Saturday, July 31, 2004

Sang Tulus


aku rindu kuncup bunga
saat harumnya redup nyaris mekar
ia tak mengerti indah kuntumnya kemudian

aku rindu kepompong
saat gelungnya hangat tanpa metamorfosa
ia usah cantik namun rapuh bahaya

aku rindu kado yang belum terbuka
saat terbungkus manis dan tak penting isinya
ia usah tanggalkan hutang budi

aku rindu kanak dua puluh purnama
saat tumpah tanya tanpa harus keras kepala
ia bening dan siap menerima

aku rindu pandang pertama
saat jutaan rasa mengawang di udara
ia menyelami tanpa hirup kata

aku rindu semburat pagi
saat pancarnya intipi celah penuh janji
tanpa peluh dan terik matahari

aku rindu kenangan
saat sang tulus mengusir prasangka
ia manis dan penuh tawa

aku rindu sunyi
saat pekik lain tak jadi polusi
sendiri kusimak detak nurani

Wednesday, July 28, 2004

Jendela

Jendela tak hanya ada untuk mengalirkan udara. Tetapi juga jadi layar tempatku melihat cerita di jalan raya dan sekitarnya.


Apartemen kami ada di lantai lima bangunan tua di sudut blok. Tanpa halaman, berbatasan langsung dengan trotoar jalan raya dua arah. Dengan jendela yang hampir memenuhi satu sisi dinding living room, banyak cerita menarik yang bisa kusimak di sana. Oh ya, ditambah imajinasi sesuka hati sendiri tentu saja.

Sekali waktu, di Sabtu malam musim panas, saat jalan senyap. Sepasang kekasih duduk di bangku tunggu bus. Sang Pria tampak membujuk si wanita yang membuang pandang. Mereka bertengkar, suara mereka makin keras terdengar. Kata-kata makian meluncur deras. Sang Pria menendang kursi besi di sampingnya hingga terbalik. Wah, marah sekali ia, karena kursi itu kelihata berat sekali. Si wanita tetap tidak tergerak. Sang Pria mengangkat tong sampah besar dan membantingnya. Untung tak sampai berceceran isinya. Si wanita tetap -atau pura-pura- tak peduli, membuang muka, hanya bicaranya yang tak henti. Sang Pria kembali membujuk, berlutut, memohon. Si wanita tak menoleh, tangannya bersidekap. Sang Pria habis sabar. Ia tak bisa menyeret si wanita pergi, apalagi memukulnya karena bisa dituntut dan masuk penjara.

Tiba-tiba jantungku berhenti berdetak. Oh my God... Sang pria berlari ke tengah jalan, menghadang bus besar yang datang dari arah berlawanan. Edan! Mataku terbelalak saat bus itu berhenti tepat di depan Sang Pria yang entah sok hebat atau sudah gila. Hanya ada satu dua pejalan kaki yang lewat, enggan terlibat. Kali ini makian tumpah dari bibir sang supir bus. Si wanita? Masih duduk di bangku tunggu bus, menyumpahi sang pria yang dikencaninya. Lalu mereka berjalan, masih saling teriak, sang pria masih menendangi tiang, atau apapun di dekatnya. Sampai di perempatan jalan, sebelum menyeberang. Mobil polisi dengan sirene mengaung mendekat, berhenti. Di belakangnya ada empat mobil lagi, dengan lampu dan bunyi sirene empat kali lipat. Mereka memarkir mobil dalam posisi mengepung. Dua polisi bertanya-tanya pada pasangan itu. Polisi lainnya menunggu di depan mobil masing-masing. Lima menit kemudian, empat mobil meninggalkan tempat, dan dua orang polisi yang masih bicara dengan pasangan itu. Menengahi kasus domestic violence.

Aku menduga-duga. Kalau bukan pejalan kaki yang menghubungi polisi, mungkin orang lain. Yang punya jendela seperti kupunya.

Thursday, July 22, 2004

Kepribadian Lain

Sepotong pembicaraan yang terdengar tak sengaja kala menunggu kereta cepat.


