Tuesday, August 31, 2004

Membaca Ursula Hegi


Sejilid buku bekas yang kubeli di depan gereja kala menelusuri trotoar menuju pulang. Tak sengaja memang, tetapi deretan buku satu dolaran selalu menarik perhatian. Walau sudah lewat publikasi sekian tahun, menurutku tak ada buku yang basi (well, kecuali buku program komputer kali ya...). Dan nama Ursula Hegi sesayup muncul di ingatan, membuatku merogoh kantong celana dan membawanya pulang bersama beberapa jilid ringan lainnya. Membacanya pun tanpa beban. Bisa sambil tiduran, sambil nonton teve tersela iklan, sambil menunggui Damian makan. Karena isinya kumpulan cerita. Satu cerita pun bisa selesai satu kali mengisi waktu di toilet. Judulnya Unearned Pleasures (and other stories).

Lalu, apanya yang menarik?
Gaya berceritanya, karena pengarang mampu mengurai tokoh lewat alam pikirnya. Kesimpulanku, Ursula Hegi is 'a mind diver'. Dan setelah kutelusuri ternyata 'Hegi works much like a method actor, immersing herself in her characters, living and breathing within them'. Dia bilang,"I write fiction as if I were writing poetry."
Isi ceritanya, nggak muluk-muluk. Soal cinta, kematian, masa lalu, anak, rumah tangga, etc. Tapi dari cerita yang nggak muluk itu ada seribu satu pikiran di belakangnya. Pikiran yang bisa mampir di otak kita, atau orang yang kita kenal, tanpa prejudice.
Endingnya. Tak ada yang benar-benar selesai. Dan ini membangunkan sadar. Hidup ini seperti serpihan fragmen. Sometimes you want to stop the pain but you just have to live with it. Sometimes you want to stay with happiness at this moment but you just have to move on. Nggak ada yang benar-benar selesai, selama kita hidup dan berpikir. Sesaat kita di rumah, kemudian di tempat kerja, kemudian bertemu seseorang, kemudian mengirim sms, kemudian seorang bayi lahir, kemudian makan di restoran, kemudian....

Tuesday, August 24, 2004

Spark of Stones: New Project


Beadazzled. This shop at the corner of the street, opposite of my apartment, just had an appeal and started to call me. I went through the entry door and dazzled by the sights. Beads are everywhere. Hanging on the walls [no empty walls at all!], in the baskets, in the bowls, in the showcase, just everywhere I turn my head. Beads of Stones, Glass, Crystals, Woods, Acrylics, Silver, Gold, Bones… did I leave anything out? And in such beautiful colors….in all shades and gradations, simply as rainbows.

That’s how I started to create jewelry, well… necklaces for most. I borrow books from EPFL library to learn from scratch, and further on the designs. Right now I mostly use semi-precious stones which are familiar here [e.g. Amethyst, Garnet, Crystal Quartz, Sodalite], combined with any other beads to match. And when I made enough, I started to think of selling it. I know I have to touch up more on the pictures, but you never start if you think too much, right? The first time my necklace sold on eBay with my hubby’s help, I jumped up and down, followed with my beloved Damian who had no idea why I acted that way. He just knew I was happy :). Well, this is one of my hobbies I just like to do in my spare time, and when it turns out hanging on someone else’s collar, it just feels….gooood….

Please click here: Spark of Stones [or link at the sidebar] to see my other designs. Write to me if you’re interested!

Wednesday, August 18, 2004

Deklarasi

Kemarin Hari Kemerdekaan RI. Aku sama sekali tidak ingat. Karena tidak ada Merah-Putih yang berkibar seminggu sebelumnya. Karena tidak ada edaran minta sumbangan dari kelurahan. Karena tidak ada upacara bendera di tivi dari pagi hingga petang. Karena aku tidak menunggu-nunggu acara karnaval sepeda yang bisa diikuti Damian. Karena bazaar tujuhbelasan Kedutaan Indonesia di DC sudah lewat empatbelas hari. Karena aku tak sengaja mengingat-ingat.

Sampai aku mampir di sebuah blog yang membahas bahwa di hari kemerdekaan ini, bangsa Indonesia sebenarnya belum merdeka. Sampai percakapan di telepon dengan Ibu yang masih ikut lomba gerak jalan di kantornya. Sampai seorang kawan melahirkan anaknya yang Mahardhika. Sebuah kelahiran yang mengingatkan pengalaman sendiri. Dan hadirnya seorang bayi.

