Thursday, September 10, 2015

I Love You Pisan, Pak Suroto!

"I love you pisan, Ma...." ucap Damian sambil memelukku. Kala itu ia masih berusia 7 tahun, kelas satu SD semester dua. Semester satu ia masih menuntut ilmu dasar di sekolah negeri di Maryland, USA. Kemudian kami memutuskan pindah dari Amerika ke Bandung setelah 6 tahun berdomisili di sana. Otomatis Damian mempunyai kendala bahasa ketika mulai sekolah baru. Sesampainya di Bandung saya sengaja tidak memasukkannya ke sekolah International School yang sedang trend saat itu. Tapi resikonya, ia harus mengikuti pelajaran Basa Sunda, di samping mempelajari Bahasa Indonesia yang masih sangat tertinggal.

Jangan salah, selama di Amerika kami menggunakan Bahasa Indonesia di rumah, tetapi rupanya Damian lebih lancar berkata-kata dalam Bahasa Inggris. Perbendaharaan Bahasa Indonesia-nya hanya sebatas pemahaman. Jadilah selama beberapa minggu di awal sekolah baru saya mengajarinya Bahasa Indonesia terlebih dulu. Menurut saya, yang penting ia naik kelas dan memahami pelajaran yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia. Mengenai Basa Sunda, ulangan pertamanya mendapat nilai nol tentu saja. Bahasa gaul? Tampaknya lebih cepat terserap lewat permainan dengan teman, maka terlontarlah kata-kata itu," I love you pisan, Ma..." Bahasa campur aduk yang bahkan tanpa ada kata-kata dalam Bahasa Indonesia. Oops..

Dipercepat tiga tahun kemudian, yaitu saat ini, saya sudah tidak kuatir dengan kendala berbahasa Damian. Banyak anak lain yang dibesarkan dengan dua bahasa dan mereka memiliki keuntungan lebih sebenarnya, selama mereka tidak dipaksa. Damian sudah menikmati buku-buku berbahasa Indonesia termasuk buku cerita rakyat hadiah waktu kecil yang selama ini teronggok. Saya sendiri suka membaca dan menikmati cerita-cerita rakyat hingga karya sastra favorit saya dari pengarang Achmad Tohari hingga Pramoedya Ananta Toer alm. Maka buku-buku mereka saya koleksi dan mudah-mudahan dinikmati Damian jika ia sudah tertarik kelak.

Saya harus berterimakasih pada Pak Suroto, guru Bahasa Indonesia saya di SMA dulu karena menggugah kesukaan saya akan menulis dan membaca karya sastrawan Indonesia lama.

Saya masih ingat semangatnya kala membahas buku trilogi Achmad Tohari, atau memberi tugas menulis resensi buku. Ia juga membuat kami menulis biografi tentang dirinya, dengan cara seolah-olah ia tokoh yang diwawancara di depan kelas. Maka kami seolah-olah adalah wartawan yang mewawancarai selebritis dan kemudian menuliskan kisah hidupnya. Saat itu, saya menyadari betapa tiap orang istimewa tanpa kecuali, karena memiliki cerita hidupnya sendiri-sendiri.

Pak Suroto juga yang memberi tugas membuat kliping Cerpen Kompas selama 10 minggu berturut-turut. Kami harus membaca cerpen yang muncul tiap hari minggu, kemudian menggunting dan menempel cerpen itu di kertas HVS, kemudian mengetik resensi tentang cerpen tersebut. Resensinya harus lengkap, dari tokoh-tokohnya, sifat-sifatnya, jalan cerita, tema cerpen tersebut, hingga hikmah yang bisa diambil. Untuk menulis resensi kami masih memakai mesin tik kala itu, di awal sembilan puluhan. Komputer sudah ada, tapi masih menjadi barang mewah. Kemudian setelah sepuluh cerpen dalam sepuluh minggu dengan sepuluh resensi terkumpul, kliping itu dijilid dengan sampul karton biru yang menerakan judul kliping. Yang unik, judul kliping resensi diambil dari judul cerpen pertama dan cerpen terakhir. Karena tiap anak menyusun sepuluh cerpen dengan susunan yang berbeda, maka judul-judul aneh pun muncul. Amarah Ayam Bekisar. Anjing Malam Kelana dari Padang. Semacam itulah. Maka puas sekali rasanya saat mengumpulkan tugas tersebut, seperti sudah membuat buku sendiri. Paling tidak buku resensi.

Belum lama ini saya berbicang dengan rekan sekantor yang hobi menulis. Usianya di sekitar pertengahan duapuluhan, berbeda sekitar satu dekade dengan saya. Bincang punya bincang, saya menanyakan apakah ia menyukai penulis Pramoedya Ananta Toer alm. Ternyata ia belum pernah mendengar nama itu.... Krik...krik...krik... Sungguh tercengang saya. Lho, apa saja materi dan kurikulum Bahasa Indonesia di sekolah umum sekarang?

Tiba-tiba saya kangen Pak Suroto.


written in September 2012