Tubuh ringkih ibu terbaring di tempat tidur. Nafasnya berbunyi mengorok halus melalui mulutnya yang terbuka, membuat cekung pipinya terlihat lebih nyata. Ibu masih mengenakan kain jarik dan atasan kebaya, namun sekarang terlihat longgar dan membuatnya seperti tenggelam di kasur. Umurnya sudah 76, 80 mungkin, siapa yang tahu? Entah di mana akte lahirnya, dan kalaupun ada, entah datanya benar atau tidak. Karena Ibu selalu bilang kalau tanggal lahirnya di akte salah. Kalau ditanya kapan ulang tahunnya, Ibu selalu menjawab, 1 Januari, tepat tahun baru.
Aku masih memandanginya lama-lama, dia baru tertidur lima menit lalu dan biasanya dalam setengah jama akan terbangun lagi. Dengan kesakitan. Jari-jarinya yang kurus panjang menyembulkan pembuluh dan urat pekerja keras. Orang jaman dulu, mana punya pembantu? Kecuali keluarga priyayi tentu saja, dan Ibu bukan priyayi. Berapa banyak baju yang sudah dijahitnya? Berapa ember air sudah ditimbanya? Berapa kali ia memasak selama hidupnya. Hitunglah sederhana saja: 50 tahun x 360 hari x 2 = 36000 kali ibu memasak sarapan dan makan siang/malam selama hidupnya sejak menikah. Setahuku Ibu selalu hidup sendiri, mandiri. Karena Bapak sudah meninggal sewaktu aku berumur setahun. Tahun 1949, saat harusnya Indonesia merdeka, Bapak malah ditembak Belanda.
Yang menyedihkan, aku tidak ingat berapa kali tangan kurus itu sudah membelai aku. Atau menyuapiku, atau menggendongku di tengah malam. Mengapa kita tak pernah ingat saat-saat terpenting dalam hidup kita, saat kita berumur di bawah 3 tahun? Itulah saatnya kasih orang tua paling melimpah, dengan jumlah gendongan terbanyak, jutaan belaian, peluk tak berkesudahan dan kecupan yang tak terhitung. Karena sungguh mati aku ingin mengingat saat-saat itu, saat yang pastinya paling manis dalam hidupku. Karena setelah umur 3 tahun aku dititipkan di rumah Bude dan ingatan masa kecilku bersama ibu seperti tulisan di papan tulis yang terhapus. Tak ada kenangan tersisa, padahal aku sangat butuh ingatan itu. Karena setelah tiga tahun, aku terus bertanya-tanya, mengapa aku ditinggalkan Ibu merantau ke Jakarta. Rasa sayang itu berangsur lenyap, karena setelah usia tiga aku tak mengenalnya.
Tubuh Ibu bergerak, tampak seperti ingin menghadap sisi kanan, tapi tubuhnya tak mampu membawa bebannya sendiri. Aku tak kuasa membantunya, karena tulangnya tak mungkin kuat menahan tubuhnya kalau berbaring miring. Pasti punggungnya panas harus tidur terlentang terus-menerus. Wajahnya mengernyit kesakitan, tapi matanya tetap tertutup. Tiba-tiba ia meletakkan kedua tangannya di atas perut dan mengaitkan keduanya seperti berdoa. Mulutnya komat-kamit. Lalu ia tertidur kembali. Seperti meminta kekuatan dari sesuatu yang tak terlihat, mungkin dalam mimpinya ada malaikat.
Sudah setahun ini kondisi Ibu tidak membaik. Tidak juga memburuk. Walau sudah cukup buruk karena ia sudah tak mampu melakukan segalanya sendiri. Aku hanya berdua dengannya di rumah ini. Yang terasa semakin luas dan sepi tanpa percakapan. Hanya aku yang mengajaknya bercakap, dan ia hanya memandangku. Kadang dengan tatapan terimakasih, seringkali dengan tatapan kesakitan, mungkin saat aku dengan tak sabaran mengangkatnya ke kursi roda atau mengganti pembalut dewasanya yang penuh kotoran dengan gerakan kasar. Paling sering ia menatap dengan pandangan kosong, yang bisa kuartikan apa saja. Kapan sakitku sembuh? Kenapa aku masih di sini? Kenapa tak kautinggalkan aku sendiri?