"...Tante saya merawat orang seperti ini. Menit sekian ia di rumah. Sejam kemudian tertidur di pinggir jalan raya. Tapi ia tak pernah tahu bagaimana ia sampai ke sana. Orang ini mengidap kepribadian ganda. Kamu pernah dengar? Tante saya cerita..."

Aku pernah tahu. Sedikit. Dari buku Sybil Isabel Dorsett, gadis berkepribadian enambelas. Masa kanaknya lewat bersama kekejaman bibinya. Kekejaman seksual terutama. Akibatnya ia punya kepribadian lain tempatnya bersembunyi, dan menjadi orang lain. Sosok di mana ia sempat bahagia.
Dalam film yang aku lupa judulnya. Seseorang dituduh membunuh. Pengacaranya membela, alter-personality tertuduh yang berbuat. Tertuduh sendiri tak tahu apa-apa. Penuntut menampilkan saksi yang membuktikan penyakit ini mengada-ada. Tertuduh dibebaskan dua belas juri yang menganggapnya sakit jiwa.
Judy Castelli, artis seni rupa yang tinggal di New York. Karya-karya indahnya ada karena alter-egonya. Lukisannya menggambarkan orang-orang yang tak berwajah.
Aku masih ingat film dan buku Dr. Jekyll and Mr. Hyde. Sepotong ego dan alter ego dalam satu tubuh. Kebaikan dan kekejaman dalam bentuk yang paling ekstrim. Sisi paling gelap manusia muncul kalau diberi kesempatan. A story about an entity-the one who dwells inside most of us, externally conforming to culture, yet internally lusting for liberty.
Dalam manusia ada sebentuk 'mekanisme pertahanan' untuk menjaga kewarasan, kata Freud. Walau bisa menimbulkan bentuk kekejaman baru yang berantai.

Tiba-tiba aku bergidik. Siang yang terik membangunkan lamun. Artinya masa kecilku cukup bahagia. Aku merasa puas sekali. Tak ingin jadi orang lain.

Monday, July 19, 2004

Baltimore Artscape

Selama tiga hari, di kota ini ada acara yang disebut Artscape. Mengingatkanku pada acara sejenis di Bandung: Pasar Seni ITB.


Ramainya sama. Berjalan saling senggol dan harus 'usaha' untuk masuk ke dalam kios. Cuma di sini kurang bau e-ek kuda :P
Kiosnya sama. Berjajar sepanjang jalan sekitar kampus University of Baltimore, Maryland Institute College of Art, dan Mount Royal Cultural Area. Kalau di ITB kiosnya dari bambu, di sini pakai terpal putih.
Isi kiosnya sama. Paling banyak lukisan, lalu ada keramik, perhiasan etnik, pernak-pernik, sekolah/kursus seni, lembaga/yayasan seni, sampai makanan dan mainan anak-anak. Bedanya di sini kiosnya lebih banyak (paling sedikit sepertiganya untuk kios makanan...), tapi di Pasar Seni ITB jauh lebih beragam barang seninya (dari seluruh Indonesia!).
Yang jaga kios sama. Mas-masnya ganteng dan mbaknya manis-manis. Bedanya, di sini mereka boleh memperlihatkan pusar yang ditindik.
Aksi panggungnya sama. Ada musik, teater, band, DJ, etnik, tari. Bedanya, sound system di sini sudah setara konser besar... nggak pakai nguik-nguik atau 'nyetem' alat lama-lama.
Acara sampingannya sama. Buat tempat ngeceng anak muda, dandan nyentrik dan sok 'nyeni'. Bedanya, di sana masih malu-malu. Di sini kadang nggak tahu malu.
Di Pasar Seni ada Happening Art-nya, di sini nggak ada. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin happening-artnya adalah orang-orang yang street-dancing, atau main saxophone sendirian. Ah, tapi masih asik di ITB suasananya. Lebih 'nyeni'.

