Saturday, December 29, 2007

A Thousand Splendid Suns

Pengarang: Khaled Hosseini
384 halaman, hardcover

Penerbit: Riverhead Books

Tanggal Publikasi: 22 Mei 2007


Khaled Hosseini mengawali novel terbarunya dengan memperkenalkan kata harami, bastard. Sepotong kata yang familiar dalam bahasa Indonesia: haram. Bagi Mariam yang berumur lima tahun, kata itu berarti makian ibunya bagai mengusir serangga yang tidak diinginkan. Baru kelak ia mengerti bahwa ia anak haram, tidak layak beroleh perlakuan dan kasih sayang seperti anak yang ‘legal’. Setelah ibunya menggantung diri dan kedatangannya ditolak Jalil (sang ayah yang beristri tiga), Mariam semakin sadar dirinya hanya ada untuk melayani orang lain.

Dengan latar pinggiran desa Gul Daman di tahun 1974 tempat Mariam tumbuh besar, dan kemudian Herat, cerita baru mulai sepenuhnya di Deh Mazang. Wilayah ini terletak di pinggiran kota Kabul, tempat Rasheed memboyong Mariam sebagai suami istri. Dua orang yang berbeda dialek dan adat dalam satu atap pastinya menimbulkan konflik. Rasheed, pria Pashtun berusia 45 tahun, menganggap rendah Mariam yang orang Farsi tanpa sekolah dan terlebih lagi harami. Kekejaman Rasheed semakin menjadi setelah Mariam keguguran anak pertama, kedua, hingga ke enam. Penderitaan Mariam berlanjut hingga akhir bagian pertama, bersamaan saat komunis menggulingkan kekuasaan Daoud Khan di tahun 1978.

Hosseini bertutur layaknya adegan film yang dituangkan dalam tulisan. Penuh suspens, kalimat menggantung di akhir bab, atau adegan klimaks yang merubah plot. Hal ini membuat tulisannya mengalir terburu karena banyak adegan dan percakapan yang ingin disampaikan. Bahkan deskripsi mengenai Deh Mazang, Kabul, dan latar terjadinya setting terasa samar. Rasanya pembaca tidak keberatan membaca buku yang lebih tebal untuk mendapat narasi yang lebih detail tentang karakter maupun setting, selain adegan yang tampak menarik jika difilmkan.

Faktor ini pula yang membuat saya kurang bersimpati terhadap tokoh Mariam yang penderitaannya begitu hebat, cenderung didramatisir. Berulang kali kepasifan Mariam menimbulkan rasa gemas, walau dengan latar belakang hidupnya kepasifan itu sangat mungkin terjadi. Momen menarik saat Mariam pertama kali mengenakan burqa menjadi hal biasa, karena mungkin hal itu sangat lumrah di Kabul. Saya berharap karakter Mariam melontarkan pemikiran yang lebih jelas mengenai hal ini. Begitu pula di akhir bagian pertama cerita, saat Mariam dicekoki kerikil oleh Rasheed hingga mulutnya berdarah dan giginya rontok. Mengingat Amerika tempat Hosseini menelurkan karyanya, perlu ditelusuri lebih jauh hal-hal yang terasa asing bagi kalangan pembaca.

Bagian kedua loncat ke tahun 1987, memulai tokoh Laila yang berusia sembilan tahun disertai Tariq, kawan masa kecil yang kemudian (bisa ditebak) menjadi kekasih. Tokoh Tariq yang berkaki palsu mengingatkan saya akan film Kandahar (2001), yang membuka filmnya dengan adegan ironis: pria-pria berkaki satu atau tanpa tungkai berlomba mengejar pesawat Palang Merah yang tak berani mendarat. Pesawat ini menjatuhkan kaki palsu baru dengan parasut yang melayang-layang, dan para pria ini adalah korban ranjau perang seperti Tariq.

Perjalanan kedua bocah menuju Patung Budha di Bamiyan menjadi bagian menarik yang membuka sisi lain Afghanistan. Patung ini menjadi simbol sejarah keragaman religi di jalur sutera beribu tahun lalu di Bamiyan. Ketika kemudian kekuasaan Taliban meluluhlantakkan kedua patung Budha, bisa dimengerti jika muncul perasaan marah dan antipati terhadap aksi penghancuran ini. Kisah Mariam dan Tariq terus berlanjut hingga tahun 1989 saat Soviet meninggalkan Afghanistan, hingga tahun 1992 ketika Mujaheedin menguasai Kabul.

