Tuesday, April 26, 2005

The Namesake


What's in a name? Nama, suatu identitas yang menempel di tubuh seseorang. Seperti tattoo, tompel, hidung mancung, kulit hitam, mata sipit. Nama ada sejak lahir, otomatis, dan susah lepas. Dan pertanyaan what's in a name mendadak jadi sangat penting. Jika nama itu jadi masalah buat pemakainya. Apalagi sampai menimbulkan krisis identitas. Konsep nama sejenis ini diusung oleh Jhumpa Lahiri dalam novelnya The Namesake.

Dilatarbelakangi kehidupan sepasang imigran india di Amerika, persoalan nama menjadi masalah besar saat sang istri melahirkan putra pertama. Karena menurut tradisi India, nama ini harus diberikan oleh sang nenek yang ada di belahan Calcutta. Karena surat berisi nama sang putra nyasar entah ke mana (yup, belum ada email!), terjadilah 'kesalahan' pertama sejak si anak masih bayi. Ia dinamai Gogol Ganguli. Gogol, sebagaimana dalam Nikolai Gogol, penulis Rusia favorit yang juga jadi bagian sejarah hidup sang ayah.

Semuanya ini ditampilkan mengalir dan menarik, terbukti Lahiri adalah penulis yang piawai dalam menyusun alur cerita. Dan ceritanya terus berlanjut, hingga Gogol menjadi dewasa, sekolah, pacaran, sex pertama, menikah, dan seterusnya. Yang menarik adalah rajutan hidup orang tua Gogol sebagai imigran yang sebagian hatinya tertambat di India, di lain pihak sebagian tradisinya mengadaptasi kehidupan sebagai 'american'. Konflik ini berpengaruh sepanjang hidup Gogol, seperti namanya yang tidak India dan tidak pula Amerika. Hingga akhirnya Gogol berkeputusan untuk maju ke pengadilan, dan merubah namanya. Saat sang hakim bertanya 'mengapa', jawban Gogol singkat saja,"Because I've always hate the name." Perubahan nama ini tidak menjadi klimaks, malah jadi tiang pancang putusnya hubungan Gogol dengan sejarah sang ayah. Ia menjalani babak baru dengan lebih Amerika, menjauhi akarnya yang India.

Tokoh Gogol mungkin mewakili garis kedua kebanyakan imigran di Amerika, tak hanya imigran India. Kehidupan dalam dua budaya yang terkadang menimbulkan konflik, menghasilkan species pribadi baru. Satunya adalah jenis yang menolak beradaptasi dalam dua kultur yang ada, bahkan melarikan diri ke dalam kultur yang lain (diwakili Moushumi). Lainnya adalah species Gogol, yang mampu beradaptasi dan cenderung mencari identitas di kultur yang baru. Kesamaan keduanya, mungkin sekali pencarian identitas ini tidak akan membuahkan solusi, selain kesadaran untuk berdamai dengan diri sendiri.

Sayangnya, walau kehidupan Gogol diceritakan dengan menarik, saya kehilangan pemikiran seorang Gogol dalam buku ini. Ia menjadi tokoh sentral tetapi kepribadiannya samar, bahkan pada saat usianya menginjak 30. Atau mungkin, penulis memang sengaja membuatnya demikian. Jhumpa Lahiri adalah peraih pulitzer yang menanjak dengan cerita semacam ini, jenis cerita yang selalu menarik minat saya, mengenai akar. Kalau mau dikasih rating, buat saya buku ini dua tingkat di atas Joy Luck Club-nya Amy Tan, tapi belum bisa disejajarkan dengan Ignorance-nya Milan Kundera.

Pada akhirnya, nama menjadi satu hal penting; karena seperti rumah, nama adalah tempat seorang anak bisa pulang. Tempat ia merasa nyaman dan menemukan dirinya.


Thursday, April 21, 2005

Prasangka

Heran, sampai sekarang orang masih juga menilai orang lain dari penampilan. Waktu belum lama lulus kuliah dan mulai kerja, aku berjumpa kawan lama dan makan siang bersama. Sejak SMP kami nggak pernah bertukar sapa, dan saat itu barulah kami bercerita panjang lebar. Saat itu aku cuma bercelana jeans dan berkaus, masih berbau mahasiswi. Kawanku akhirnya tak tahan berucap," Yaa ampun, nggak sangka deh elo tu lulusan i**, kerjanya jadi a***t** lagi...." sambil pandangannya menelusuri ujung rambut sampai ujung kakiku. Waa... yang ada aku jadi heran, memang kenapa...? Usut punya usut, kawanku ini banyak gaul di kalangan artis, yang terkadang walau urusan kerjaannya seret, penampilan harus tetap wah dan jaim. Karena penampilan memang dibutuhkan di bidangnya, kalau nggak siapa yang mau pake?

Banyak kejadian lain yang serupa. Kalau aku liburan, belum mandi dan menemani ibu belanja di pasar tradisional lalu bertemu kawannya,"Ini anaknya, Bu?" "Kok nggak pernah kelihatan?" "Ohh... kerjanya di S****p***?" Lalu ia manggut-manggut tapi wajahnya kelihatan sekali nggak percaya. Hoahaha....