Lahirnya manusia bayi adalah seperti deklarasi. Ia menjerit lengkingan bahwa ia ada. Ia meronta di pikuknya dunia di luar rahim bunda. Ia menangisi ecapan air susu. Dari sederet garis tahun manusia, bayi-lah yang sebenarnya paling merdeka. Ia utuh dan bebas. Dari dogma dan perintah. Dari materi dan iri. Dari berbagai hal yang mampir di hidupnya sekian hari, sekian bulan kemudian. Ia hanya punya emosi, dan keajaiban yang mendesakkan bahagia di hati. Kerelaan hilangnya bebas untuk sebuah merdeka baru yang penuh harap. Penuh puja dan cinta. Penuh lembaran tergores doa orang tua. Hingga ia mencari kemerdekaannya sendiri. Kelak.


IF A CHILD....

If a child lives with criticism,
he learns to condemn.
If a child lives with hostility,
he learns to fight.
If a child lives with ridicule,
he learns to be shy.
If a child lives with shame,
he learns to feel guilty.
If a child lives with tolerance,
he learns to be patient.
If a child lives with encouragement,
he learns confidence.
If a child lives with praise,
he learns to appreciate.
If a child lives with fairness,
he learns justice.
If a child lives with security,
he learns to have faith.
If a child lives with approval,
he learns to like himself.
If a child lives with acceptance and friendship,
He learns to find love in the world.
[author unknown]

Selamat untuk kawan kami Ndew dan Gunar, semoga kelahiran sang putra melengkapi kebahagiaan keluarga.

Friday, August 13, 2004

Last Comic Standing

Malam ini aku kecewa. Comic gacoanku, Alonzo Bodden, tidak menang. Ia dikalahkan John Heffron, lelaki kulit putih yang bisa dibilang cute.



Kenapa Alonzo kalah? Aku agak susah mencari jawab, karena menurutku ia punya materi yang cerdas, dan berani, dan tentu saja bisa membuatku terbahak. Paling tidak jika dibandingkan dengan John yang materinya cenderung aman dan sehari-hari. Alonzo melucu masalah black & white people, wanita, sex, rasialisme Amerika, dan terselip sedikit politik. Hal-hal yang tidak lucu sebenarnya, tapi dalam tuturannya bisa mengundang tawa. Buat sebagian orang yang sensitif malah mengundang senyum sinis. Makanya saat ada yang bilang joke-nya jahat (mean), Alonzo berdalih; joke hanya ada dua jenis: lucu dan nggak lucu. Nggak ada joke yang jahat. Tapi aku bisa mengerti, ia termasuk jenis orang yang kurang disukai white people dan mungkin dibenci black people. Karena ia bicara apa adanya, bisa mentertawakan diri sendiri, walau di lain pihak bisa bikin banyak orang sakit hati.

Lalu, kenapa John menang? Aku agak susah mencari jawab, karena secara materi ia kurang berani, walau bisa membuat orang banyak tertawa. Tuturannya membawa masalah sehari-hari, tua-muda, hubungan suami-istri. Tetapi... ia pandai menyusun strategi. Ia punya 'koneksi' dengan penonton saat bercerita, enerjik, berkarisma, konyol, dan 'gaya'. Makanya banyak yang jatuh hati padanya. Lagipula, ia putih dan enak dilihat. Bandingkan dengan Alonzo yang hitam, besar, dan bertampang 'penjahat' (Ingat sekali waktu ia pakai kaos bertulis 'ex-prisoner'? Cocok kan?). Masalah satu ini kalau sudah di layar TV memang mustahil di-make over. Coba kalau para comic ini ngoceh di radio... aku tidak yakin hasilnya bisa sama.

Anyway... memang lebih mudah mentertawakan orang lain dibanding mentertawakan diri sendiri. Hasil malam ini sudah jadi bukti pilihan Amerika. Dan sebenarnya sudah bisa ditebak. Kupikir-pikir, seringkali orang yang 'lebih berhasil' (relatively) adalah orang yang bisa merengkuh banyak orang dan koneksi, sedikit hipokrit dan cari aman, enak dilihat dan ikut mayoritas. Sedangkan orang yang berani bicara apa adanya, tidak ikut arus, mementingkan 'isi' daripada penampilan seringkali tergeser. Contohnya di hidup sehari-hari, di tempat kerja, di pemerintahan, di mana-mana, dan di Last Comic Standing. Ah, aku masih kecewa.

Alonzo: "I love black women, but I like white women too. That's why I can't hate white men. 'Cause we need them for breeding."

