Sunday, July 04, 2004

Kontemporer

Beauty is in the eye of the beholder.


Suatu hari di senja yang mendung lelaki ini mengambil sepotong pisang dan dikupasnya perlahan. Sambil makan dalam diam, ia berpikir mencari ide untuk menghasilkan karya berikutnya. Ia seorang artis angkatan sekarang. Ia habis akal, dihabiskannya pisang, hampir dibuangnya kulit pisang itu, tapi tak jadi. Karena saat itu ia berpikir,"I'm sick of throwing things in my life..." dan otaknya kembali bergairah. Ia menemukan idenya.

Diambilnya kulit pisang itu hati-hati, diletakkannya di atas meja. Bergegas diambilnya segulung benang dan sebatang jarum. Lalu, kulit pisang yang terbelah tiga, dijahitnya dengan teliti, disambung kembali serapi mungkin. Hingga kulit pisang itu tertutup, hampir seperti semula, hanya tanpa isi. Dibiarkannya sisa benang dengan jarum menjuntai diujung jahitan kulit pisang itu. Ia tersenyum, puas. Diambilnya dua buah jeruk, buah mangga, dan buah pisang lagi. Dikupasnya kulit buah-buah itu hati-hati, supaya kulitnya terpotong alami tapi masih mungkin disambung kembali, dengan jahitan tangan. Ia makan isi buah-buah itu, karena memang harus dimakan, tak boleh meleset dari konsepnya. Dan diulangi lagi proses sebelumnya, dengan bantuan empat jarum dan segulung benang putih.

Aku tidak ingat namanya, aku hanya ingat ide dan karyanya. Di atas rak putih sewarna dinding. Dengan papan peringatan supaya tidak disentuh. Lima onggok kulit buah yang kehitaman [karena sudah sekian lama], dengan jahitan benang putih yang menutup kembali kulit buah tanpa isi. Di bagian sayap Contemporary Art, Baltimore Museum of Art. Bersama karya-karya Piccasso, Matisse di sayap moderen, Rembrandt dan Van Dyck di sayap klasik, dan lain-lain yang kalau dilihat satu-satu nggak bakal habis dalam satu hari. Apa yang terjadi kalau kulit-kulit buah itu membusuk? Kalau dibuang, memang kontemporer sekali seninya...

Aku menyukai seni moderen, menghargai seni klasik dan menikmati seni tradisional. Sama sekali bukan sebagai orang yang ahli, karena aku memang orang biasa saja. Tapi aku belum pernah menyukai seni kontemporer, seperti karya seorang lelaki di atas. Karena seni kontemporer menekankan ide, dan hasil visualnya, maaf, aku tidak bisa menikmati. Sebentuk karya yang 'harus diberi keterangan' untuk bisa dimengerti. Mungkin otakku yang nggak 'sampe', kuno, nggak progresif, tapi seni kontemporer memang sampai sekarang masih jadi pergunjingan: termasuk seni atau bukan. Sama halnya aku masih tidak bisa menikmati arsitektur dekonstruksi, yang awalnya adalah ide/filsafatnya Derrida terus dipinjam buat jadi konsep bangunan.
Atas nama kontemporer.

0 drops: