Bapak,
Sejak semalam hatiku sedih. Mengingatmu. Mencoba memeta wajahmu. Di dinding, di layar monitor, di gelas tivi. Yang lebih menyakitkan, aku hampir kehilangan rupamu. Hanya bayang. Raut, dan sebentuk ingatan. Seulas senyum yang selalu ada. Walau segumpal lara menggayut di dada. Selirik ucap bijaksana di sela gundah. Sebaris optimis di tengah gulana. Selalu menenangkan dengan ucap,” …nggak apa-apa….”
Saya masih marah sama waktu, Bapak. Waktu yang tak bersahabat. Waktu yang menunda pertemuan, waktu yang merampas kesempatan pulang. Waktu yang selalu datang terlambat. Dan selalu tertambat pertanyaan,” …mengapa tak menunggu, Bapak?”
Tapi kemarin saya dengar sebait lagu,”…we should be all praying for time….”
Mungkin, untuk waktu yang sudah penuh terisi dengan kehidupanku bersamamu. Waktu yang penuh tawa canda, waktu yang terisi cerita kancil, waktu berlibur ke desa, waktu terbaring di rumah sakit dan mendengar kisah masa kecil, waktu nonton bola sampai pagi, waktu Bapak bermain sama Damian, waktu Bapak mampir minum kopi dan bercakap, waktu kita bertengkar…. Waktu yang terisi kehidupan. Waktu yang diselipi ayat bijak, saat saya tak peduli. Waktu yang terisi air setengah penuh seperti ucapmu. Bukan waktu yang kosong, hilang…. Tapi setelah dua tahun, mengapa dadaku masih sesak, Bapak?
Karena waktu hanyalah pelampiasan sesal. Akan sepatah maaf yang tak tersampaikan. Akan ucap sayang yang menggantung di tenggorokan. Have I told you “I love you” the last time we talk on the phone, or was it just an instant message? Have I told you “I’m sorry” the last time I saw you at the airport?
Bapak tahu, kata banyak orang. Tapi aku nggak tahu kalau Bapak tahu. Dan itu yang membuat sesak. Hingga sekarang, setelah lima tahun tak sua, dan setelah dua tahun Bapak tak ada.
I know you’ve seen us from afar, and right now it feels sucks to write these senses in the office while I feel like going out there to cry out loud. But I want to write this for you, Bapak. So you know. At least I think you will read this. Somewhere, from a better place.
1 drops:
Apa kabar bu?
Menjadi ayah itu mengagetkan.
Semua detail tentang anak-anak selalu jadi kebanggaan.
Nikmatnya pulang ke rumah disambut mereka. Atau gimana berartinya ucapan mereka "ati-ati di jalan ya yah..." setiap gw mau berangkat.
Buat gw anak-anak selalu sempurna tanpa kesalahan. Selalu tau ada kepercayaan dan kebutuhan luar biasa antara kami. The purest ever.
Sebagai anak, dulu, gw gak bisa merasakan, tapi sebagai ayah, begitu kuatnya itu gw rasakan setiap waktu.
Gw percaya, tanpa perlu Dyah ragu, bapak Dyah juga merasakan semua hal itu bahkan mungkin lebih. Semoga beliau dalam damai.
Semoga sehat dan lancar semua untuk Dyah & keluarga. Cun Cayang buat Yus.
Post a Comment