Sejilid buku bekas yang kubeli di depan gereja kala menelusuri trotoar menuju pulang. Tak sengaja memang, tetapi deretan buku satu dolaran selalu menarik perhatian. Walau sudah lewat publikasi sekian tahun, menurutku tak ada buku yang basi (well, kecuali buku program komputer kali ya...). Dan nama Ursula Hegi sesayup muncul di ingatan, membuatku merogoh kantong celana dan membawanya pulang bersama beberapa jilid ringan lainnya. Membacanya pun tanpa beban. Bisa sambil tiduran, sambil nonton teve tersela iklan, sambil menunggui Damian makan. Karena isinya kumpulan cerita. Satu cerita pun bisa selesai satu kali mengisi waktu di toilet. Judulnya Unearned Pleasures (and other stories).
Lalu, apanya yang menarik?
Gaya berceritanya, karena pengarang mampu mengurai tokoh lewat alam pikirnya. Kesimpulanku, Ursula Hegi is 'a mind diver'. Dan setelah kutelusuri ternyata 'Hegi works much like a method actor, immersing herself in her characters, living and breathing within them'. Dia bilang,"I write fiction as if I were writing poetry."
Isi ceritanya, nggak muluk-muluk. Soal cinta, kematian, masa lalu, anak, rumah tangga, etc. Tapi dari cerita yang nggak muluk itu ada seribu satu pikiran di belakangnya. Pikiran yang bisa mampir di otak kita, atau orang yang kita kenal, tanpa prejudice.
Endingnya. Tak ada yang benar-benar selesai. Dan ini membangunkan sadar. Hidup ini seperti serpihan fragmen. Sometimes you want to stop the pain but you just have to live with it. Sometimes you want to stay with happiness at this moment but you just have to move on. Nggak ada yang benar-benar selesai, selama kita hidup dan berpikir. Sesaat kita di rumah, kemudian di tempat kerja, kemudian bertemu seseorang, kemudian mengirim sms, kemudian seorang bayi lahir, kemudian makan di restoran, kemudian....
Lalu, apanya yang menarik?
Gaya berceritanya, karena pengarang mampu mengurai tokoh lewat alam pikirnya. Kesimpulanku, Ursula Hegi is 'a mind diver'. Dan setelah kutelusuri ternyata 'Hegi works much like a method actor, immersing herself in her characters, living and breathing within them'. Dia bilang,"I write fiction as if I were writing poetry."
Isi ceritanya, nggak muluk-muluk. Soal cinta, kematian, masa lalu, anak, rumah tangga, etc. Tapi dari cerita yang nggak muluk itu ada seribu satu pikiran di belakangnya. Pikiran yang bisa mampir di otak kita, atau orang yang kita kenal, tanpa prejudice.
Endingnya. Tak ada yang benar-benar selesai. Dan ini membangunkan sadar. Hidup ini seperti serpihan fragmen. Sometimes you want to stop the pain but you just have to live with it. Sometimes you want to stay with happiness at this moment but you just have to move on. Nggak ada yang benar-benar selesai, selama kita hidup dan berpikir. Sesaat kita di rumah, kemudian di tempat kerja, kemudian bertemu seseorang, kemudian mengirim sms, kemudian seorang bayi lahir, kemudian makan di restoran, kemudian....
2 drops:
gue akhir2 ini agak susah menamatkan buku, terutama yang tebal dan 'berat'. kalo kumpulan cerpen emang lumayan banget sih... :)
blm pernah baca ursula hegi. kalo jhumpa lahiri pernah baca gak, dy?
Noy, rekor buku tebal gw belom lama Anna Karenina. Jhumpa Lahiri yang dapat Pulitzer itu malah belom baca. Kalo terbitan rada baru memang gw agak lambat, hehehe...
Atta, kabarku baik-baik aja cuma jarang beredar aja...:)
Post a Comment