Thursday, May 27, 2004

IKEA (Ingvar Kamprad Elmtaryd Agunnaryd)

The name sounds familiar, but little has known –or cared- what this abbreviation stands for.


I won’t explain here what Ikea means, or its history, since you could find it easily on the website. It is just interesting for me because every time a person or family from my home country came here to stay, we would gladly fetch them to Ikea. Why? Because we like the simple, modern design, cute utensils, colorful fabric, easy to mix and match, etc. Not to mention the price is cheap since we have to assemble the furniture at home, and the mass products make it easy for us to see the neighbors get the same item that we have. And we always run for sale season, never have enough of things that eventually will get broken in less than a year.

I know the brand since in school but we could only see the catalogue. Then when I worked in interior design consultant, the catalogue was like a bible. We brought it to the furniture contractor, showed them what we want, and voila! The furniture will be delivered in less than a month, exactly looked like Ikea. Once I also saw my client arguing with her husband (who’s Swede) insisting to take design from Ikea that she love, but her husband rejected saying Ikea was junk in his home country that he would never buy it. (I finally left the company because it was way too busy copying easy-to-sell design than made it on its own). I had a friend back in Singapore who went to Ikea for refreshment whenever he felt stress at work, but not to buy any single thing! I guess in this case we just call Ikea as furni-zoo, shall we?

Anyway, do you know that Ingvar Kamprad, who founded furniture retail chain IKEA, has overtaken American computer giant, owner of Microsoft`s Bill Gates as the world`s richest man? He has a personal fortune of $53 billion compare to Bill Gates at $47 billion, according to the latest list of the world`s rich in U.S. Forbes magazine. He also known to be on the frugal side, flying economy and driving an old Volvo, and keeps his wealth secure in tax-haven Switzerland. Wow, how we make him even richer than before! ( And I was wondering if he still prefers using Ikea than any kind of Ethan Allen or Broyhill!)

On the other side, Ikea actively surveys its customer in various themes (USA Today and CBS News). Here are some facts in the survey which are quite interesting:
1.Guys with messy sock drawers have sex three times more per month than those who organize their socks.
2.Those couples that don't have closet organizers argue three times less per month than those who do.
3.Austrians love their bedrooms, but seldom make love in them. Malaysians often have sex in their bedrooms, but don't get much sleep there. Spaniards and North Americans were most likely to keep their bedrooms private, while almost half of Chinese allowed their friends access.
4.Three-quarters make their bed daily; people who frequently change their mattresses have more sex; and the most common fixture of a bedroom is the alarm clock.

Well, what do you think?

Monday, May 24, 2004

Through The Eyeglasses

Di dunia dalam anganku ini, semua orang punya kaca mata.


Ada orang yang berkacamata kuning, berbingkai gading. Di matanya dunia amatlah indah, karena semua tampak ceria dan meriah.
Ada orang yang berkacamata hitam, berbingkai metal. Di matanya dunia terlalu suram, karena berwarna kelabu dan tanpa masa depan.
Ada orang yang merasa tidak perlu berkacamata. Di matanya, dunia yang dilihatnyalah yang paling benar adanya, dan apa yang dilihat orang berkacamata salah adanya.
Ada orang yang memang perlu berkacamata, tapi enggan memakainya. Ia merasa tidak lagi cantik jika berkacamata dan orang akan menjauhinya.
Ada orang yang harusnya sudah berganti kacamata, tapi tak mau mengakuinya. Ia terlalu keras kepala dan menganggap dunia sekitarnya yang sudah berubah, bukan dirinya.
Ada orang yang terus menerus berganti kacamata, mencari yang paling cocok untuknya. Ia tak punya pendirian dan menganggap dunia orang lain selalu lebih baik dari dunianya.

Apa yang terjadi pada mereka?

Si Kacamata-Kuning sangat optimis dengan hidupnya. Ia menganggap dunia ini tak pernah salah, hidup tidaklah susah. Ia sulit sekali bersimpati dengan kesusahan orang lain.
Si Kacamata-Hitam sangat pesimis dengan hidupnya. Ia menganggap tidak ada gunanya ia hidup, dan apa yang dijalani sia-sia saja. Ia suka sekali menyeret orang lain untuk merasakan kesuramannya.
Si Orang-Yang-Merasa-Tidak-Perlu-Berkacamata tidak suka mendengar pendapat orang lain, ia suka memaksakan kehendaknya dan merasa orang lain harus hidup seperti dirinya.
Si Enggan-Berkacamata adalah orang yang terlalu memikirkan penampilan dalam hidupnya. Seumur hidup ia selalu mencari pengobatan untuk memperbaiki penampilan luarnya karena percaya orang lain juga melihat lahiriahnya saja.
Si Orang-Yang-Memakai-Kacamata-Lamanya adalah orang yang hidup di masa lalu. Dunia dianggapnya berubah ke arah yang lebih buruk dan ia suka sekali bernostalgia.
Si Orang-Yang-Terus-Berganti-Kacamata menghabiskan banyak uang untuk berganti-ganti kacamata. Ia bekerja keras dan menjadi kaya tapi tak pernah puas dengan kacamatanya.