John: "I'm officially at the age where I see that commercial for that Craftmatic Adjustable Bed and go, 'Sweet! Are you kidding me? You mean I can sleep in the shape of a U?"

Tuesday, August 10, 2004

Neighborhood

Aku suka tinggal di downtown, di tengah kota. Dibandingkan dengan tinggal di pinggir kota, suburb, county. Karena begitu kubuka pintu keluar apartemen, banyak yang bisa kulihat. Langsung mengayun langkah sepanjang trotoar, bisa spontan memasuki toko, museum, taman, atau tempat-tempat yang menarik perhatian. Aku selalu lupa menggambarkan suasana dan lingkungan tempatku tinggal buat keluarga nun jauh. Mungkin karena terbiasa, sudah jadi bagian hidup sehari-hari, aku terlupa mencatat. Padahal apartemenku terletak di jalan bersejarah Charles Street dan tak jauh dari Mount Vernon Place, suatu titik di pusat kota ini yang membekukan waktu. Kenapa? Karena sejak awal 1800, tempat ini sudah ada dan masih terpelihara. Ada beberapa tempat menarik yang sering kukunjungi, minimal dua kali, bahkan mengajak Damian main di taman atau library sudah tak terhitung lagi. Sekaligus buat kenangan, jika kelak kami pindah tempat tinggal.


Air mancur di taman Mount Vernon Place, menghadap Washington Monument dari timur. Jaraknya hanya lima menit jalan kaki dari rumah. Damian sering mengejar burung, melempar batu ke dalam kolam, mengejar anjing peliharaan orang, atau bertemu dengan anak lain yang juga main di sini. Pemandangannya indah sekali di musim gugur. Di musim panas banyak acara di kawasan ini. Pertunjukan band, konser kecil, festival bunga, festival buku, dll. Kami pernah mencapai puncak tertinggi monumen setelah dengan penuh perjuangan menaiki 228 anak tangga! Tapi pemandangan dari atas cukup memukau, sampai batas cakrawala.

Di musim dingin bersalju, pemandangannya cantik sekali.

Methodist Church bergaya arsitektur Victorian Gothic. Terlihat indah dan sekaligus mencekam buatku, entah kenapa.

The Walters Art Museum. Dari luar bentuknya masif dan tak ramah, tetapi koleksi di dalamnya menarik.

Enoch Pratt Free Library. Salah satu tempat favorit di kota ini. Koleksi bukunya lengkap dan variatif. Dari sini aku bisa menekuni hobi baru dari buku, dan terutama ada Children's Department. Di sini ada kolam ikan kecil yang disukai Damian, tempat bermain dan mengikuti program anak-anak setiap minggu.

Baltimore Basilica. Gereja katolik pertama di US yang letaknya persis di belakang apartemenku. Tapi tidak tiap minggu kukunjungi (ahh... kapan aku akan bertobat?)

Ada satu kawasan lagi yang sering kami kunjungi: Baltimore Inner Harbor. Letaknya di tengah kota, sekitar limabelas menit berjalan kaki dari rumah. Kawasan komersial pinggir air yang sering dikunjungi turis, tapi jadi hiburan juga buat warga lokal.


Friday, August 06, 2004

The Walters Art Museum


The Walters Art Museum terletak hanya sejauh dua blok dari tempat kami tinggal. Setiap hari Kamis pertama tiap bulan, museum ini boleh dikunjungi gratis (biasanya harus bayar $8). Makanya kesempatan ini tidak kusia-siakan, selain cuaca musim panas yang mendukung acara jalan-jalan. Terletak di 'jantung' kota Baltimore, museum ini menyimpan lebih dari 30000 benda, dari kebudayaan Mesir Kuno, Yunani, Romawi sampai karya abad 19 Eropa. Mau melihat mummy yang aku lihat? Silakan klik di sini:The Mummy

Banyak yang bisa kuceritakan, kesimpulannya: menarik sekali. Satu hal yang mencuri perhatian: setiap museum yang kukunjungi di sini pasti menyediakan ruang khusus untuk anak-anak beraktivitas, sesuai jenis museumnya. Bukan hal aneh jika di satu ruang pamer yang besar banyak anak usia SD yang duduk di depan lukisan atau patung, asik menggambar obyek di hadapannya di selembar kertas. Tak jarang kulihat gambar yang benar-benar bagus! Salah satu cara efektif mempopulerkan museum di kalangan anak-anak. Mungkin bisa ditiru di Indonesia, kelak. Suatu saat.