Desa Rendeng, Purworejo. 1982.
Hari menunjukkan pukul delapan malam saat mobil kami berbelok memasuki jalan utama Desa Rendeng, Kecamatan Gebang - Purworejo. Penerangan hanya dari teras rumah yang jaraknya berjauhan, seperti kelip kunang. Belum ada listrik. Jalan raya hanya cukup dua mobil beda arah, pas. Belum diaspal. Berdebu saat panas, becek saat hujan. Bapak harus mengemudi hati-hati karena diantara rumah berhalaman lebar terseling sawah yang lebih lebar lagi. Jangan sampai kami tergelincir. Satu dua orang yang lewat, biasanya ke mesjid, menoleh hingga memutar kepala saat mobil kami lewat. Mencoba mengenali keluarga siapa yang berkunjung. Karena jarang ada kendaraan lewat. Seringkali hanya ada angkot, sesekali delman. Ojek baru muncul akhir tahun 1990-an.
Setiap kali hendak memasuki halaman rumah mbah, saya bisa mengenali. Berurutan dari warung di jendela (karena barang jualan dipasang di jendela saja). Pohon kembang sepatu di halaman rumah mbah buyut. Lalu pohon nanas di halaman rumah mbah kakung dan putri, orangtua bapak. Di seberangnya ada rumah tetangga yang masih berdinding bambu anyam dan berlantai tanah. Seperti saat rumah mbah belum bertembok bata dan berlantai 'ubin' seperti sekarang. Lalu disambut tulisan di dinding rumah paling depan, yang dilukis mbah kakung sepenuh hati . Aja dumeh. Waktu saya tanya bapak apa artinya, bapak bilang "jangan sombong", atau "jangan mentang-mentang". (Tulisan yang teringat hingga sekarang, walau saya sadar sering alpa diaplikasikan.) Mbah kakung dan mbah putri menunggu di teras sejak mesin mobil kedengaran di ujung halaman. Teh manis dan kue sagu-kacang, dan gula-kacang menunggu di meja ruang tamu. Penerangan lampu minyak membuat bayangan kami menari. Bunyi gas petromaks mengiringi pelukan. Nyanyi jangkrik menimpali percakapan. Obat nyamuk. Udara dingin. Tidur di bawah kelambu.
Saya selalu menikmati liburan sekolah ke desa ini. Menikmati udara bersih dan suara alam. Pagi hari langsung menuju dapur yang terpisah dengan bangunan induk. Letaknya agak di belakang setelah melewati sumur di sebelah kiri, masih berdinding bambu anyam dan berlantai tanah. Memasak pun masih memakai tungku dengan kayu bakar, dalam panci tanah liat yang menggosong. Baunya harum. Mbah pun menolak memakai kompor minyak tanah, apalagi gas. Sudah terbiasa katanya, dan susah terbiasa dengan perubahan. Tapi saya menikmati kehangatan di depan tungku itu, menunggui mbah menuangi air panas ke gelas-gelas untuk teh dan kopi. Mengorek-ngorek kayu arang dengan sok tahu.
Kemudian menikmati menimba air dari sumur untuk mandi. Menikmati memetik jagung di kebun sebelah rumah untuk dibakar sendiri. Menyukai mencabut singkong dan memberikannya pada mbah putri untuk digoreng. Memberi makan ayam di pekarangan belakang. Berjalan-jalan di 'hutan' kecil belakang rumah dan pura-pura tersesat. Memetik bunga sepatu dan memeras daunnya menjadi minyak. Mengejar kupu-kupu yang banyak sekali berterbangan. Terkadang kecewa saat melihat nanas masih terlalu kecil untuk dipetik. Jajan es atau gula kacang di warung jendela. Kebingungan saat berpapasan mbah-mbah yang menyapa berbahasa Jawa halus. Berkunjung ke pendopo mbah buyut putri di rumah sebelah. Terheran-heran melihat wajah tua ayunya yang masih ceria mengisap rokok dengan nikmat.
Hampir setiap kali ke sini pula kami diajak bapak berjalan sekitar tiga kilometer jauhnya. Menyusuri jalan raya, berbelok di jalan kecil yang membelah sawah. Kemudian mendaki bukit berbatu hingga mencapai pemakaman. Pemakaman yang isinya sebagian keluarga bapak. Menemani bapak membersihkan makam dan nyekar. Lalu berjalan pulang lagi. Sekali pernah kami diajak melewati pematang sawah, mencoba memotong jalan. Kami menenteng sandal, berjalan di pematang sambil menjaga keseimbangan. Kaki kami berlumpur coklat hingga sedengkul, tertawa-tawa setiap kali hampir terjatuh. Memanggil-manggil bapak yang jauh memandu di depan. Ditertawakan petani ompong yang mungkin berpikir,"dasar orang kota".
