Showing posts with label sense. Show all posts
Showing posts with label sense. Show all posts

Monday, March 09, 2009

Serak

Sepertinya baru sebentar. Tapi serasa sudah lama. Terlalu lama. Seperti ada yang menggantung di dada. Sesak. Pertanda kejenuhankah. Atau keinginan tak terjamah. Ataukah hanya lelah.

Dimana kata hanya tergantung di lidah. Pikiran tertambat di pusar kepala. Hati terserak. Lalu kaki memimpin langkah. Karena cuma kaki yang tahu kemana pergi. Keharusan menuju. Menyelesaikan tugas, rutinitas.

Aku rindu hatiku. Yang hangat. Yang bersenandung kecil. Langkah ringan. Sapaan ramah. Kemana hatiku. Yang mampir menghirup angin. Tidak bergegas soal sepele dunia kecil. Serapah tak penting.

Mungkin ia terserak. Sepanjang perjalanan waktu. Yang sepertinya baru sebentar. Tapi terasa lama. Kalau kupunguti serakannya, mungkin masih bisa jadi satu. Pelan-pelan. Entah kapan.

Friday, October 19, 2007

Kosong

"Aku merasa kosong" ujarnya, lamat. Tanpa binar semangat, pun tanpa semburat sendu. 
 
"Kenapa?" tanyaku tanpa mengharap jawab. Aku tahu, kali ini bukan penjelasan yang penting. Hanya rasa. "Mungkin kamu sudah moksa," gurauku menyunting senyumnya. "Sudah di atas awan, nggak ingin apa-apa lagi, nggak merasa apa-apa lagi...." Pikirku, tiadakah lagi yang penting buatnya? Mungkin, harapku, hanya saat ini.  
 
Senyumnya pudar, pandangnya kembali mengawang," Nggak tahu, kosong aja...." dan berlalu dari hadapku. Seribu kenapa menghujam benak. Tapi aku tahu, bukan penjelasan yang penting. Hanya rasa.  
 
Saat harap terhempas dan melayang, mengundang harap lain yang tak lagi mampu menggayut senyum. Saat uang tak lagi mampu menyogok keinginan, teronggok di celengan berselaput debu. Saat langkah tergesa mengejar jabat menjadi lambat, tak lebih cepat dari merangkak. Kerja jadi biasa, prestasi jadi klise, ambisi jadi memuakkan. Ucap jadi basi, senyum jadi tawar, tawa jadi hampa. Tak ada lagi kecewa, tak juga sesal. Kosong. 
 
Itukah kosongnya? Seperti gelas yang airnya habis diminum? Atau gelap yang merayapi malam, atau desis statik setelah lagu usai? Kosong tanpa pretensi.... Seperti kertas yang penuh tulisan dan kemudian dihapus. Seperti menutup cerita di sebuah buku, atau menelepon kekasih yang jauh. Ada, namun tak terjamah. Memenuhi pikiran, sekaligus memeras otak hingga kering. Kosong, tak positif, tak pula negatif. Titik nol.  
 
Hari ini ia tersenyum. Saat tulisanku belum usai, kosongnya sudah lalu. Sudah kuduga, kosong itu ada buat dia. Kosongnya adalah putihku. Saat rasaku tak berwarna, di satu masa.

Monday, August 06, 2007

Why?

Entah sejak kapan Damian mulai menyebutkan satu kata itu. Why? Mungkin awalnya tidak kusadari, karena awalnya hanya menanyakan masalah 'sepele'. "Why do people eat, Ma?" "Biar tambah besar dan kuat," jawabku singkat. Dan ia manggut-manggut. Lalu,"Why do we pray, Ma?" "We should be thankful and ask for blessings." Habis ini ia akan menanyakan "What is blessings, Ma?" Kali ini aku mesti berpikir dulu sebelum menjawab. Itu masih biasa.

Kemudian setiap kali aku minta dia melakukan atau tidak melakukan sesuatu langsung disambarnya,"Why, Ma?" Ohhh, rasanya tidak habis-habisnya aku berucap menjelaskan panjang lebar hanya untuk menjawab satu kata itu. Setiap kali ia bertanya sebelum melakukan apa yang kuminta. Itu masih kuanggap biasa. Dan selalu bisa dijelaskan alasannya.

Film pertama Damian di bioskop, Spiderman 3. Seru, banyak action, dan Damian antusias menyaksikannya. Yang lebih seru lagi,setiap ada adegan yang tidak dimengerti ia akan bertanya,"Why Spiderman turned black,Ma?" "Why the Sandman jadi bad guy,Ma?" "Why Harry jadi goodfriend lagi, Ma?" Dengan suaranya yang nyaring. Di dalam bioskop. Dan aku sibuk menjawab berbisik-bisik. Oh well, untunglah film anak-anak. Banyak anak-anak, dan nggak terlalu penting buatku mengikuti setiap adegan.

Belakangan, variasi dan bobotnya bertambah. Seringkali aku 'terjebak' menjawab panjang lebar. "What's inside this, Ma?" Telunjuknya menyentuh dahinya. "Brain." Kupikir sudah, titik. "Why do we have brain, Ma?" Dan kutatap dia dengan raut menyerah-malas-menjawab-tapi-selalu-nggak-tega, dan berkicaulah aku hingga wajahnya menunjukkan kepuasan disertai manggut-manggut. Entah mengerti atau tidak. Damian juga suka menceritakan mimpinya. Setiap pagi ia bercerita tentang mimpinya semalam. Kupikir mungkin sebagian benar, sebagian khayalan. Lalu,"Why do we have dreams, Ma?" Kali ini jawabku,"I'm not sure, Damian. Let me find out about that, OK?" Untunglah kali ini ia cukup puas, aku hanya berharap ia lupa. Ternyata tidak.