Orang-orang yang kutemui selalu bilang aku butuh istirahat. Perlu berlibur sejenak, sewa suster saja. Punya kakak atau saudara? Kakakku sudah terlalu tua untuk mengurus orang tua. Saudara-saudaraku entah kemana saat aku perlukan. Anak-anakmu? Kedua anakku terlalu sibuk. Dan mereka juga sudah punya anak kecil-kecil. Salah satunya tinggal di luar kota. Aku bukan Ibu yang rajin mengurus cucu, jadi aku pun tak berharap mereka membantuku mengurus neneknya, ibuku. Tapi sesungguhnya, aku tidak perlu istirahat berlebih. Atau bahkan liburan. Aku hanya butuh ingatan. Akan masa-masa kecil saat aku masih bermanja dalam gendongan. Masih dipeluk sambil berputar-putar. Saat Ibu mencintaiku penuh-penuh dan tanpa syarat. Supaya saat ini aku bisa membalasnya, penuh-penuh dan tanpa syarat pula.
Setelah selesai SMP baru aku menyusul Ibu ke Jakarta. Itupun setelah kupaksa-paksa karena aku sudah tidak betah tinggal bersama Bude. Aku bertumbuh cantik kata orang, tetapi kecantikan selalu membawa petaka. Sepupuku Bagas yang terkadang datang mengajakku bermain, semakin lama permainannya membuatku tak nyaman. Bahkan Paklik yang semula sering membawakan permen sekarang minta disuguhi kopi dan ditemani saat datang berkunjung ke rumah Bude. Mengapa aku? Lebih baik aku membantu di dapur saja daripada duduk di sebelahnya untuk dipandangi dan dielus-elus rambutku seperti waktu aku masih SD. Aku limbung, tanpa pelindung. Lagi-lagi aku menyalahkan Ibu. Mengapa sangat penting baginya untuk ke Jakarta dan mengapa aku sangat tidak penting baginya? Bude selalu bilang, ibu bekerja untukku dan kakakku, karena sudah tak ada bapak yang menafkahi. Saat itu aku cuma bilang, aku sudah tak punya bapak, tapi juga seperti tak punya ibu.
Aku bangkit dari dudukku di samping pembaringan ibu. Sendi lututku nyeri. Untuk usiaku yang lima puluh tujuh, sebenarnya kondisiku tidaklah buruk. Masih cukup sehat dan bisa hidup dari pensiun. Tadinya aku punya segudang rencana setelah pensiun. Berjalan-jalan, senam bersama ibu-ibu komplek, ke luar kota mengunjungi saudara. Ternyata sudah hampir dua tahun aku jarang keluar rumah, mengurus ibu. Rencana pensiunku berantakan. Ibu yang hanya kukunjungi sesekali karena kesibukanku dulu, sekarang harus kutunggui hampir 24 jam sehari. Dulu masih mending, Ibu bisa kuajak keliling komplek dengan kursi roda. Tetapi setahun belakangan ia sudah tak kuat lagi menahan guncangan dan perlakuanku yang makin tak sabaran.
Ruang tidur ini tiba-tiba terasa terlalu suram. Dan baunya, ya baunya. Bau orang tua. Bahkan aroma sabun sudah terkalahkan. Bau tanah kata orang. Tapi rasanya kurang tepat. Lebih mirip bau debu. Mendadak aku bergidik. Dari debu kembali menjadi debu kata Alkitab.
