik ucap bijaksana di sela gundah. Sebaris optimis di tengah gulana. Selalu menenangkan dengan ucap,” …nggak apa-apa….” 
 
Saya masih marah sama waktu, Bapak. Waktu yang tak bersahabat. Waktu yang menunda pertemuan, waktu yang merampas kesempatan pulang. Waktu yang selalu datang terlambat. Dan selalu tertambat pertanyaan,” …mengapa tak menunggu, Bapak?” 
 
Tapi kemarin saya dengar sebait lagu,”…we should be all praying for time….” 
 
Mungkin, untuk waktu yang sudah penuh terisi dengan kehidupanku bersamamu. Waktu yang penuh tawa canda, waktu yang terisi cerita kancil, waktu berlibur ke desa, waktu terbaring di rumah sakit dan mendengar kisah masa kecil, waktu nonton bola sampai pagi, waktu Bapak bermain sama Damian, waktu Bapak mampir minum kopi dan bercakap, waktu kita bertengkar…. Waktu yang terisi kehidupan. Waktu yang diselipi ayat bijak, saat saya tak peduli. Waktu yang terisi air setengah penuh seperti ucapmu. Bukan waktu yang kosong, hilang…. Tapi setelah dua tahun, mengapa dadaku masih sesak, Bapak? 
 
Karena waktu hanyalah pelampiasan sesal. Akan sepatah maaf yang tak tersampaikan. Akan ucap sayang yang menggantung di tenggorokan. Have I told you “I love you” the last time we talk on the phone, or was it just an instant message? Have I told you “I’m sorry” the last time I saw you at the airport? 
 
Bapak tahu, kata banyak orang. Tapi aku nggak tahu kalau Bapak tahu. Dan itu yang membuat sesak. Hingga sekarang, setelah lima tahun tak sua, dan setelah dua tahun Bapak tak ada. 
 
I know you’ve seen us from afar, and right now it feels sucks to write these senses in the office while I feel like going out there to cry out loud. But I want to write this for you, Bapak. So you know. At least I think you will read this. Somewhere, from a better place.

Thursday, January 03, 2008

Approval

Belakangan ini aku merasa bimbang. Tiba-tiba jadi tidak percaya diri dengan keputusan yang akan diambil. Tanya sini. Tanya situ. Timbang sana. Timbang situ. Intinya butuh konfirmasi akan pemikiran sendiri. Aneh, padahal harusnya sudah cukup dewasa (tua?) untuk mikir sendiri. Ternyata masih butuh orang lain dalam konsep pemikiran. Butuh approval.

Seringnya minta pendapat suami, lain kali minta pendapat orang lain yang memang lebih pengalaman/ahli dalam keputusan yang dihadapi. Tapi tetap saja walau sudah punya keputusan sendiri kadang masih butuh mendengar ‘iya’ dari orang lain, atau sekedar panggutan kepala pertanda sependapat, nggak harus literal atau diskusi panjang lebar. Pikir-pikir, harusnya nggak begitu. Apalagi kalo keputusannya cuma menyangkut diri sendiri.

Apa setelah ada pendamping aku jadi keenakan dengan dua otak? Merasa lebih baik kalau disetujui dan jadi berpikir dua kali kalau tidak disetujui? Atau terbiasa diarahkan jalan sejak kecil dan minta persetujuan orang tua? (Mengingatkanku akan Damian yang masih sering minta approval). Atau bahkan hidup dalam lingkungan yang judgmental? (Merasa aman kalau searus atau dimusuhi kalau berbeda pendapat). Bukan menyangkut intelektual atau angka rapor, bukan juga soal rasional atau emosional. Jadinya dari skala kecil sampai skala besar masih butuh approval tanpa sadar. Atau mungkin juga kurang faithful sama diri sendiri. Mungkin itu.

Let others be my resource and not my guidance. Trust my judgment on things I needed to decide.