Dua hari lalu baru selesai baca bukunya Gunawan Moehamad: Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (Cyn, ingetin gue untuk balikin ya :)). Ada satu bagian yang masih mengiang di kepala saya sampai sekarang. Soal munculnya peradaban moderen yang dimulai dengan konsep individu di Eropa. Salah satunya ditandai dengan kursi. Termangulah saya.
Kursi yang sebelum abad pertengahan hanya jadi singgasana raja kemudian bisa dimiliki rakyat jelata. Rakyat yang sebelumnya terbiasa duduk berdampingan di bangku (bench) ingin merasakan duduk tanpa beradu pundak dengan orang lain. Ingin duduk sendiri. Lalu kursi menjadi komoditi pasar. Bukan lagi privilese kaum borjuis. Keindividuan sudah tak lagi jadi barang mewah.
Kalau kursi yang jadi singgasana raja dan bangsawan memang hasil karya seni yang rumit pada masanya, sekarang jadi terbalik. Kursi didesain menjadi barang seni supaya si empunya merasa elite, tak pasaran. Individualitasnya dimanjakan supaya berbeda dengan rakyat kebanyakan. Segelintir orang mencoba mengidentikkan diri dengan kursi bermerek desainer, berbahan tertentu, bergaya tertentu. Bukan sekedar kursi Ikea, tapi kursi Le corbusier, bahkan kursi Blobby yang milyaran dolar. Beberapa minggu lalu saat saya bersama beberapa rekan sekerja mengunjungi NeoconEast (semacam pameran produk interior & furniture), beberapa kali terdengar ungkapan bahkan jeritan kecil,” Ohhh... that chair is sooo me!” Dan mendekatlah si empunya stand,” Hey, isn’t he cute? He’s name is Billy.” Kursi pink itu adalah individu pria bernama Billy. Tentu saja pasarnya wanita. “Do you want to sit on Billy?”
Mentranslasikan individu, atau jati diri dalam bentuk barang. Suatu hal yang terasa sekali di Amerika, negara yang individu penduduknya -buat saya- sangat dimanjakan.
Kembali ke soal kursi. Tak banyak orang di Baltimore ini yang berpikir untuk komut berkendaraan umum, karena enggan berbagi kursi dalam bus dengan orang lain. Orang yang notabene dianggap ‘tidak mampu’ bermobil (yang mungkin jadi kondisi umum di belahan dunia manapun). Orang di sini malas berdampingan menunggu di bench halte bus, untuk kemudian bersebelahan dengan orang tak dikenal dalam sesaknya bus. Belakangan malah semakin sedikit halte bus dengan bench. Karena bench di halte identik dengan homeless. Tempat selonjornya tunawisma itu maka dihilangkan. Orang dibiarkan menunggu bus sambil berdiri . Memang berbeda dengan kota besar seperti Manhattan yang mayoritas penduduknya menggunakan subway atau bus. Tapi itu bukan mayoritas Amerika, yang lebih memilih membangun jalan layang dan tol karena individu bermobil yang semakin membludak. Mobil yang didesain dengan 5 kursi pun hanya dikendarai satu orang. Karena individu ingin dimanjakan dalam berkomut, pasar mobil nyaris nggak pernah surut. Hingga sekarang. Saat ekonomi Amerika mengalami keruntuhan.
Saya jadi berandai-andai, mengajak satu orang Amerika ke Bandung. Naik angkot Caheum-Ledeng yang tujuh-lima. Makan di warung tegal berbangku panjang. Tempat yang masih berbangku panjang di sini, selain taman (inipun seringkali orang menempati satu bangku panjang tanpa mau berbagi), gereja, kafetaria sekolah. Tempat umum, tempat ibadah, sekolah. Ketiga institusi ini seperti tempat orang melebur, menjadi less individual. Begitu keluar dari pintu kebersamaan, orang asik mejadi ‘aku’, 'me', instead of ‘we’.
Barang (termasuk mobil dan kursi) yang menjadi pengejawantahan individu Amerika tidak dibeli dengan uang, melainkan dengan kredit. Artinya, prediksi kemampuan konsumsi diatur dengan sistem kredit yang batasnya melebihi kemampuan sang individu untuk melunasinya. Individualitas bukan lagi realita, melainkan mimpi. Bukan esensi, tapi keinginan ‘menjadi’. Memanjakan individu berarti memanjakan mimpi. Dan mimpi Amerika (American dream) itu tidak gratis. Melainkan didalangi kapitalisme.
Sekedar informasi, hutang kartu kredit rata-rata penduduk Amerika adalah $10, 000. Tidak termasuk mortgage (KPR kalau di Indonesia). Living not within, but beyond their means. Individu yang terlalu dimanjakan, mimpi yang kebablasan
"Hidup mewah, hidup mewah....," begitu kata Sponge Bob. Sambil berjualan coklat, bermimpi keuntungan berlipat dalam sekejap.
Kembali ke kursi. Kenalkan, office chair termahal di dunia bernama Aresline Xten. Harganya 1,5 milyar dolar saja. Desainernya? Pininfarina, kantor desain Italia yang terkenal mendesain mobil mewah seperti Ferrari dan Cadillac. Kebetulan, ya? Dan ini baru kursi....
4 drops:
Bu... ini yang pengen gw baca!
Ayo dong ceritain lebih banyak fragmen kondisi present disana.
Artikel ini keren lho.
Gak coba kirim ke media disini? Disini, -terutama yang disebut 'pasar'-, kelaparan info tentang what really happen di Amerika.
Seperti biasa, cunchayank buat Yus.
Abi, Thanks. Tadinya gue pikir banyak hal2 di sini yang nggak penting buat orang di Indo. Seperti Abi tau, realita di sini tak seharum yang orang tangkap di sana. I'll try to write more on this kind of topic, tapi nggak janji heheheh....
nggak penting gimana tho Bu? lha wong Obama menang aja, disini ada yang senangnya melebihi dapat BLT kok.
Maklum orang Indonesia kan lebih amerika dari orang amerika.
Soale berita di tv dll, disono makin parah, mall mau natal saja sepi. Efek pelangsingan PMAnya Amerika sudah mulai berujung PHK disini.
udah dicunken ke Yus?
Dy, tulisan ini bagus lho. Sungguh! Ringan tapi sarat pemikiran. Aku suka baca tulisan tentang hal-hal sederhana tapi ternyata punya arti yang ngga sederhana. Thx!
--durin--
Post a Comment