Kesimpulannya:
Meminjam istilahnya Iyus, di sini lebih cocok disebut Not-So-Art Scape. Aku setuju, kalau soal seni/budaya masih asik dari Indonesia...
Lagipula, masa' Artscape malah banyak kios makanannya?! (Anyway, orang sini menyebutnya Culinary-Art. Idem doyan makan kali, ya...)
Walau harga barangnya memang lebih murah dari harga toko, tapi untuk kualitas yang lebih bagus, bisa diperoleh lebih murah di Pasar Seni. (Tentu saja, ya susahlah bandingin dolar sama rupiah...)
Di sini Walikotanya (O'Malley) ternyata anak band juga, nyanyi dan main gitar pakai kaus buntung (sayang aku nggak sempat lihat). Kalau di Bandung, biar panas walikotanya tetap aja pakai safari.

Walau akhirnya setelah dipikir-pikir Artscape di sini masih jauh kalau dibandingkan dengan Pasar Seni ITB, aku cukup senang kota Baltimore yang adem-ayem ini mendadak jadi 'Hip' selama tiga hari. Apalagi di sore hari Minggu aku sempat menikmati konsernya grup Arrested Development selama sejam lebih. Dengan lagu-lagu yang familiar dari albumnya Extended Revolution. Kali ini aku ikut bergoyang juga, seperti di Pasar Seni yang dulu itu... "I need sometime to ease my mind... I need sometime to ease my mind..."

Friday, July 16, 2004

Kebetulan?

Aku panik. Tadi pagi selagi iseng-iseng coba template baru. Menatap layar blog dengan banner berisi ads yang di luar alam pikirku. Wah, gimana nih... Aku panik. Gimana kalau kebaca orang? (Ya pastilah kebaca...) Walau aku sendiri jarang peduli sama ads dan pop ups yang bertebaran di website. Gimana nih ngilanginnya? Hampir nekat telepon seorang teman yang udah lama di dunia blog. Tapi, di Jakarta kan lagi tengah malam...

Pasrah, aku buka email. Mencoba bertanya lewat email saja, walau butuh waktu untuk menunggu jawabnya. Tiba di Inbox.... Tadaaaa.... Sudah ada email yang menunggu. Sebuah jawaban yang ada tanpa harus ditanya. Lugas dan menyelesaikan masalah. Ake terhenyak. Kebetulan sekali ya? Aku kehilangan kata. Terima kasihku hanya bisa kusampaikan lewat email. Dan lewat percikan ini. Thanks buat Neenoy. Karena alir airnya, percikanku ada.

Garis Wajah


Kemarin mengantar Damian ke playgroup. Hari ini tidak banyak yang datang. Hari Kamis ini disebut koordinator playgroupnya: The-International-Day-of-The-Week. Karena dibanding hari-hari lain, 90% peserta (anak+ibunya) berasal dari luar US. Ibu muda dari Argentina dengan anak perempuannya yang manis. Ibu sederhana dari Equador dengan anaknya yang bernama "bunga". Ibu yang hamil anak kedua dari Australia. Anak kecil berbahasa Prancis bersama ibu yang masih patah-patah bahasa Inggrisnya. Seorang ibu dari Inggris yang membiarkan bayi kecilnya merangkak di rumput. Baby-sitter dari South Africa yang sedang menyelesaikan kuliah. Dua orang ibu yang asyik mengobrol dalam bahasa Spanish, anak-anaknya lari kejar-kejaran. Ditambah tiga orang asli US. Dan aku tentu saja, bersama seorang teman dari tanah air.

Aku sudah bertukar sapa dengan mereka, sekian minggu berjalan. Aku tertarik dengan berbagai latar belakang bangsa. Tapi lama-lama aku terdiam. Dari mana saja, semua ibu adalah sama. Pasti yang jadi bahan omongan adalah anaknya. Umur sekian bisa demikian. Cerita tingkah laku anaknya saat liburan. Ikut sekolah ini atau kegiatan itu. Ibu-ibu ini,seperti apakah aslinya mereka? Apa sih hobi/kesenangan mereka? Bagaimana budaya mereka, membesarkan anak di negara lain? Buku apa yang mereka baca? Aku bertanya, tapi entah kenapa jawabannya kembali berbelok. Memang di sini hampir semua ibu mengurus sendiri anaknya. Mungkin hingga mereka tak bisa menikmati kesibukan lain. Atau membicarakan topik lain. Pribadinya seperti lilin yang meleleh untuk nyala pribadi anaknya. Aku sendiri, kadang-kadang ingin membicarakan hal-hal lain di luar anak dan keluarga dan rumah. Atau aku yang salah?

