Aku memanggilnya Mbah. Damian memanggilnya Ayut, kependekan dari Eyang/Mbah Buyut.
Usianya sudah melebihi delapan puluh, tak ada yang tahu persis kapan ia lahir (sekitar tahun 1920-an), iapun tak pernah memberi angka pasti kalau ditanya. Sosoknya termasuk tinggi untuk ukuran jamannya. Tubuhnya cenderung kurus, wajahnya dipenuhi keriput yang bercerita kala ia tak bicara. Langkahnya anggun dengan pandangan lurus ke depan, berbalut kain jarik dan kebaya jahitan sendiri. Kala muda ia memang termasuk penjahit laris, bahkan dipesan beberapa artis. Suaminya meninggal dalam perang, kala ibuku sekian bulan di kandungannya. Sejak itu ia menghidupi tiga anaknya, mandiri. Sembahyang dan puasanya tak pernah alpa, walau anak-cucunya menganut keyakinan berbeda.
Sekian tahun ia tinggal bersama keluarga kami, seringkali aku ke kamarnya minta diceritakan masa mudanya dulu. Banyak ceritanya yang menarik, seringkali membuatku terharu. Semuanya membuatku berkesimpulan ia adalah wanita yang mandiri dan berani. Ia pernah mengambil singkong tetangga untuk anak yang dititip padanya karena saat perang susah mendapat makanan, waktu itu tengah malam. Rumahnya pernah kebakaran dan tak ada yang tersisa, terpaksa ia makan berpiring daun jati menyuapi anaknya yang masih kecil-kecil. Ia memilih tinggal di kota suaminya bertugas, tidak bersama keluarganya, bahkan setelah suaminya meninggal. Ia pernah diganggu Belanda tetapi berhasil diusirnya. Tapi itu semua masa lalu, dan saat ia bercerita, tuturnya selalu dipenuhi tawa. Ia mudah akrab dengan orang lain, bahkan dulu pacarku, mbak dan adikku,merasa lebih akrab dengannya dibanding dengan ibu-bapak yang masih mengawasi dan jaga wibawa :) Sampai sekarang setiap pagi ia masih baca koran dan majalah di kursi goyang, terkadang diantar naik kereta mengunjungi anak-cucu-cicitnya di Semarang, ikut menjenguk saudara di rumah sakit, dan menyumbang orang yang kesusahan.
Semalam aku menelepon Mbahku. Suaranya masih ceria, penuh kangen. Terutama menanyakan Damian. Ia bercerita semalam bermimpi menggendong Damian sampai bangunnya kesiangan. Aku tertawa karena dulu saat Damian sembilan bulan dan banyak tingkah, Mbah bahkan sudah tak kuat memangku anakku yang berat. Tapi ia selalu ingin memangku Damian, walau sebentar. Dalam diriku terselip sedih, karena saat kami berangkat Damian masih berumur satu tahun, dan sekarang tidak ingat waja Ayut-nya.
5 drops:
kayknya pernah denger nih cerita mbah di jaman jepang :-)... kalo gak salah...
Hi mba' DY pa kabar?...Gimana Baltimore? lagi summer ya?...salam kenal balik & salam buat keluarga di Baltimore :)
HI.... returning the favor here ^_^
How I wish, that someday, like you, I can
say of myself: a blessed mother, a peacefully happy wife, with nothing better to wish for.
Tetap bahagia ya :) Best regards and visit me again.
Wah, tambahan nih:
baru liat2 previous posts, mbak dari bandung yah?? waaaah it's a small world ;) saya juga.... sekarang di california
Noy, masih inget aja... ini versi pendeknya.
Siwoer, thanks udah mampir.
Rlynn, aku dulu kuliah di Bandung. It really is a small world.
Mari mampir lagi...
Post a Comment