Saturday, July 10, 2004

Rendezvous

Don't judge a book by its cover.


Namanya Rendezvous. Letaknya di tengah kota. Di antara gedung perkantoran, hotel, dan restoran. Ia mengisi lantai pertama, dengan etalase kaca berisi tebaran buku-buku di bagian muka. Sederhana, cenderung kusam malah. Saat aku memasukinya, bertambah kusamlah ia, berbau apak buku dan berselimut debu. Dinding kiri pintu masuk dipenuhi rak yang tingginya hampir mencapai langit-langit, mempersempit jalan masuk yang hanya selebar dua daun pintu. Tapi kemudian ruangnya melebar menjadi segi empat, paling sedikit seluas seratus meter persegi. Ditambah ruang lain di belakang yang khusus memuat buku fiksi. Seluruh dindingnya dipenuhi rak, berisi buku. Dua sisi dindingnya disekat-sekat rak membentuk ruang kecil 1x1 m. Di tengah ruang masih ada lemari-lemari pendek, dan kolom yang dijadikan tempat pajang. Terlihat sesak, seakan isi perut yang siap memuntahkan buku. Di sisi kanan menghadap etalase, ada semacam ruang duduk kecil, berisi sofa merah dan kursi berbingkai kayu. Semuanya kusam seperti tahunan tak dibersihkan, akupun enggan duduk di atasnya. Bukan hanya karena kotornya, tapi kalau sudah duduk di sana dengan sejilid buku, tampaknya bakal lupa waktu. Seperti mesin ajaib yang menghentikan waktu.

Namanya Rendezvous. Ia menyendiri di tengah pikuk gedung dan jalan raya. Hanya seorang ibu setengah baya yang menjaga toko buku ini (setiap kali aku ke sana). Seorang ibu yang membuka tokonya tanpa terburu, kadang terlambat karena terhalang parade di tengah jalan. (Ia tinggal 45 menit dari downtown). Dan ia selalu tersenyum ceria di antara gunungan buku di sekitarnya. Tidak seperti sales yang menjaga dengan tegang, aku seperti ada di rumahnya saja. Ia bahkan tak menyediakan kantong khusus tempat buku yang dibeli, tapi aku selalu lupa membawa sendiri. Di toko buku bekas yang antik ini aku menemukan buku-buku yang menarik, baik sengaja dicari atau tidak. Dari novel klasik macam Monte Cristo atau Anna Karenina, sampai bukunya Umberto Eco, JK Rawling dan JRR Tolkien. Dan berbagai topik lainnya, seperti halnya toko buku lain. Sekali waktu, aku menemukan buku tetraloginya Pramoedya A. Toer, edisi terjemahan bahasa Inggris. Langsung aku ambil, mengingat bukunya yang kupunya masih berujud fotokopi karena dulu masih dilarang edar. Yang pasti, harganya jauuuuhhhh lebih murah dari toko buku lainnya, ditambah lagi diskon 50% di hari Sabtu. Faktor harga ini yang sebenarnya bikin toko ini semakin menarik, selain untuk datang ke sana aku cukup bercelana pendek dan bersandal jepit. Tak harus pura-pura, tak harus menarik. Apa adanya, karena tujuannya cuma satu. Rendezvous dengan buku favorit.

5 drops:

neenoy said...

wah asik nih... kecuali debunya :p

dy said...

alerginya nggak asik ya...

Anonymous said...

i really enjoy reading your blog

Anonymous said...

very interesting. kinda makes you think

Anonymous said...

Very nice site! »