Tuesday, September 27, 2005

Suara Itu

Suara itu selalu datang dari sebelah kiri. Di atas pundak, di belakang telinga. Dengan posisi itu aku tak pernah mampu menatapnya. Atau lebih tepat, aku tak punya keberanian untuk memeta wajahnya. Dengar suaranya saja aku selalu tunduk. Karena ia selalu datang saat aku gentar.

Seperti empat minggu lalu. Suaranya sayup menerpa tanpa pertanda.

"Kamu alpa?"
"Ya... lagi-lagi" Suaraku lirih, mataku menerawang kancing baju.
"Tapi kali ini, aku nggak akan menghindar. Atau cari-cari alasan," tambahku, dalam bisikan yang hanya mampu sampai di telinganya. Kami terdiam sekian detik, dengan hatiku yang berdebar gentar.
"Kenapa...?"
"Karena aku abaikan semua pertandamu yang lirih. Aku sepelekan suara sekitar yang peduli..."
Ia tak bersuara, tapi aku rasakan tajam tatapnya di kudukku.
"Kenapa...?"
"Karena aku tak mendengarmu sebelum kamu bersuara...."
Kali ini kurasakan tatapnya melunak, tapi desahnya menggemakan sedih.
"Kamu tahu...."
"Ya, aku tahu. Kamu tak akan menamparku kalau saja aku sadar, siuman."
Tanpa ia tumpah ucap pun aku serasa mengerut menjadi cacing. Kalau saja aku mampu menyusup ke tanah....

Aku rasakan hembusnya yang beranjak pergi. Aku tergeragap.
"Tolong... jangan pergi."
"Aku perlu ditemani...." mohonku nyaris meratap.
"Aku tidak akan memberi beban yang melebihi berat tubuhmu. Sudah saatnya kamu menatap silau matahari yang kaunikmati sinarnya, walau untuk sesaat kamu harus buta...."
"Bukan itu.... ada yang ingin kutanya."
Suaranya tak lagi menjauh, kurasakan lagi hembusnya di belakang telinga,"Apa yang ingin kamu ungkap?"
"Aku... sudah berhitung. Kali ini, mungkin yang kedua."
Suaraku bertambah berat," Bukankan segalanya diakhiri hitungan ketiga?"

Kali ini hening terasa menembus dinding. Aku makin tunduk, menghitungi detik.
"Mungkin... semuanya akan diakhiri hitungan ketiga. Atau diawali pada hitungan ketiga."
"Aku... takut..." Akhirnya aku mengakui ciut hatiku, tanpa topeng.
Dan dengan desahnya yang serupa senyuman, kudengar ia beranjak pergi.

Kali ini aku menoleh, mencarinya di sebelah kiri belakang telingaku. Tentu saja ia sudah lenyap, secepat datangnya yang tak diundang.
Tiba-tiba, rasa takut itu lenyap. Hatiku kosong seperti dihirup sedotan. Dan mataku basah.

Thursday, September 22, 2005

[Dua lumit]

Runi terkasih,
Terimakasih untuk sayap indahmu. Percayalah, kamu bisa terbang tanpa aku.
Kamu tahu, bukan padamu aku marah. Bukan pada nasib aku kecewa. Andai kamu melihat mata tua itu Runi, mungkin kamu mengerti. Remang tanpa masa depan, kehilangan harap dan percaya. Mata yang berkaca tanpa lelehan. Sejenak aku sudah menjadi dia.

Sejak lama aku sadar sudah berbeda. Bukan karena aku mau, tetapi anak-anak tetangga yang setiap hari mengingatkanku. Walau kami berlari di gang yang sama, memancing di empang yang itu juga. Aku belajar menerima perbedaanku dengan menghindari pertengkaran, berbuat ekstra baik terhadap orang yang kukenal. Semua kulakukan supaya kami bisa diterima. Tetapi mereka yang selalu mengejek dan meneriaki setetes kesalahanku. Kamu tahu, akulah yang dipukul mama kalau sampai ribut dengan anak tetangga, tak peduli bukan aku biang keladinya?

Anak-anak tetanggaku itu menjadi besar sepertiku. Mereka baik terhadapku dan selalu bermain bersama sepanjang sekolah. Tetapi setiap ada lomba dan acara, merekalah yang terpilih dan bukan aku, tak peduli siapa yang lebih baik. Percayakah kamu bahwa itu semua nasib? Kalau kamu percaya, mengapa orang lain yang mengatur nasibku? Walau setelah dewasa mereka sungguh baik terhadapku, bukankah suara masa kanak jauh lebih jujur apa adanya? Benar, aku berbeda. Entah apapun usahaku menghapus semua itu. Dan sekarang.... mata tua itu jadi saksi. Sekaligus pemantik bara dalam darahku.

Runi terkasih,
Kamu adalah bagian terindah dalam hidupku. Karena hanya kamu yang menerima aku apa adanya. Dan sayapmu yang indah membawaku melayang melintasi cakrawala. Tetaplah terbang, Sayang. Karena kamu bersinar saat singgah di awan.

Aku bersimpuh untuk merenggutmu melayang bersamaku. Tapi aku tak mampu. Bumi pijakanmu terlalu kuat menawanmu.....

*****

ga usah diperjelas deh awal dan sesudahnya... ini kitaran 1998