Latar sejarah Afghanistan selama periode ini dituturkan menarik, terutama dengan benang merah dua saudara laki-laki Laila yang berjihad melawan komunis. Mammy (ibunda Laila) keluar dari balik selimutnya, berpesta saat Mujaheedin konvoi di jalan-jalan kota Kabul. Tapi kemenangan ini malah memunculkan pemberontakan lain terhadap pemerintah Rabbani, antar kekuatan sipil Pashtun, Hazara, Hekmatyar, dan Massoud. Peperangan kembali membayangi Kabul, dan Mammy kembali bersembunyi di bawah selimutnya.

Tariq dan keluarga akhirnya mengungsi ke Pakistan, menoreh kenangan dalam diri Laila. Saat keluarga Laila ikut merealisasikan mimpi dan bersiap meninggalkan Kabul, mendadak harapan itu musnah. Diterjang dentuman bom yang menembus rumah Laila hingga ke tanah. Gaya tutur ala direktur film menjadi prosa yang indah dalam barisan kalimat,” .... So did a thousand shard of glass, and it seemed to Laila that she could see each individual one flying around her, flipping slowly end over end, the sunlight catching in each. Tiny, beautiful rainbows.”

Bagian ketiga mempertemukan dua tokoh utama wanita Mariam dan Laila, keduanya sebagai istri Rasheed. Balutan cerita protagonis melawan antagonis begitu nyata, cenderung hitam-putih. Kesedihan berlanjut dengan penderitaan, berputar bergantian hingga simpati terhadap dua wanita dan seorang anak nyaris menjadi datar. Namun kesuraman ini tak mampu menandingi kengiluan saat Laila terpaksa melahirkan anak kedua dengan operasi caesar tanpa anestesi. Hosseini menuturkan pergolakan di Afghanistan tahun 1997 di bawah Taliban, ketika rumah sakit tidak diperuntukkan untuk wanita, dan dokter wanita yang tersisa harus mengoperasi pasien dengan mengenakan burqa.

Dentum peperangan menjadi bingkai hidup rakyat sipil di Kabul. Selalu terdengar tanpa harus terlibat, namun menimbulkan ketegangan, kekeringan, kemiskinan. Tanpa bermaksud menghilangkan unsur surprise buku ini, tiba-tiba sudah saatnya Laila keluar dari kesuraman. Bahkan penulis memberi penutupan tokoh Jalil dalam rupa surat dan – untuk keuntungan Laila – sejumlah uang. Suatu kebetulan yang memudahkan, nyaris klise. Dengan latar belakang Laila yang berpikiran lebih maju, selain karena sudah mengecap bangku sekolah dan pengaruh Babi sang Ayah, ternyata jalan keluar tidak datang dari diri Laila sendiri.

Pencerahan untuk Afghanistan berlanjut di bawah pimpinan Hamid Karzai tahun 2002. Saat ini Tariq dan Laila kembali ke Kabul setelah sekian tahun mengungsi ke Pakistan. Cerita kemudian diakhiri dengan latar kota Kabul tahun 2003, memuat secercah mimpi pembangunan, kemajuan kaum wanita, dan keinginan untuk berperan. Walau disebut dalam epilog delapan juta warga Afghanistan menjadi pengungsi, tokoh cerita menjadi wakil rakyat yang masih menaruh harap. Harapan yang entah kapan terpenuhi, karena di tahun 2007 ini masih terjadi peperangan di Kabul, pemberontakan Taliban melawan koalisi Amerika. Dari 5000 lebih orang yang terbunuh tahun ini (menurut AFP), 700 orang adalah warga sipil.

Secara keseluruhan A Thousand Splendid Suns adalah novel literatur populer berlatar sejarah Afghanistan, menarik dan layak menjadi koleksi pembaca fiksi, bahkan sangat mungkin dituangkan sebagai film. Seperti buku pertama Khaled Hosseini: The Kite Runner yang edar filmnya musim gugur tahun ini. Berbeda dengan karya sebelumnya, novel kedua ini dipenuhi muatan mengenai kehidupan wanita Afghan, budaya dominasi pria, dan latar belakang sejarah Afghanistan selama tiga dekade. Bahkan disebut-sebut novel ini ditumpangi propaganda Amerika, walau menurut saya fiksi adalah fiksi, terserah bagaimana pembaca menanggapinya.

Sebagai penulis handal, Khaled Hosseini yang kelahiran Kabul dan sekarang menjadi duta UNHCR, masih menyusupkan prosanya di sana-sini. Ia merangkum tentang negara asalnya yang tak henti berperang dengan jitu, tertuang dalam ucapan pengemudi taksi dalam perjalanan ke Bamiyan,” And that my young friends, is the story of our country, one invader after another.... Macedonians. Sassanians. Arabs. Mongols. Now the Soviets. But we’re like those walls up there. Battered, and nothing pretty to look at, but still standing.....