Cogito ergo sum, I think therefore I am. Ia bukan cuma seorang anak, tapi manusia yang utuh, berpikir. Aku jadi terpekur, sudah lama sekali aku tak bertanya 'mengapa'. Tidak banyak lagi yang jadi kejutan rasanya. Berita, cerita, bahagia, derita, hidup. Tidak lagi menimbulkan pertanyaan 'kenapa'. Sudah kurang rasa ingin tahu, antusiasme melihat hal baru. Menerima dan menyerap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dirasakan. Seringkali tanpa pertanyaan. Would that make me less of a human?

Monday, June 11, 2007

Commitment

I feel like I’ve been having problems with commitment lately. As it means a pledge to something or someone, I definitely far from committed. I didn’t mean commitment to my immediate family since I put them on top of my list, as best as I can (not perfect, I admit). But even with my family in Indonesia; I don’t call them as much as I want. I don’t reply their sms or emails right away. I don’t send them Damian’s picture as often as I-don’t-know-how-long-ago. That’s embarrassing. 
 
I’m not committed to my religion since I’ve missed my duties and ceremonies. But if only He knows, I’m committed to pray to Him and whisper His name every time I start the day. And still trying. 
 
As commitment to work, which started as a-spare-part-time-work turned to full time, I just realized I don’t have that kind of commitment. At least not now. Some would say I’m being ungrateful, but really, it’s easy to juggle only if you have 36 hours a day (and don't blame me if still don't want to miss out Law&Order SVU). Even that might still leave me fallen asleep in Damian’s bed, forgotten to run the dishwasher. That’s my choice after all, and still I wouldn’t choose to have longer days because I won’t be perfect anyway. 
 
I have friends and I don’t, as they come and go as well as my commitments to them. I always love talking to them on the phone or spending time with them. But sometimes my mind is wondering about my other commitments, which actually I’m not committed to. That’s confusing, and I left out with little quality time and some might feel under-appreciated. As a friend. 
 
Nevertheless, I slip in some quiet time to commit, again, to my blog. This has the least retort to my imperfection and undisciplined commitment.

Wednesday, April 18, 2007

Pusara

Pernahkah kamu bayangkan, perjalanan ke kampung halaman, bukan lagi menjadi liburan? Melainkan ziarah. 
 
Bukan lonjakan peluk penuh tawa riang, tapi tenggelam dalam sedan. Memeta sosok yang utuh dalam kenangan. Hanya bertatapan dengan foto rautnya di dinding, tanpa dekapan. Kesunyian di hati, dan jelalatan mencari-cari. 
 
Aku kehilangan masa, waktuku dicuri. Akukah yang terlambat, ataukah waktu yang merampasku terlalu cepat? Memohon masa lalu kembali sejenak, memberi kesempatan bercakap. Entah dengan sesosok bayang, ilusi, atau mimpi. Tak hanya dalam ingatan yang mengabut. 
 
Aku butuh menjamah. Tak hanya bertanya di bibir pusara. Mengucap penyesalan dan doa di seonggok tanah. Mengelus dan mengusap kelembutan rumput. Menetesi air di hitam granit berpayung terik. Yang cuma bisa menggores nama, tanpa cerita panjang di baliknya. Menabur kelopak bunga beraroma kasih, tanpa sungkem sembah memohon maaf. Atas kedatangan yang terlambat.  
 
Flower place (as Damian names it), Jakarta, January 2008. To all friends and people who had lost their loved ones.

Thursday, November 16, 2006

Aksara

Gadis kecil itu tak mampu bicara banyak. Entah pemalu, mungkin memang pendiam. Tapi tatapannya memancarkan pikiran dan hatinya. Hingga suatu hari.
 
Ia berjalan diantara pepohonan taman. Dipetiknya konsonan u dari daun yang melayang jatuh. Dijejaknya huruf k dari gemerisik tumpukan daun. Dilompatinya huruf c dari genangan becek air. Dititinya huruf t di jembatan kayu. Ditangkapnya aksara s dari percikan air sungai, digoresnya huruf p dengan batu di atas tanah. Ia tersenyum nyaris tertawa. Aku mengumpulkan aksara, pikirnya. Ia teruskan memetik huruf dari udara, awan, burung.... 
 
Dibawanya huruf-huruf itu pulang. Disusun rapi-rapi di atas meja. Dibuatnya beragam kata dan gubahannya. Lalu ia rekam kata-kata itu dengan digital kamera. Kata-katanya indah, karena ada daun melayang, bunyi gemerisik, titian kayu, percikan air, goresan batu di dalamnya. 
 
Lalu ia merasa masih banyak huruf yang kurang. 
 
Esoknya ia menuju tengah kota. Banyak dilihatnya kawan-kawannya bercakap sambil melangkah. Ia menarik napas dan mulai mengumpulkan aksara. Kali ini huruf-huruf berkelebatan amat cepat. Gadis kecil mampu menangkap huruf q, v, dan konsonan i dari orang yang berjalan terburu. Lalu huruf g dari gedung tinggi, r dari lampu lalu lintas, l dari penjual kakilima, dan seterusnya. Hingga ia kelelahan dan memutuskan untuk pulang. 
 