Belum lama seorang teman yang membaca blogku berkomentar,"Aduh... nggak nyangka deh kamu bisa nulis begitu rupa...". Mungkin setiap kali berjumpa di acara khusus, penampilanku jauh dari kesan suka baca, apalagi nulis! Wah, sering sekali aku ngalamin yang kayak beginian, sampai-sampai aku jadi nggak peduli lagi dibilang orang aku ini orangnya gimana dan kayak apa.

Yang bahaya, ternyata prasangka macam ini terselip juga dalam diri. Saat aku berkenalan dengan orang lain pertama kali, saat menyadari ketidakcocokan dengan kawan, saat mendengar curhat sahabat lama, saat berhadapan dengan perbedaan. Karena nggak cuma aku, orang lain pun berubah. Karena nggak cuma aku, orang lain pun berbeda. Dengan alasannya masing-masing.

Tuesday, April 12, 2005

Semi, Sakura

Image hosted by Photobucket.comTidal Basin, di pagi musim semi yang cerah. Karena bukan akhir minggu, keindahan dan ketenangannya ternikmati, di sela barisan orang yang mengitari air. Bunga Sakura berada di puncak kembangnya, berwarna merah muda manis, melingkari danau hijau serupa cincin. Langit biru terang tersapu kabut awan horisontal, angin sejuk mencubiti kulit. Jefferson Memorial di garis cakrawala jadi titik bidik postcard yang sempurna. Helai sakura yang mulai rontok terbawa angin seperti taburan kertas kecil, terdampar mengambang di danau yang beriak dilewati sepasang bebek yang berkejaran.

Sepasang kekasih menabur bisik mesra, mengawali musim yang penuh janji. Sepasang orang tua duduk-duduk bernaung rimbun bunga, menikmati senja usia di tiap detiknya. Rombongan anak sekolah berbaris sibuk menunjuk berbagai arah. Seorang fotografer merekam momen yang hanya ternikmati setahun sekali, di tempat ini. Setengah lusin turis muda berdarah Asia membuka jaketnya, mengira cuaca masih dingin. Seorang ibu muda dan anak toddlernya menyapa saya, meminta saya mengambil gambar mereka berdua. Saya mengangguk dan memanfaatkannya untuk gantian meminta tolong mengambil gambar saya bersama Damian. Senyum di pagi musim semi yang cerah. Klik.

(Setelahnya kami ke National Zoological Park. Karena dinaungi Smithsonian Institution, masuknya gratis tetapi pengelolaannya profesional. Sangat saya rekomendasikan untuk mengajak anak-anak bermain di kebon binatang ini!)

Monday, April 04, 2005

Anak Tangga

Tiga minggu belakangan aku magang di sini. Suatu kesempatan yang menyenangkan menebas rutinitas. Seperti halnya orang yang sudah lama tak naik sepeda dan kemudian mulai mengayuh lagi, aku mengalami hal yang sama. Sedikit grogi pada awalnya dan tiba-tiba semuanya berjalan mulus. Ah ya, tentu saja dengan tambahan polesan oli di sana-sini.

Anyway, tiba-tiba saja yang menjadi hal besar bukanlah soal apa yang kulakukan. Tapi menebas rutinitas seorang anak berusia dua setengah tahun yang nggak pernah terpisah dari ibunya. Aku telusuri semua artikel mengenai separation anxiety, dan kesimpulanku proses ini terjadi di berbagai anak tangga seorang bayi hingga menjadi bocah kecil. Sama saat ia lepas dari air susu ibunya dan ia menangis dua malam tak henti. Sama saat ditinggal pertama kali dengan eyangnya padahal selama dua jam saja. Belum lagi aku sendiri sama sekali nggak boleh ikut terbawa kesedihannya.

Baru setelah seminggu lebih kelihatan ia bisa menikmati kegiatannya di daycare sekaligus playgroup tempatnya bermain dan belajar. Dan aku kedapatan bonusnya setiap kami berangkat tidur malam. Damian mulai menyanyikan lagu-lagu favorit yang dipelajarinya. Twinkle Star, Bus, Friends, A-B-C, Spider, Baba Black Sheep, disela Balonku, Cecak, dll. Tapi di antara semua, ada satu lagu favoritku. Satu tembang Jawa yang sering kunyanyikan sejak dulu menjelang tidurnya, dan sekarang dinyanyikannya untukku dengan segala kelucuannya.

Bo-Bobo Damian sayang
isih cilik ta' kudang-kudang
ta' beri nastiti suci
'yen gedhe keno ta' sawang

lungo'no kandaku iki
dadio satrio utomo
ra' lio pengarepanku
wasis ing sembarang karyo...

Dan sekarang saat magangku selesai, aku akan menciuminya lagi semau hati. Suatu saat dulu, hitungan ciumanku berhenti di angka 59, padahal ia belum lagi tidur siang. Sekarang aku mau bayar hutang dulu... sampai puass... :)

Belasungkawa

Turut berduka atas wafatnya Pope John Paul II. Salah satu pemimpin dunia yang kematiannya dirundungi banyak negara, seseorang yang cinta damai, bahkan mendoakan orang yang mencoba membunuhnya.

Percikan seorang pemimimpin yang terlahir Karol Wojtyla di sini.