Mungkin bukan tempat dan saat yang tepat. It's a playgroup anyway. Tapi aku jadi bertanya-tanya. Di skala kecil multibangsa ini, wajah-wajah wanita menampakkan garis yang sama.

Monday, July 12, 2004

Ayut

Aku memanggilnya Mbah. Damian memanggilnya Ayut, kependekan dari Eyang/Mbah Buyut.



Usianya sudah melebihi delapan puluh, tak ada yang tahu persis kapan ia lahir (sekitar tahun 1920-an), iapun tak pernah memberi angka pasti kalau ditanya. Sosoknya termasuk tinggi untuk ukuran jamannya. Tubuhnya cenderung kurus, wajahnya dipenuhi keriput yang bercerita kala ia tak bicara. Langkahnya anggun dengan pandangan lurus ke depan, berbalut kain jarik dan kebaya jahitan sendiri. Kala muda ia memang termasuk penjahit laris, bahkan dipesan beberapa artis. Suaminya meninggal dalam perang, kala ibuku sekian bulan di kandungannya. Sejak itu ia menghidupi tiga anaknya, mandiri. Sembahyang dan puasanya tak pernah alpa, walau anak-cucunya menganut keyakinan berbeda.

Sekian tahun ia tinggal bersama keluarga kami, seringkali aku ke kamarnya minta diceritakan masa mudanya dulu. Banyak ceritanya yang menarik, seringkali membuatku terharu. Semuanya membuatku berkesimpulan ia adalah wanita yang mandiri dan berani. Ia pernah mengambil singkong tetangga untuk anak yang dititip padanya karena saat perang susah mendapat makanan, waktu itu tengah malam. Rumahnya pernah kebakaran dan tak ada yang tersisa, terpaksa ia makan berpiring daun jati menyuapi anaknya yang masih kecil-kecil. Ia memilih tinggal di kota suaminya bertugas, tidak bersama keluarganya, bahkan setelah suaminya meninggal. Ia pernah diganggu Belanda tetapi berhasil diusirnya. Tapi itu semua masa lalu, dan saat ia bercerita, tuturnya selalu dipenuhi tawa. Ia mudah akrab dengan orang lain, bahkan dulu pacarku, mbak dan adikku,merasa lebih akrab dengannya dibanding dengan ibu-bapak yang masih mengawasi dan jaga wibawa :) Sampai sekarang setiap pagi ia masih baca koran dan majalah di kursi goyang, terkadang diantar naik kereta mengunjungi anak-cucu-cicitnya di Semarang, ikut menjenguk saudara di rumah sakit, dan menyumbang orang yang kesusahan.

Semalam aku menelepon Mbahku. Suaranya masih ceria, penuh kangen. Terutama menanyakan Damian. Ia bercerita semalam bermimpi menggendong Damian sampai bangunnya kesiangan. Aku tertawa karena dulu saat Damian sembilan bulan dan banyak tingkah, Mbah bahkan sudah tak kuat memangku anakku yang berat. Tapi ia selalu ingin memangku Damian, walau sebentar. Dalam diriku terselip sedih, karena saat kami berangkat Damian masih berumur satu tahun, dan sekarang tidak ingat waja Ayut-nya.

Saturday, July 10, 2004

Rendezvous

Don't judge a book by its cover.