Disusunnya aksara hari itu di atas meja. Berulangkali ia gubah huruf-huruf menjadi kata-kata yang ia harapkan bisa membuatnya gembira. Tapi ia hanya bisa menyusun kata-kata seperti iri, persaingan, serakah, patah hati. Dilatari gedung tinggi, bunyi lintasan mobil, gemerlap etalase toko, gesa orang di jalan. Ia bingung, dan kecewa. BUkankah karya manusia harusnya membuat mereka lebih 'kaya'? Mungkin secara materi, pikirnya, tapi belum tentu di jiwa. 
 
Lalu ia menjadi takut. Ia enggan mengumpulkan aksara lagi. Gadis kecil itu tetap tak mampu bicara banyak.

Thursday, August 17, 2006

Sisifus

Saat ini saya pikir, orang -termasuk saya- kadang terjebak dalam satu hal yang berulang. Seperti Sisifus. Mendorong batu ke puncak bukit tapi kemudian batunya menggelinding lagi ke bawah. Lalu diulang lagi. Susah payah didorong ke atas. Walau mungkin ada kesadaran, you have to do it again once you're on top. Makanya tumbuh kontradiksi, antara orang yang percaya akan proses (yang penting usaha, dan menarik pengalaman selama mendorong batu), Lalu ada yang beranggapan yang penting hasil akhir (kalau batunya bakal jatuh ke bawah, ngapain didorong ke atas?). Kalau yang cari aman ya mau dua-duanya, atau menghindar. 
 
Yang mengerikan, Sisifus mendorong batunya dengan kutukan mata buta. Seperti menutup mata hati, nggak sadar menjalankan apa yang diulang-ulang. Rutinitas. Walau kata Camus yang paling cocok dianalogikan dengan tokoh ini adalah pekerja kantor dan pabrik, ternyata saya sendiri seringkali melakukan hal kecil pun tanpa kesadaran. Rutin, otomatis. Naik, turun. Tiba-tiba jadi ngeri sendiri. Berarti mendorong batunya dengan mata buta. Paling tidak kalau melek, mungkin saya bisa putuskan untuk berhenti di tengah jalan, ambil jalan lain, mencari batu yang lebih kecil, atau apapunlah. Lebih bagus lagi kalo bisa memutuskan sebelumnya, sebenarnya perlu nggak batunya didorong ke atas....

Sunday, July 09, 2006

A Part of Me

Ia sudah jadi bagian diri Saat kuhirup kopi di pagi hari, minus versi tubruknya yang legit kental. Saat aku meraih bacaan dan membawanya ke kamar mandi. Lupa diri saat tenggelam dalam barisan abjad, menentengnya kemanapun hingga tamat. Saat kucuri rokoknya dan kuisap diam-diam, berlanjut dan kemudian terlupakan. Saat menemaninya menyatroni piala dunia melawan dini hari, dan hingga kini masih kunikmati. 
 
Harapannya jadi bagian harapanku Saat kuliah dua tempat, sekolah arsitekturnya tak tamat, aku yang meneruskan dan kami berbagi proyekan. Kala menjelajah tempat dan safari darat, mencoba melihat dunia tanpa tinggalkan akar. Melakukan dua hal sekaligus bersamaan, mencurahkan pekerjaan tangan hingga melupakan sekitar. Seringkali enggan mendengar hingga tersandung, belajar melalui jalan tersulit... 
 
Otaknya sudah jadi bagian alam pikirku Seperti kala sepucuk suratnya kuterima mengurai chaos dan kosmos, membahas maya di luar nyata yang menyelip di indra. Saat melihat orang baik adanya kadang tertipu Memandang gelas cenderung setengah penuh walau lebih separo kosong Kala mencoba mencerna alkitab sekaligus membaca sejarah Siddhartha Memeta inspirasi dalam perjalanan jauh, menyangkal lelah, membuang amarah dalam ayunan langkah.
 
Ia sudah jadi bagian diri, he never really left me....

Sunday, May 21, 2006

In-between people

Dari perbincangan dengan seorang kawan saat makan malam, ada frasa yang menarik buat saya. Ia jenis orang yang bisa menyimpulkan dengan tepat apa yang saya maksud dalam satu atau dua frasa saja. Mungkin nggak orisinil, tapi itu nggak penting. Salah satunya ini. In-between people. 
 
Diawali dengan perbincangan mengenai orang-orang yang dilihat setiap hari walau tak dikenal. Seperti kasir grocery. Atau tukang pos. Atau pelayan restoran. Atau orang yang tiap hari kita lihat di waktu yang sama (saat menunggu bis, misalnya). Walau tak dikenal, orang-orang ini termasuk membentuk keseharian dan rutinitas tanpa disadari. Pada saat harus pindah ke tempat lain, kita merasa kehilangan orang-orang seperti ini. Kehilangan memori. Rutinitas masa lalu. Wajah-wajah yang familiar. Tukang bubur ayam pagi. Wanita penunggu bis. Penjaga perpustakaan. Penjual koran. Bayang-bayang diri yang berkelebat di bawah matahari. 
 