Bagaimana akhir mereka?

Si Kacamata-Kuning mati dibunuh Si Kacamata-Hitam. Karena ia benci dan cemburu dengan keceriaan Si Kacamata-Kuning yang kurang simpati terhadap kesusahannya.
Si Kacamata-Hitam akhirnya mati bunuh diri karena puas telah membuat Si Kacamata-Kuning mati. Dan menganggap tidak ada lagi tujuan hidupnya di dunia ini.
Si Orang-Yang-Merasa-Tidak-Perlu-Berkacamata mati dalam perang. Karena ia ingin mengubah dunia sesuai tempat hidupnya, seperti katak dalam tempurung.
Si Enggan-Berkacamata mati di kamar operasi plastik. Dengan wajah yang sudah berubah dari aslinya, tapi tanpa kepribadian, seperti seonggok daging tak bernyawa.
Si Orang-Yang-Memakai-Kacamata-Lamanya mati tertabrak. Karena ia sudah tak mampu melihat mobil yang meluncur dari jauh, seperti musibah masa depan yang datang diam-diam.
Si Orang-Yang-Terus-Berganti-Kacamata akhirnya mati muda di rumah sakit. Karena bekerja terlalu keras untuk membeli kacamata, dan depresi karena terus mencari dalam hidupnya.

Thursday, May 20, 2004

Melihat Dinosaurus

Sebuah museum disebut gagal kalau ia tidak mampu mengkomunikasikan isi museum dengan merangsang indera pengamatnya. Puncak sebuah museum adalah jika pengamat mampu merasakan pengalaman spiritual di dalamnya.


Museum bukan tempat yang menarik sebagai tempat bermain waktu kukecil. Padahal sejak SD Bapakku rajin mengajak jalan-jalan ke museum. Yang masih kuingat: Museum Gajah, Museum Nasional, Museum Fatahillah, dll. Tapi pamor museum-museum ini masih kalah dibanding Dufan waktu itu. Dan sampai sekarang yang masih berkesan tentang museum adalah: diorama, dan suram. Beranjak usia SMP, pergi ke museum jadi kewajiban. Karena pergi bersama rombongan sekolah dan harus bikin laporan. Padahal sudah mulai merambah ke museum di TMII yang masih mengkilat, baru, dan terang. Yang terkesan waktu itu: terlalu berbau pemerintah. Semasa SMA, lagi-lagi bersama rombongan sekolah, ke tempat bersejarah yang sifatnya lebih berwisata: Borobudur, Prambanan, Keraton Yogya, sampai ke Benteng Pendem di Cilacap. Dijamin bakal sedikit yang ikut kalau tidak dibumbui acara jalan-jalan dan wisata kota, maklum: SMA.

Minatku pada museum baru dimulai sejak kuliah. Mungkin karena aku mulai melihat banyak buku-buku yang menggambarkan museum jauh dari suram, asik untuk dikunjungi, tidak hanya bangunan kuno dan disponsori pemerintah. Bahkan di salah satu mata kuliah aku menulis paper yang bertajuk "Museum sebagai bentuk komunikasi dalam arsitektur religius". Intinya, sebuah museum disebut gagal kalau ia tidak mampu mengkomunikasikan isi museum dengan merangsang indera pengamatnya. Puncak sebuah museum adalah jika pengamat mampu merasakan pengalaman spiritual di dalamnya.

Di akhir masa kuliah aku memilih proyek galeri seni rupa yang membuatku banyak survey ke galeri yang tersebar di Bandung, Jakarta, dan yang paling kusuka: Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta Kota. Koleksinya terbilang bernilai, sayang masih suram dan kurang terawat. Bayangkan, lukisan Raden Saleh, Basuki Abdullah dan Affandi yang menempati sebuah gedung tua (1870) dan besar, pengamanannya hanya dipercayakan pada empat orang petugas Satpam yang hanya bekerja malam hari! Sementara petugas di siang hari jarang terlihat, tapi ramah sekali jika dimintai informasi.

*****

Dua hari yang lalu aku sangat gembira, pergi ke museum lagi, tepatnya di Washington DC. Malahan sekarang sudah berkeluarga, dan tentu saja museum yang dikunjungi harus menarik minat anak seusia Damian. Begitu memasuki museum yang berisi Dinosaurus ukuran raksasa berusia puluhan juta tahun yang lalu, kegembiraanku menyerupai histeri Damian saat melihat gajah yang besar di lobby utama. Keingintahuanku seperti kembali ke masa kanak, antusiasku seperti kilau di pupil mata.

The National Museum of Natural History milik Smithsonian Institute adalah salah satu museum gratis yang juga menarik minat anak-anak selain orang dewasa. Karena terang, menarik, seperti playground yang juga dihuni berbagai hewan raksasa maupun sekecil serangga. Pada akhirnya, aku dan suami tak memiliki banyak kesempatan untuk mengamati satu persatu setiap display seperti yang diinginkan. Karena kami sibuk mengejar Damian yang lari kesana-kemari, menunjuk ini itu atau merengek kalau ditarik pergi. Tapi aku gembira sekali, dan menunggu-nunggu waktu untuk pergi ke museum lagi.


Wednesday, May 19, 2004

Setting Seorang Figuran

Kesadaran akan tempat dan suasana terkadang butuh waktu. Terkadang tidak. Aku seperti memasuki dunia peran baru yang melengkapi sebentuk deja vu.


Waktu, tempat, dan suasana di kota yang tiba-tiba jadi bagian hidupku ini terkadang masih membuatku tersipu. Pertama kali kuutarakan perasaan -sebagai total alien- mengenai tempat ini pada orang terdekat adalah,"Aku merasa seperti ada di sebuah setting film." Mengapa?

Selama aku di Jakarta, atau Singapore, hampir semua bioskop memutar film impor yang asalnya dari US (untunglah sekarang film Indonesia mulai bangkit lagi). Gambar bergerak yang aku tonton kebanyakan punya setting di negara ini. Dan ketika aku berjalan sepanjang Charles Street dengan bangunan lama dan baru, gereja gothic yang tua, orang-orang afro-america yang duduk-duduk di tangga depan apartemen dengan suara kerasnya, orang kaukasia dengan anjingnya di taman, keramaian di Baltimore Inner Harbor, dan di musim dingin terutama: saljunya. Semua mengingatkanku akan setting film. Tiba-tiba aku jadi bagian dari sebuah film yang pernah aku tonton. Seperti seorang figuran yang tidak terkenal. Setting yang terasa familiar walau sebenarnya asing, seperti deja vu*. (Anyway, kota ini memang pernah jadi setting filmnya Meg Ryan di Sleepless in Seattle.)

Begitupun ketika berjalan ke arah Capitol Hill dari Union Station, begitu banyak orang yang memakai setelan jas hitam-hitam berkacamata hitam. Aku langsung sok tahu,"Mungkin FBI..." (aku teringat Men in Black, Independence Day yang menurutku "hollywood skalee..."). Atau ketika ke Philadelphia aku jadi ingat Bruce Willis dengan Sixth Sense dan Unbreakable-nya. Untunglah ke-norak-anku tidak berlangsung lama karena aku jadi tersipu. It's a real world, babe. Walau di belahan dunia lain mungkin tempat ini jadi sekedar film yang asik ditonton.

By the way, aku jadi teringat seorang kawan yang tugas akhirnya bertema setting film. Kawan ini juga yang mendorongku mencoba menulis di blog. Thanks, pal.

*****

*The term déjà vu (French: "already seen", also called promnesia) describes the experience of feeling that one has witnessed or experienced a new situation previously. The term was created by a French psychic researcher, Emile Boirac (1851-1917) in his book L' Avenir des Sciences Psychiques. The experience of déjà vu usually accompanied by a compelling sense of familiarity, and also a sense of "eerieness" or "strangeness".


Friday, May 14, 2004

A Place Full of Idea

When you ask people here about something, even the smallest bit, they usually have an answer. Not the right or the wrong one, but mainly of their opinion. It is very important for them to speak their idea, referring to John Locke*,who defines “idea” as “whatever is the object of understanding when a man thinks”.


This thought grabbed my mind when some stranger on the bus asked me where I came from (obviously I don’t look like anyone he ever knew) which led us to some conversation. After he knew I came from Indonesia, he started to talk about Soekarno and Soeharto, which really surprised me. When I asked him how he knew that much, he said that he grew up in a time when people did care about political matters not only in the US, but also in the world. Looking at him I realized he must have lived even before World War II -also might have joined the Vietnam War- and that explained a lot.