Namanya Rendezvous. Letaknya di tengah kota. Di antara gedung perkantoran, hotel, dan restoran. Ia mengisi lantai pertama, dengan etalase kaca berisi tebaran buku-buku di bagian muka. Sederhana, cenderung kusam malah. Saat aku memasukinya, bertambah kusamlah ia, berbau apak buku dan berselimut debu. Dinding kiri pintu masuk dipenuhi rak yang tingginya hampir mencapai langit-langit, mempersempit jalan masuk yang hanya selebar dua daun pintu. Tapi kemudian ruangnya melebar menjadi segi empat, paling sedikit seluas seratus meter persegi. Ditambah ruang lain di belakang yang khusus memuat buku fiksi. Seluruh dindingnya dipenuhi rak, berisi buku. Dua sisi dindingnya disekat-sekat rak membentuk ruang kecil 1x1 m. Di tengah ruang masih ada lemari-lemari pendek, dan kolom yang dijadikan tempat pajang. Terlihat sesak, seakan isi perut yang siap memuntahkan buku. Di sisi kanan menghadap etalase, ada semacam ruang duduk kecil, berisi sofa merah dan kursi berbingkai kayu. Semuanya kusam seperti tahunan tak dibersihkan, akupun enggan duduk di atasnya. Bukan hanya karena kotornya, tapi kalau sudah duduk di sana dengan sejilid buku, tampaknya bakal lupa waktu. Seperti mesin ajaib yang menghentikan waktu.

Namanya Rendezvous. Ia menyendiri di tengah pikuk gedung dan jalan raya. Hanya seorang ibu setengah baya yang menjaga toko buku ini (setiap kali aku ke sana). Seorang ibu yang membuka tokonya tanpa terburu, kadang terlambat karena terhalang parade di tengah jalan. (Ia tinggal 45 menit dari downtown). Dan ia selalu tersenyum ceria di antara gunungan buku di sekitarnya. Tidak seperti sales yang menjaga dengan tegang, aku seperti ada di rumahnya saja. Ia bahkan tak menyediakan kantong khusus tempat buku yang dibeli, tapi aku selalu lupa membawa sendiri. Di toko buku bekas yang antik ini aku menemukan buku-buku yang menarik, baik sengaja dicari atau tidak. Dari novel klasik macam Monte Cristo atau Anna Karenina, sampai bukunya Umberto Eco, JK Rawling dan JRR Tolkien. Dan berbagai topik lainnya, seperti halnya toko buku lain. Sekali waktu, aku menemukan buku tetraloginya Pramoedya A. Toer, edisi terjemahan bahasa Inggris. Langsung aku ambil, mengingat bukunya yang kupunya masih berujud fotokopi karena dulu masih dilarang edar. Yang pasti, harganya jauuuuhhhh lebih murah dari toko buku lainnya, ditambah lagi diskon 50% di hari Sabtu. Faktor harga ini yang sebenarnya bikin toko ini semakin menarik, selain untuk datang ke sana aku cukup bercelana pendek dan bersandal jepit. Tak harus pura-pura, tak harus menarik. Apa adanya, karena tujuannya cuma satu. Rendezvous dengan buku favorit.

Thursday, July 08, 2004

22 Bulan

Kemarin, 7 Juli, Damian genap berusia 22 bulan.


Kemarin, ia sudah bisa berhitung -atau menyusun- dengan benar,
angka satu sampai enam:
wan, cu, ci, po, pai, cis... Howeee...
[sambil tepuk tangan, memuji diri sendiri]
Horeee...

Sunday, July 04, 2004

Kontemporer

Beauty is in the eye of the beholder.


Suatu hari di senja yang mendung lelaki ini mengambil sepotong pisang dan dikupasnya perlahan. Sambil makan dalam diam, ia berpikir mencari ide untuk menghasilkan karya berikutnya. Ia seorang artis angkatan sekarang. Ia habis akal, dihabiskannya pisang, hampir dibuangnya kulit pisang itu, tapi tak jadi. Karena saat itu ia berpikir,"I'm sick of throwing things in my life..." dan otaknya kembali bergairah. Ia menemukan idenya.