Lalu kawan saya mengaitkan hal ini dengan buku yang ia baca, penulisnya imigran dari eropa timur yang tinggal di amerika. Salah satu kehilangan besar dalam hidup tokoh saat harus pindah adalah orang-orang ini. Sosok tak dikenal yang mengaitkan hidupnya dengan masa lalu. Dengan kenangan hidup di suatu belahan dunia di suatu waktu. Dengan suatu identitas yang mapan, dan rutinitas yang diharapkan. (Ia juga berucap belasungkawa atas kehilangan mbah saya, dan kehilangan akan sebagian diri saya di masa lalu). 
 
Saya menambahkan, ada kesamaan dari orang-orang yang ber-imigrasi ini. Alasan pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Kadang masa lalu yang sama (pengungsi perang atau revolusi, seperti dalam Kite Runner atau Minaret). Kadang ingin kehidupan yang lebih baik (Life of Pi, Namesake). Entah tokoh dalam buku atau pengalaman langsung penulisnya. Somehow, mereka punya karakter yang sama. Tapi yang pasti, walau mereka punya akar di negaranya, benih mereka jatuh di negara lain. Hati dan budaya mereka ada di tanah asal, tapi rutinitas dan hidup mereka ada di tanah baru. Terjepit. Atau terbelah. Atau terentang. In between. might be continued. might be not.

Monday, February 06, 2006

Cinta yang Tercecer

Lebih sepuluh tahun yang lalu, seorang mantan pacar menyatakan cintanya pada saya. Waktu itu bulan November, tanggal 14. Waktu saya tanya, kenapa tanggal itu yang dia pilih (selain karena malam minggu, tentunya), dia jawab begini. "Supaya tiga bulan lagi, bisa dirayakan pas Valentine." Huuuu.... romantis ya...?! Sempat terpikir juga, lho kalau ditolak gimana, nggak jadi dong 3 bulanan-nya. Tapi cintanya saya terima. Buat yang lagi jatuh cinta, valentine memang spesial. Hingga kemudian tidak lagi jadi tradisi, karena banyak hari-hari lain yang lebih spesial. Hingga lupa hari itu ada dan memandang aneh orang yang merayakannya. Hingga kemudian cinta tak lagi jatuh penuh emosi, tapi mengalir tenang dan pasti.

Sampai di bulan februari ini, saat tiba-tiba suasana penuh merah hati. Saya jadi ingat 'masa muda' dulu. Saat kuliah dan gaji pertamanya mengajar dibelikan coklat cadbury raksasa buat saya (padahal saya tahu pasti ia punya kebutuhan lain yang lebih penting). Saat dihabiskannya seminggu penuh di kamar kos dan keluar dengan gambar potret saya berukuran setengah jendela. Saat kuncup mawar jadi berbagai arti yang tak terungkap. Lalu, belum lama ini seorang kawan bertanya,"...masih kayak dulu, Dy?"

Tentu saja tidak. Seperti lagu lama, menikah kan memang beda dari pacaran. Dan setelah punya anak, cinta jadi lebih berwarna. Tapi tanpa embel-embel coklat dan bunga, saya menemukan banyak cinta di sekeliling saya. Remah-remah cinta yang tercecer. Ada di mana-mana, seringkali tak terlihat.

Paling tidak, saya bisa sebutkan selusin remah yang membuat saya tahu masih dicintai:
1. Saat bangun pagi dan kopi sudah menanti
2. Saat dibuatkan gambar spesial yang hanya-dia-yang-tahu-artinya
3. Saat ditatap mata mungil dengan ucapan," I love you, mama...."
4. Saat ditelepon dengan pertanyaan,"Lagi ngapain...?"
5. Saat dipeluk tiba-tiba tanpa alasan jelas
6. Saat diminta nyanyi bersama
7. Saat ditunggu-tunggu pulang ke rumah kalau pergi
8. Saat dibangunkan dengan ciuman di pagi hari
9. Saat tumpukan piring kotor sudah tercuci bersih
10. Saat lagu dan film yang diinginkan tiba-tiba tersedia di rumah
11. Saat tak perlu menurunkan belanjaan dari mobil
12. Saat menyediakan makanan di meja terdengar ucapan," Thank you, mama..."
Ah ya, dan ratusan remah lainnya....

Wednesday, December 28, 2005

To Do Or Not To Do

Tanggalan tahun ini sudah menipis, hampir habis. Tahun ini banyak sekali kejadian yang agak di luar normal, hampir luar biasa. Baik yang menyenangkan maupun yang menyebalkan. Yang pasti menambah pengalaman, dan (mudah-mudahan) mendewasakan.

Lalu memulai resolusi baru. Hmmph... memangnya pernah bikin resolusi? Nggak tuh. Terlalu teoritis menurut saya, agak abstrak. Seperti jadi orang yang lebih baik (standarnya kan macem-macem), atau pingin mulai olahraga (kalau ini sih udah tau bakal males mulainya, hehehe). Yang ada paling bikin rencana-rencana, mencoba menuangkan lebih detail apa yang ingin saya lakukan. Mudah-mudahan.

Terkadang saya agak sulit mengambil keputusan di saat-saat genting bahkan nggak penting. Dan muncul pertanyaan," Lakuin - nggak, bikin - nggak, iya - nggak...." Lalu memilih sesuatu yang ternyata nggak tepat, dan kemudian menyesal. Sampai kemudian saya menemukan solusinya. Kalau saya memilih untuk tidak melakukan sesuatu tetapi saya pikir bakal menyesal kemudian dan akhirnya kepikiran, maka sebaiknya sesuatu itu saya lakukan saja. Semacam memilih 'a piece of mind'. Walau tetap dilakukan sebaik yang saya bisa. Kalau saya pikir dengan memilih untuk tidak melakukan sesuatu saya nggak akan menyesal, maka saya boleh nggak melakukannya, atau bisa ditunda saja. Kurang lebih begitu.