Malam hari suasananya langsung berbeda. Jalanan gelap gulita diselingi kelip kunang. Orang berjalan membawa obor, lentera, atau senter. Paling senang kalau malam menunggu tukang bakso lewat, enak dan hangat, emoh peduli pakai boraks atau tidak. Tukang bakso pun bisa menetap berjam-jam lamanya, karena semua tamu yang datang ke rumah ikut disuguhi bakso, bahkan tukang baksonya juga disuguhi minum dan makanan kecil. Kalau tidak tukang bakso, terkadang digantikan tukang sate. Atau ketoprak. Sesekali diajak bapak berkunjung ke famili yang masih ada di desa ini. Lain waktu diajak ke rumah ibunda Ahmad Yani, yang memasang foto ukuran besar anaknya di ruang tamu. Seorang pahlawan, dari desa Rendeng. Cuma sesekali kami ke Purworejo kota, terutama untuk belanja ke pasar. Atau membelikan sarung buat mbah.
Sekali waktu, saat adik perempuan bapak yang paling kecil (bulik) menikah, rumah ini berubah sangat meriah. Semua saudara berdatangan. Dapur penuh makanan. Kambing dan ayam dipotong. Orang-orang sibuk membuat janur dan bergadang sampai malam, membuat anak-anak ikut berlarian enggan lelap. Pada harinya, semalam suntuk digelar pertunjukan wayang. Lengkap dengan gamelan plus speaker yang suaranya sampai di kejauhan. Semua orang yang lewat boleh mampir, sehingga tambah banyak yang datang dan suasana makin meriah. Sayang, saat itu saya tidak mengerti cerita wayang dalam bahasa Jawa. Tapi bapak selalu mau menceritakan pada anak-anaknya. Seperti saat ia menceritakan dongeng kancil sebelum tidur. Seperti kesungguhannya mengajari kami aksara jawa dalam buku menulis halus.
Saya agak segan dengan mbah kakung. Mungkin karena tubuhnya yang tinggi besar berkulit gelap. Mungkin karena suaranya yang terdengar menggelegar di telinga saya yang kecil. Mungkin karena kopi kental dan rokoknya. Mungkin juga karena ompongnya. Entahlah. Sampai saat saya berusia awal belasan dan mbah Kakung meninggal dunia, ingatan saya tentangnya masih samar. Belum menyadari ketergesaan bapak yang berangkat mendadak ke desa dengan kekuatiran di wajahnya.
Mbah putri serba kebalikan dari mbah kakung. Tubuhnya mungil dan putih. Suaranya halus. Selalu berkebaya dan berkain jarik. Cenderung pendiam dan sabar. Senang bercanda dengan bapak dan menunjukkan sayangnya pada anak tertua. Sampai usianya mencapai 80 segala sesuatu masih dikerjakannya sendiri. Kecuali menimba air. Saya jarang bercakap dengan mbah putri karena seringkali tak tahu harus bicara apa, apalagi ia tak sering berucap dalam bahasa Indonesia. Atau mungkin itu hanya alasan saya saja. Dan saat dewasa seringkali saya menyesali ketidakmampuan saya berbahasa Jawa. Bahasa orang tua sendiri yang dikalahkan kelancaran saya berbahasa Inggris.
Hingga bertahun-tahun kemudian, kunjungan saya ke desa Rendeng semakin jarang. Apalagi sejak SMA hingga kuliah. Banyak penyebabnya. Atau juga karena mulai enggan. Tidak lagi jadi tempat yang menarik buat usia akhir belasan. Entah apa saja yang sudah berubah sejak kedatangan saya terakhir kali. Entah kapan. Tapi saya ingat listrik sudah ada. Jalanan sudah beraspal. Sawah lebih sedikit terganti rumah berdinding bata. Kebun jagung dan singkong sudah jadi taman karena tak ada yang mengurus. Mbah putri sudah mau memakai kompor minyak tanah di samping tungku-nya. Angkutan umum bertambah, ditimpali ojek. Pemakaman lebih penuh dan teratur.
Desa Rendeng, Purworejo. 15 April 2006.
Mbah putri berpulang. Dan kemudian ingatan ini berangsur kembali. Masa kecil yang menyenangkan, masih bisa bermain di desa. Tempat yang ingin saya tunjukkan pada Damian. Supaya ia juga bisa menimba air, mencabut singkong, berjalan di sawah, membakar jagung, mendaki bukit. Mengecap secuil tanah moyang di bumi yang semakin sempit. Seperti bapak yang mengajak saya ke sana waktu kecil. Ke Desa Rendeng, Kecamatan Gebang - Purworejo.
Walau ingatan saya tentang mbah putri sudah samar, saya tahu ia wanita terpenting dalam hidup bapak sebagai anak tertua. Even though he might not be a perfect husband or father, I know he always tried to be a good son for his mother. And I'm sorry I can not be there for you, Bapak. Doa saya dari sini.