He took over the conversation mainly because I couldn’t really heard what he said (the bus drove noisily), and I refused to argue a 70-something old man even though I knew some of them were not the real facts. And he was really all confident when he talked. At last, right before he got off the bus he gave his website address concerning his views on politics and authority and sort of things. I never thought that somebody who would’ve retired in my home country, riding on a bus and looked really ordinary, would still care so much about things that happens, and moreover, he still speaks his mind through a website!

*****

Some other time, a middle-aged man behind me in a line at a fast food restaurant asked me, “Do you know that people now have problems with their faith? Some of them might not have any religion, but the worst thing is some even blame the religion as the root of mankind’s problem. What do you think about this?” I was busy calming Damian who noisily pointing at balloons and pictures, and this question just did not meet my mind then. Although the topic might interest me in a right moment, I remember said,” Well, I don’t think I ever put my thoughts on that before,” just to stop the conversation. It was a wrong answer.

First of all, if you do not want to be disturbed, you should say,” I’m kinda busy right now, I don’t have time to talk about it.” Second of all, if somebody asks about something you’d better have some real answer other than “I don’t know”. My answer just opened the path for him to explain his own answer about the things he asked. Luckily, I came to the front line to order and that saved me from whatever he says. Well, I think I was raised not to refuse something straight to the point and that would put me in trouble here. And I grew up and went to school where I should think twice before I told my opinion (and it better be right!). Note this: people here will think you are more stupid if you don’t have any idea compare to someone who has a wrong one.

*****

Last but not least, whenever I go to Damian’s playgroup, I notice some words that most mothers use to tell their kids when the kids were doing something they should not. “Honey (or Sweetie), I don’t think it’s a good idea to do this…(or that)”. They just never tell it was wrong, or right.

Then, I know why it is such a place full of idea. I know why, despite media exploitation and bussines profits, William Hung has become another idea of American Idol. I know why this place has problems to control their own ideas. But sometimes, this place is just too full of ideas it barely wants to hear others…

*****

*John Locke (August 29 1632 - October 28 1704) was an English Enlightenment philosopher whose notions of government with the consent of the governed and the natural rights of man (life, liberty, and property) had an enormous influence on colonial Americans, allowing them to justify revolution and shape a new government.

Saturday, May 08, 2004

Loud Solitaire

Have you ever feel lonely in the midst of crowd and noise? Have you ever been alone in a time and place but your mind utter outloud?


Ada saat aku duduk sendirian tanpa keinginan berbuat apapun.

Biasanya itulah saat aku merasa capai sekali di badan (ah, enak sekali membayangkan dipijat mbok tua di Jakarta), tapi otakku menolak tidur. Seperti malam-malam di musim panas: matahari enggan tenggelam hingga jam sembilan, walau makan malam sudah lama selesai. Aku jadi teringat teman lamaku, yang bilang saat-saat seperti ini paling enak main Solitaire. Sendirian, nggak pakai kegiatan fisik kecuali menggerakkan mouse, sambil duduk selonjoran, terkadang ditemani secangkir kopi. Tapi yang paling penting: pikiran bisa melayang kemana-mana, karena game ini nggak butuh banyak-banyak pakai otak.

Ternyata nggak juga: Solitaire games, also known as Patience in Britain, are card games for a single player. Does not exist a precise history of solitaires, but it is probable that solitaires are been born with the card games. The word solitaire is of french origin, and it means patience. It must but wait for the age of Napoleon (is said Napoleon to have played a lot of solitaire) to see a true development of the solitaire games.

Aku jadi sedikit angkat topi buat game yang dulunya ternyata dipakai buat latihan otak sang Napoleon. Bahkan ada yang bilang: "Everybody should cultivate the power of self entertainment. No matter what may be our domestic and social surroundings there come times to each of us when, unless we are able to be 'company to ourselves', we must inevitably suffer from loneliness or ennui. It is at such moments that the game of Solitaire (to which our English cousins give the very significant name of Patience) becomes something much more than a frivolous diversion." (George Hapgood, Solitaire and Patience, Philadelphia, 1917)

Terkadang kita merasa sendirian, walau di tempat riuh. Terkadang kita memang sendirian, tapi otak kita begitu riuh. Terkadang kita bisa "menemani diri sendiri", terkadang kita tidak bisa ditinggal sendirian.

Aku punya jenis solitari yang berisik, dan aku pilih blog ini jadi wujud yang menemani aku.