Contohnya? Selain saya praktekkan buat hal-hal yang lebih penting, bisa juga untuk hal-hal kecil seperti sekarang. Mau ngeblog kayaknya banyak banget yang pingin ditulis, sampai bingung dan males mulainya. Jadi menumpuk dan terkadang menguap begitu saja. (Ini juga yang bikin saya jarang menulisi apa yang saya alami/kunjungi/lakukan sehari-hari). Tapi kalau saya nggak nulis juga, saya bakal kepikiran karena sebenarnya saya pingin nulis. Heheheh, maka menulislah saya, walau isinya terkadang melenceng dari rencana semula.

Anyway, Happy New Year everybody!

Thursday, December 08, 2005

Angin

Aku adalah sebulir angin. Melayang di udara bersama renda-renda mutiara. Hari ini aku melaju ke utara, menebas ranting yang payungi jalan raya. Lalu aku terhenti, menabrak kaca jendela. Di dalamnya kulihat ruang duduk suram dengan perapian. Dan seorang anak memeluk lutut di mukanya mencari kehangatan. Badannya terayun-ayun mengikuti dendang lirih dari radio tua. "You better watch out, you better not cry..." Oh please... masihkah ia percaya akan Santa?

Bulir angin di sebelahku berbisik," Aku ke sini tahun lalu. Saat itulah kudengar kisahnya. Orang tua anak itu sudah tiada, sekarang ia tinggal bersama neneknya. Satu-satunya yang masih membuatnya gembira adalah musim ini. Saat ia masih bisa berharap, Santa akan mempertemukannya dengan orang tuanya....". Aku terdiam. Saat seseorang kehilangan sesuatu yang luar biasa, sungguh wajar ia jadi percaya akan hal-hal yang luar biasa pula. Untuk meredam rasa kehilangannya....

Aku adalah sebulir angin. Melayang di udara bersama jarum-jarum air. Hari ini aku melaju arungi benua. Menghirup hangat di bibir samudera, menari-nari dengan butir pasir. Aku terhenti saat tertambat di rambut seorang perempuan muda. Di tangannya tergenggam ranting, menggores hamparan pasir. I love.... (sebuah nama). Ah, ia jatuh cinta. Lalu ia berdendang, akan cinta yang mengarung jarak, tak tembus mata. Hanya rasa yang melayang di udara, berharap angin menyampaikan pada yang terkasih di belahan dunia sana. Aku terpana. Masihkah ia percaya, akan cinta tanpa tatap mata?

Pasir yang memeta nama sang pria tersenyum mendengarku. "Hei, sudah dua tahun perempuan ini selalu ke pantai ini. Dan kami selalu menunggu goretannya yang tak pernah berubah. Bukankah itu pertanda indah, kesetiaan?" Aku tersenyum ragu. Sampai kapan ia akan bertahan menunggu?

Lalu pasir itu berlagu," Tolonglah angin, sampaikan pesan ini pada sang pria di belahan dunia sana...." Lalu aku berputar-putar di atas pasir yang memeta sebuah nama. Mengingatnya baik-baik sebelum membuatnya pudar dengan pasir yang berterbangan. Ah ya, daripada penuh sangsi dan banyak tanya, bukankah lebih baik membantu orang yang percaya?

Aku adalah sebulir angin. Terbang bersama burung. Menebar salju di udara dingin. Menari berputar bersama pasir. Berkejaran dengan jarum air. Meneruskan pesan, yang tak bisa disampaikan lewat kabel dan surat. Ke sudut hati.

Monday, November 28, 2005

Special

Waktu kecil, kita merasa spesial. Memiliki sesuatu yang nggak dimiliki orang lain. Mampu melakukan sesuatu yang nggak mampu dilakukan orang lain (dengan lebih baik, mungkin). Setelah punya anak sendiri, aku baru sadar, bahwa rasa 'spesial' itu datangnya dari orang tua. Mengalami sendiri ternyata anak sangat spesial buat kami berdua. Ia yang terbaik, paling luar biasa, setidaknya buat sang orang tua. Maka si kecil merasa dirinya paling spesial, seperti yang kita rasakan waktu masih kecil.

Lalu kita jadi besar. Ternyata rasa spesial itu masih ada. Walau banyak dikelilingi orang-orang berbakat ini-itu lainnya, kita yakin bahwa kita punya satu bakat spesial. Bakat spesial yang kemudian jadi cita-cita. Dan berlarilah kita mengejar sang cita-cita.

Kemudian kita sekolah, bekerja, masih dengan rasa spesial di dada. Mungkin kita mampu merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan apa yang kita punya. Walau secuil. Mungkin. Dan ternyata di dunia yang penuh dengan cita-cita sama, kita temukan juga orang-orang yang spesial. Orang-orang yang mungkin lebih spesial. Dalam kerja, dalam hidup, dalam hubungan. Dan kita jadi bertanya-tanya. Seberapa spesial kita sebenarnya? Di dunia yang dipenuhi orang spesial itu, bisakah kita mencungkil sejumput perbedaan?