Kupandangi foto ibu sewaktu masih muda, saat aku SMEA di Jakarta. Ia masih berkebaya dengan sanggul Jawa. Di Jakarta pun kami tidak tinggal bersama. Karena aku tinggal bersama Mbak Titi yang sudah berkeluarga, dan lebih dekat ke sekolah. Sementara Ibu tinggal di kontrakan lain di tengah kota. Di daerah Menteng kata mbak Titi, tempat orang kaya tinggal dan memesan jahitan baju ke Ibu yang sudah terkenal handal. Aku hanya seminggu sekali mengunjunginya, atau ibu mengunjungi kami. Rumah kontrakannya kecil, terasa penuh dengan kasur dan mesin jahit. Tapi Ibu orang yang apik. Jahitannya bertumpuk tapi rumahnya tak terlihat berantakan. Saat yang kupikir kutunggu-tunggu karena akan lebih sering bertemu dengan ibu yang kurindukan ternyata berjalan datar. Ia tidak seramah bayanganku, pun tak sering memanjakanku. Saat itu aku sadar, aku merindukan yang tak ada. Ia hanya sosok di masa lalu, dan buat orang yang merindu sosok itu jadi seperti dongeng. Mimpi indah yang tak nyata.
Anak-anak adalah penilai orang tua yang paling kritis. Nilai dan moral kehidupan dianutnya dari orang tua. Orang tualah mercu suar anak dalam mengarungi laut dunia. Saat aku tersadar akan kenyataan, aku memberontak. Mengapa di semua cerita sosok ibu adalah yang paling menyayangi, memanjakan, mengasuh anaknya tanpa syarat? Siapakah ibu yang melahirkan aku ini? Hatinya keras dan sosoknya terlalu tangguh buatku. Kisah dan nilai yang tadinya kuanut tentang seorang ibu musnah. Ia bukan ibu buatku, ia hanya seorang perempuan lain yang mampir dalam hidupku. Lagi-lagi aku limbung. Pernah sekali kuajaknya berakhir pekan dengan berjalan-jalan, tapi Ibu menolak halus. Aku harus menemui orang yang memesan jahitan, Dwi. Sekarang Ibu terima pesanan di hari sabtu minggu, menambah tabungan untuk biaya nikahmu. Dalam hatiku menjawab, mungkin aku tak usah menikah saja Ibu, kalau itu membuatmu menolak anakmu yang sudah terlalu lama kautinggalkan ini. Rindu itu tiba-tiba hilang, dan aku merasa benci padanya.
Ternyata aku toh menikah. Tanpa mengerti bagaimana menjadi istri dan memperlakukan suami. Tanpa bayangan bagaimana suami memperlakukan istrinya. Aku hanya seperti air sungai yang mengalir. Terkadang airnya tenang, kadang berbelok, kadang menggerus batu, kadang terjun dari ketinggian. Dan saat aku punya anak, aku juga tak pandai bersikap menjadi seorang ibu. Dengan punya anak dan segala kerumitan yang dibawanya, aku lebih senang menghabisakn waktu bekerja. Enaknya saat aku punya anak, kami bisa punya pembantu. Jadilah kedua anakku diurus pembantu, dan ayahnya yang ternyata lebih telaten mengurus anak ketimbang diriku. Satu saat kusadari, aku makin menyerupai Ibu. Yang sosoknya pernah kubenci. Tapi sudah terlambat. Saat itu mungkin anak-anakku pun sudah membenci aku.
Aku menuju pembaringan di ujung kamar. Entah kapan aku dan ibu mulai tidur sekamar. Rasanya sudah lama sekali. Malam-malam yang sepi hanya ditemani suara cicak. Terbangun serentak mendengar suara rintihan. Mengambilkan minuman. Mengganti popok. Menggantikan baju yang basah. Mengelapkan keringat. Malam yang terasa lebih panjang daripada hari. Gelap yang terasa lebih lama daripada cahaya. Aku selalu kelelahan saat berbaring. Tetapi selalu siaga saat terbangun menjalani ritual yang sama. Dari mana energi itu berasal? Benar kata orang, semakin tua orang semakin seperti bayi. Mudah-mudahan kali ini aku lebih sabar kali ini. Karena dulupun aku tidak pandai mengurus bayi. Mulutku berkomat-kamit mendesah doa. Tuhan, belum cukupkah kami menebus dosa-dosa dunia, kapan kau sudahi penderitaan ibuku dan aku?
written a longtime ago, dedicated to Ibu dan alm. Mbah Putri