Diambilnya kulit pisang itu hati-hati, diletakkannya di atas meja. Bergegas diambilnya segulung benang dan sebatang jarum. Lalu, kulit pisang yang terbelah tiga, dijahitnya dengan teliti, disambung kembali serapi mungkin. Hingga kulit pisang itu tertutup, hampir seperti semula, hanya tanpa isi. Dibiarkannya sisa benang dengan jarum menjuntai diujung jahitan kulit pisang itu. Ia tersenyum, puas. Diambilnya dua buah jeruk, buah mangga, dan buah pisang lagi. Dikupasnya kulit buah-buah itu hati-hati, supaya kulitnya terpotong alami tapi masih mungkin disambung kembali, dengan jahitan tangan. Ia makan isi buah-buah itu, karena memang harus dimakan, tak boleh meleset dari konsepnya. Dan diulangi lagi proses sebelumnya, dengan bantuan empat jarum dan segulung benang putih.

Aku tidak ingat namanya, aku hanya ingat ide dan karyanya. Di atas rak putih sewarna dinding. Dengan papan peringatan supaya tidak disentuh. Lima onggok kulit buah yang kehitaman [karena sudah sekian lama], dengan jahitan benang putih yang menutup kembali kulit buah tanpa isi. Di bagian sayap Contemporary Art, Baltimore Museum of Art. Bersama karya-karya Piccasso, Matisse di sayap moderen, Rembrandt dan Van Dyck di sayap klasik, dan lain-lain yang kalau dilihat satu-satu nggak bakal habis dalam satu hari. Apa yang terjadi kalau kulit-kulit buah itu membusuk? Kalau dibuang, memang kontemporer sekali seninya...

Aku menyukai seni moderen, menghargai seni klasik dan menikmati seni tradisional. Sama sekali bukan sebagai orang yang ahli, karena aku memang orang biasa saja. Tapi aku belum pernah menyukai seni kontemporer, seperti karya seorang lelaki di atas. Karena seni kontemporer menekankan ide, dan hasil visualnya, maaf, aku tidak bisa menikmati. Sebentuk karya yang 'harus diberi keterangan' untuk bisa dimengerti. Mungkin otakku yang nggak 'sampe', kuno, nggak progresif, tapi seni kontemporer memang sampai sekarang masih jadi pergunjingan: termasuk seni atau bukan. Sama halnya aku masih tidak bisa menikmati arsitektur dekonstruksi, yang awalnya adalah ide/filsafatnya Derrida terus dipinjam buat jadi konsep bangunan.
Atas nama kontemporer.

Friday, July 02, 2004

A Kid in Me

Sudah tentu kami sering menghabiskan waktu bersama.
Aku dan Damian.


Kami ke playground. Aku dan Damian.
Damian ke bak pasir. Menuang, menumpahkan, mengayak, sesekali melempar pasir. Aku membuat istana pasir.
Damian naik ayunan. Aku dorong, ia tertawa kegirangan. Di sebelahnya seorang anak usia lima turun. Kunaiki ayunannya. Aku tersenyum karena malu untuk tertawa.
Damian ke pojok mengambil bola basket. Dilemparnya bola, tapi hanya bergulir karena berat. Aku gulirkan lagi bola ke arahnya. Sampai mendekati papan gawang. Kudribble dan kumasukkan bolanya ke keranjang. Gol...
Damian naik perosotan. Kali ini aku di bawah saja.

Kami ke playgroup. Aku dan Damian.
Damian ke meja puzzle. Ia sudah bisa menyelesaikan puzzle yang mudah. Ia pindah ke meja dengan puzzle yang besar dan agak rumit. Menyerah, bosan, ditinggalkannya meja. Kuselesaikan puzzlenya.
Damian ke meja prakarya. Ia senang mengoles kuas lem pada kartu kosong, tapi enggan disuruh menempel hiasannya. Ia bermain lem sampai puas. Kutempeli kartu dan kuhias. "Wah, Damian pintar sudah bikin kartu! Ini nanti kasih Papa, ya..."
Damian mengambil buku di pojok membaca. Diulurkannya buku ke arahku minta dibacakan. Aku bacakan dan kutunjukkan gambar untuknya. Ceritanya menarik, tapi ia sudah bosan. Ia lari ke arah mobil-mobilan. Kuteruskan membaca bukunya karena penasaran.
Damian naik perosotan. Kali ini aku di bawah saja.