Lalu kita berjalan statis. Mengikuti arus yang dipenuhi orang-orang spesial, yang tadinya kita kira paling tidak kita termasuk di dalamnya. Saat inilah, seringkali kita terombang-ambing. Kehilangan arah, mencari sesuatu di luar diri yang mungkin belum tertemukan. Barangkali kita menemukan sesuatu yang lebih spesial di ujung kelingking yang tersembunyi. Pencarian yang kadang bikin tersesat.

Kemudian di satu titik kita putus asa. Ternyata kita tidak spesial sama sekali. "When everybody is super, no one will be," kata Syndrome. Dan sesaat pula kita terdiam. Kita butuh waktu untuk terpekur. Membalik sebuah pertanyaan," Apa yang akan kulakukan dengan apa yang kupunya/kubisa?" dengan,"Apa yang sebenarnya kuinginkan?" Pertanyaan yang kadang butuh waktu sepanjang sisa hidup untuk mencari jawabnya. Sambil dilipur dendang Four Season,"...let's hang on to what we've got, don't let go cos we got alot..."
Unik menjadi kata yang absurd.

Lalu aku membaca sebuah buku yang secara angin-anginan kubaca. Bahwa kita ada dengan tugas yang spesial. Spesial sebagaimana kuumpamakan demikian: Bukan spesialnya sebuah mesin mobil, tetapi spesialnya satu sekrup di mesin mobil itu. Sekrup yang bisa diganti dengan mudah kalau rusak, tapi selama ia berfungsi si mesin tetap bergantung pada sekrup itu. Maka jadilah sekrup yang baik. Semampu yang kamu bisa. Karena sekrup itu spesial, seperti setetes oli, sepotong kabel, secuil metal. Supaya semesta mobil bisa terus bergulir.

Tapi kita seringkali terlupa betapa spesialnya kita, karena ternyata kita butuh pengakuan bahwa kita masih spesial dari orang lain. Terutama dari orang terdekat. Sama seperti waktu kecil. Dan memiliki anak kecil yang luar biasa spesial buat kita, ternyata membuat kita juga merasa spesial. Tetap merasa berbeda, dan karenanya bisa membuat perbedaan. Paling tidak buat orang-orang terdekat.

Buat orang terdekat menjelang hari jadinya: walau jarang kubilang, you're always be my special someone.

Friday, November 11, 2005

Catwalk

Berkejaran dengan waktu, rutinitas, kesibukan, kadang ada hal yang terlewat. Bukan kadang, banyak malah. Salah satunya menikmati pemandangan. Ya, sederhana.... Tapi buatku adalah luar biasa di musim sekarang. Karena aku enggan berselisipan dengan musim gugur (ya, selama di sini tentu saja). Aku ingin bertemu muka dengannya, mengalaminya.


Aku menemukan kiasan lagi buat musim ini. Gara-garanya juga sederhana, aku selalu tersenyum saat melihat pohon berwarna merah. Selalu. Walau sedang sebete apapun. Saat berjalan sepanjang trotoar dengan deretan pohon di sisinya, buatku pohon-pohon itu cantik sekali, seperti peragawati. Dan trotoar adalah catwalknya. Dan aku selalu kagum memandangi busana sang peragawati itu. Sempurna.

Lalu aku jadi memperhatikan. Bagaimana hijau bisa jadi coklat? Ternyata ada prosesnya, lengkap dengan gradasi sejuta warna. Hijau kelopak menjadi kuning (hijau tua, hijau muda, hijau kuning, kuning muda, kuning). Kuning menjadi oranye (kuning tua, oranye terang, oranye). Oranye menjadi merah (oranye, merah muda, merah tua). Dan merah menjadi coklat (merah tua, merah bata, coklat muda, coklat tua). Dan kemudian helai itu jatuh ke tanah. Bayangkan, dari sekian banyak pohon, sekian banyak itulah warna yang kulihat. Kadang dalam satu pohon ada beberapa proses perubahan warna, kadang dalam satu pohon hanya ada satu warna. Merah, misalnya. Warna pohon yang selalu bikin aku senyum, walau sedang sebete apapun. Bahkan kupikir cherry blossom jadi pucat dibanding musim ini....

Ah ya, bicara soal peragawati. Aku masih beruntung bisa memandanginya setiap pagi. Berjalan di catwalk dengan anggun, sebelum busananya dilucuti (hmmm....). Dan kemudian jutaan helai yang jatuh jadi tempatku dan Damian berjalan sambil mengangkatnya dengan ayunan kaki. Selalu mencari jalan di atas tumpukan daun, bercanda dengan gemerisiknya. Berlarian dengan layang helainya di udara. Pura-pura jatuh supaya bisa tergeletak di atasnya. Kemudian tertawa-tawa tanpa kata....

Wednesday, October 26, 2005

Dingin

"Do you like living here...?"
"Well... bla bla bla..." (nggak penting), dan kusambung,"What about you? You like it here?"
"Hmmm... it's just too cold..."
Ia gadis dari Beijing, belajar di Texas dan mulai bekerja di kota ini. (Aku nggak pernah sadar ternyata banyak cakap yang didapat dalam 15 menit perjalanan). Dingin, dua hari belakangan. Ditambah basah dan angin 20mil/jam. Tidak biasa sebenarnya, di musim gugur seperti sekarang.

