Suara itu selalu datang dari sebelah kiri. Di atas pundak, di belakang telinga. Dengan posisi itu aku tak pernah mampu menatapnya. Atau lebih tepat, aku tak punya keberanian untuk memeta wajahnya. Dengar suaranya saja aku selalu tunduk. Karena ia selalu datang saat aku gentar.
Seperti empat minggu lalu. Suaranya sayup menerpa tanpa pertanda.
"Kamu alpa?"
"Ya... lagi-lagi" Suaraku lirih, mataku menerawang kancing baju.
"Tapi kali ini, aku nggak akan menghindar. Atau cari-cari alasan," tambahku, dalam bisikan yang hanya mampu sampai di telinganya. Kami terdiam sekian detik, dengan hatiku yang berdebar gentar.
"Kenapa...?"
"Karena aku abaikan semua pertandamu yang lirih. Aku sepelekan suara sekitar yang peduli..."
Ia tak bersuara, tapi aku rasakan tajam tatapnya di kudukku.
"Kenapa...?"
"Karena aku tak mendengarmu sebelum kamu bersuara...."
Kali ini kurasakan tatapnya melunak, tapi desahnya menggemakan sedih.
"Kamu tahu...."
"Ya, aku tahu. Kamu tak akan menamparku kalau saja aku sadar, siuman."
Tanpa ia tumpah ucap pun aku serasa mengerut menjadi cacing. Kalau saja aku mampu menyusup ke tanah....
Aku rasakan hembusnya yang beranjak pergi. Aku tergeragap.
"Tolong... jangan pergi."
"Aku perlu ditemani...." mohonku nyaris meratap.
"Aku tidak akan memberi beban yang melebihi berat tubuhmu. Sudah saatnya kamu menatap silau matahari yang kaunikmati sinarnya, walau untuk sesaat kamu harus buta...."
"Bukan itu.... ada yang ingin kutanya."
Suaranya tak lagi menjauh, kurasakan lagi hembusnya di belakang telinga,"Apa yang ingin kamu ungkap?"
"Aku... sudah berhitung. Kali ini, mungkin yang kedua."
Suaraku bertambah berat," Bukankan segalanya diakhiri hitungan ketiga?"
Kali ini hening terasa menembus dinding. Aku makin tunduk, menghitungi detik.
"Mungkin... semuanya akan diakhiri hitungan ketiga. Atau diawali pada hitungan ketiga."
"Aku... takut..." Akhirnya aku mengakui ciut hatiku, tanpa topeng.
Dan dengan desahnya yang serupa senyuman, kudengar ia beranjak pergi.
Kali ini aku menoleh, mencarinya di sebelah kiri belakang telingaku. Tentu saja ia sudah lenyap, secepat datangnya yang tak diundang.
Tiba-tiba, rasa takut itu lenyap. Hatiku kosong seperti dihirup sedotan. Dan mataku basah.
Seperti empat minggu lalu. Suaranya sayup menerpa tanpa pertanda.
"Kamu alpa?"
"Ya... lagi-lagi" Suaraku lirih, mataku menerawang kancing baju.
"Tapi kali ini, aku nggak akan menghindar. Atau cari-cari alasan," tambahku, dalam bisikan yang hanya mampu sampai di telinganya. Kami terdiam sekian detik, dengan hatiku yang berdebar gentar.
"Kenapa...?"
"Karena aku abaikan semua pertandamu yang lirih. Aku sepelekan suara sekitar yang peduli..."
Ia tak bersuara, tapi aku rasakan tajam tatapnya di kudukku.
"Kenapa...?"
"Karena aku tak mendengarmu sebelum kamu bersuara...."
Kali ini kurasakan tatapnya melunak, tapi desahnya menggemakan sedih.
"Kamu tahu...."
"Ya, aku tahu. Kamu tak akan menamparku kalau saja aku sadar, siuman."
Tanpa ia tumpah ucap pun aku serasa mengerut menjadi cacing. Kalau saja aku mampu menyusup ke tanah....
Aku rasakan hembusnya yang beranjak pergi. Aku tergeragap.
"Tolong... jangan pergi."
"Aku perlu ditemani...." mohonku nyaris meratap.
"Aku tidak akan memberi beban yang melebihi berat tubuhmu. Sudah saatnya kamu menatap silau matahari yang kaunikmati sinarnya, walau untuk sesaat kamu harus buta...."
"Bukan itu.... ada yang ingin kutanya."
Suaranya tak lagi menjauh, kurasakan lagi hembusnya di belakang telinga,"Apa yang ingin kamu ungkap?"
"Aku... sudah berhitung. Kali ini, mungkin yang kedua."
Suaraku bertambah berat," Bukankan segalanya diakhiri hitungan ketiga?"
Kali ini hening terasa menembus dinding. Aku makin tunduk, menghitungi detik.
"Mungkin... semuanya akan diakhiri hitungan ketiga. Atau diawali pada hitungan ketiga."
"Aku... takut..." Akhirnya aku mengakui ciut hatiku, tanpa topeng.
Dan dengan desahnya yang serupa senyuman, kudengar ia beranjak pergi.
Kali ini aku menoleh, mencarinya di sebelah kiri belakang telingaku. Tentu saja ia sudah lenyap, secepat datangnya yang tak diundang.
Tiba-tiba, rasa takut itu lenyap. Hatiku kosong seperti dihirup sedotan. Dan mataku basah.
4 drops:
mencoba mengerti, tapi gak bisa menangkap kisahnya... tapi cekamnya suasana terasa bener...
Memang banyak yang salah tangkap, kecuali my hubby (half right, though). I'm talking to my conscience, base on an experience yang nggak bisa aku ceritain di sini.... :)
Post a Comment