Dingin, yang membuatmu bangun pagi dengan ujung jempol kesemutan. Yang membuat malas beranjak ke kamar mandi dan bersentuhan dengan dudukan toilet. Dingin yang membuat kopi dituang mengepul dan mendingin lima menit kemudian. Dingin yang membuat nafas mengepul di udara luar, ujung hidung dan cuping telinga beku walau mulut berciuman. Dingin jadi alasan untuk datang kerja terlambat dan pulang lebih cepat, membeli minuman hangat untuk memanaskan telapak.

Angin yang menusuk walau kamu memakai baju tiga lapis dan sepatu boot selutut. Dingin yang membuatmu lapar dan mengantuk bersamaan, di saat yang tidak tepat. Membuatmu misuh-misuh saat bus datang terlambat padahal ingin cepat pulang. Membuatmu lelap lebih cepat padahal malam belum beranjak. Dingin... yang membuatmu mengira salah alamat saat keluar rumah, memasuki kulkas raksasa dengan butir embunnya....

Tetapi, somehow... dingin itu indah....

Dan aku pernah berkomentar," Coba manusia bisa hibernasi ya... musim dingin tidur aja terus, nggak pake lapar.... bangun-bangun udah spring tapi nggak perlu jam tidur malam. Kayaknya asik ya...." Dan suamiku balas berkomentar,"Wahh... nanti bangun-bangun 'pupu'nya banyak dong...." Huahahaha....

Tuesday, October 18, 2005

Sisters


Aku punya dua orang kakak dan seorang adik tercinta. Semuanya perempuan. Tapi kali ini aku ingin menceritakan mbakyu-mbakyuku saja. Keduanya menjalani hidup yang sama sekali berbeda. Sampai aku berpikir, sebenarnya hidup itu apa ya....

Mbakyu-ku yang pertama punya otak cemerlang, ber-IQ tinggi, suka matematika. Maka ia memilih jalur akuntansi, di perguruan tinggi negeri paling top. Ia tahu apa yang diinginkannya, dan menginginkan segala sesuatu berjalan sesuai rencananya. Saat ini ia sudah bekerja di perusahaan asing dengan karir cemerlang di daerah pinggiran Jakarta, yang memakan waktu perjalanan satu jam lebih sekali perjalanan. Oh ya, ia sudah menikah, dan mencintai ibukota.

Mbakyu-ku yang kedua mencintai seni. Maka ia pilih jalur seni di perguruan tinggi negeri yang bukan nomor satu di Bali, tapi hidupnya hampir selalu dikelilingi seniman. Ia tahu apa yang diinginkannya, dan kesimpulannya ia lebih senang hidup tanpa diperintah atasan. Maka ia menjalani bisnis sendiri. Saat ini ia hidup bersama keluarganya di kaki gunung di daerah Yogyakarta, mencintai alam natural dengan tempo cenderung lambat.

Lalu aku jadi membandingkan dengan cerita orang kota yang melihat nelayan yang menurutnya hanya bermalas-malasan memancing ikan di pinggir laut. "Kenapa kamu hanya duduk-duduk memancing ikan? Bukankah masih banyak hal-hal lain yang perlu dikerjakan?" Lalu si nelayan menjawab,"Bapak sendiri, susah-susah bekerja sebenernya kalo pensiun juga ingin bermalas-malasan kan Pak? Itulah yang sedang saya lakukan sekarang...."

Memang sih, cerita tentang mbakyu-mbakyuku di atas lebih menampakkan permukaan saja, walaupun sebenarnya sangat menggambarkan beda kepribadian mereka. Tetapi aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya hidup mencari dan meraih ini-itu sebenarnya kan bertujuan sama: mencapai ketenangan hidup.... Ah, ternyata kadang-kadang aku masih bingung....

(Btw, I love you all sis....)

Sunday, August 14, 2005

Dua kali lipat

Sejak ia ada, ia menjadi bayangku yang hidup. Membuat tubuhku tidak hanya satu, tetapi dua. Dan diriku yang dua melakukan segalanya dua kali lipat.

Aku terbangun di pagi hari dua kali; saat diriku bangun, dan kemudian saat dirinya bangun dan meneriakkan namaku minta ditemani. Aku sarapan dua kali; saat kulahap sarapanku terburu dan kemudian saat kutemani -terkadang kusuapi- makannya yang lambat sambil bercakap. Aku berangkat kerja dua kali; saat kuantar ia ketempat kerjanya -which is playing, actually-, kemudian saat aku sampai di tempat kerja. Terkadang aku makan siang pun dua kali, makan siangku dan makan siangnya.

Salah satu yang kunikmati adalah aku bermain dua kali lipat; saat aku bermain di senggangku dan kemudian saat bermain dengannya. Mandipun aku dua kali, mandiku dan saat aku memandikannya. Satu hal lagi yang kusukai: aku membaca dua kali lipat, bukuku dan bukunya. Aku bernyanyi dua kali lebih banyak, menonton dua macam film, berjalan-jalan ke dua tempat. Laguku dan lagunya, filmku dan filmnya, tempat yang kusuka dan tempat bermainnya.

Terkadang saat ia sakit, aku merasa dua kali lebih sakit, even beg to give away his pain for me. Saat ia sedih dan menangis, hatiku ditoreh dua kali. Kala ia jatuh aku menghiburnya dua kali lebih banyak. Waktu ia belajar menjadi bocah besar, aku berharap bisa belajar jadi orang tua dua kali lebih baik.

Sejak ia ada, ia menjadi bayangku yang hidup. Membuat aku tak lagi satu, tetapi dua. Dan semuanya menjadi dua kali lipat. Kecuali satu. Waktuku sendiri menjadi dua kali lebih sedikit. And guess what? I never ever regret it. Malahan saat ia bahagia aku diberi tawa dua kali lipat lebih banyak. Wrong... tepatnya, kebahagiaanku belipat-lipat saat ia tertawa bahagia... And nothing can beat that feeling.

Wednesday, August 03, 2005

Anonymous

I really have loads of matters to write right now, even too much to just stay on my fingertips.... But it also too much that it weighs my heart, I just stare at the blank screen. You my dear blog, are just like a kid, a plain white page without a scratch, patiently waiting for me to fill you in. Once I splash the ink, nothing can wipe it, no paint will conceal it. It stays forever, even if I try to rub the stain.

And though I believe you as much to understand my heart, you, just like a kid, will candidly say it to the whole world. Say it naively to a world of bias and bigotry. Sometimes a world that loves cute fictions rather than reality. Sometimes a world that makes you an enemy. And that is why, my dear blog, I wish I were anonymous sometimes…. Where you can be my space to vomit as well as to splash a rejoice poetry.

Monday, July 11, 2005

Freedom

Di January 1941, President Roosevelt mengutarakan pidato tahunan di depan kongres Amerika. Isinya mengenai konsep "four freedom": Freedom of Speech, Freedom of Worship, Freedom from Want, and Freedom from Fear. Konsep ini kemudian digunakan sebagai promosi publik saat pengerahan perang dunia II, dibantu dengan ilustrasi dari Norman Rockwell di harian Saturday Evening Post, dua tahun kemudian.

Di ruang makan kami tergantung dua poster reproduksi karya Norman Rockwell ini: Freedom of Speech, dan Freedom from fear. Keduanya membuat saya menyimak lebih jauh. Kebebasan, terkadang jadi salah guna, bahkan bumerang, jika diterapkan berlebihan.

Saat orang di sini (US) bebas bicara dan berekspresi, terkadang jadi kurang mendengarkan. Mereka sangat pandai dalam berucap, mengemukakan pikirannya, sehingga ke-aku-annya menjadi sangat penting. Satu hal yang menurut saya jadi bumerang dalam Freedom of Speech ini contohnya adalah pengesahan hukum pernikahan sesama jenis (di beberapa negara bagian). Argumennya semata-mata adalah rasio, selain didukung kebebasan ekspresi kelompok gay. Selain itu adalah keinginan mereka untuk memilik keturunan yang sah dengan hak-hak yang sama seperti orang tua lainnya. Dan kerena hampir segala hal di sini berdasar rasio semata, tampaknya sudah sangat sulit mencari alasan lain untuk menolak hukum ini. Saya bukan orang yang sangat religius, apalagi rasis. Saya menghormati kebebasan orang lain, tetapi di lain pihak saya masih percaya ada hal-hal yang sudah diatur dari 'sananya' (haa... Indonesia banget!); salah satunya adalah pernikahan antara dua lawan jenis (+ anak yang memiliki ayah-pria dan ibu-wanita).

Dan freedom of Speech (and expression) saat dulu didengungkan dan jadi landasan berpikir orang-orang di US, buat saya konteksnya jadi berbeda ketika diterapkan di pop culture seperti sekarang. Maka saya sudah nggak heran lagi dengan orang di sini yang pandai bersilat lidah. Malah kalau kamu bertengkar dengan orang boleh bersumpah-serapah f**k, sh*t, a**h***, s*c* dan sejenisnya, asal tangan nggak ikutan bicara!

Dari poster Freedom from Fear, saya lihat bapak dan ibu yang menyelimuti dua anaknya. Kalau diperhatikan, koran yang dipegang si bapak punya headline ini: "Bombing k.... horror hit....". Kalau saya cari asal pidatonya Roosevelt, terjemahan bebas konsep satu ini kira-kira demikian: "...pengurangan kekuatan senjata di seluruh dunia sehingga nggak ada negara yang mampu melakukan agresi fisik terhadap negara tetangga, di manapun di dunia".

Makanya nggak heran sekarang US jadi polisi dunia, malah sibuk menyerang negara lain. Mungkin maksudnya menerapkan "Freedom from fear". Supaya anak-anaknya bisa tidur nyenyak. Tapi mudah-mudahan ia juga sadar, begitu menyerang negara lain, negaranya sendiri jadi nggak bisa tenang. Masih ingat penyerangan US ke Irak disebut Operation Iraqi Freedom? Dan freedom from fear ini sudah jadi bumerang, karena headline di koran lukisannya Norman Rockwell persis sama seperti headline koran yang dipegang bapak-bapak jaman sekarang....

(Ditulis mengingat kemerdekaan US tanggal 4 Juli lalu, disusul pengeboman di London, Inggris yang sekutunya US)

Thursday, June 16, 2005

Treasure

What good is a victory if it wounded another body...?
What good is a speech if it offended another heart...?
What good is a work if the object is unaware...?
What good is a plan if it not be executed...?
What good is a success if it's only your perceptive...?
What good is a cruise if you're sailing alone...?
What good is a medicine if you're feeling sick...?
What good is a diamond if you don't keep it...?