Sunday, April 29, 2007

Batik, dan Kelepon

Alkisah, seorang permaisuri dari raja Mangkunegaran seringkali ditinggalkan sang raja yang memiliki banyak selir. Ia merasa sangat kesepian dan diabaikan. Untuk membunuh waktu termangu, sang permaisuri mulai membatik. Mengambil motif bintang yang bertebaran di langit dari balik jendela istana, melukisi malam sendirian. Sekali waktu sang raja melihat karya sang permaisuri, dan menanyakan apa yang sedang dilukisnya. Taburan bintang di langit gelap, lambang kesepian menggayuti malam. Raja terenyuh. Lalu ia kembali ke istana dan meninggalkan selir-selirnya. Batik itu menyatukan lagi sang raja dan permaisuri. Motifnya dikenal sebagai batik truntum.

Cerita ini disampaikan padaku oleh kakakku, saat aku mulai belajar dasar membatik. Di luar perdebatan panjang tentang kepasrahan seorang istri yang ditinggalkan suaminya yang berselir banyak, dalam satu hal kami sepakat. Batik itu indah. Dan nggak gampang. Makanya adalah suatu seni tersendiri saat putri-putri jaman dulu bisa membuat batik tulis bermeter-meter dengan desain yang harus dicipatakan sendiri.

Aku sendiri beberapa kali terkena lelehan lilin panas, kesal karena tetesan lilin menodai kain, bahkan lengan tersenggol wajan. Butuh kesabaran dan konsistensi disamping kreasi. Beberapa potong kain aku habiskan sebelum satu lembar syal bisa kubatik bergambar bunga, kupu, capung dan kepik. Walau saat proses penyelupan warna terjadi kesalahan hingga hasilnya tidak sempurna, cukup puas rasanya bisa mulai belajar sesuatu, karya seni negeri sendiri. Apalagi langsung diklaim Damian sebagai miliknya. Karena warnanya biru muda.

***

"Pep, gue lagi pengen kelepon nih...."
"Apaan sih kayak orang ngidam aja, dari kemaren..."
"Abis dari kemaren belom ketemu keleponnya."
"Kan udah makan jajan pasar yang laen, ntar ajalah. Makanya bangun pagi-pagi ke pasar."
"Yaaa, tau sendiri gue bangunnya siang. Udah jauh-jauh masak nggak makan kelepon Pep...." liurku mulai menetes di ujung bibir, membayangkan lelehan gula merah yang mencelos dari bulatan hijau bertabur kelapa. Hmmm....

Aku uring-uringan.

Sampai pagi itu, saat aku ditinggal sendirian di rumah.
"Happy Birthdaaayyyy....!"
"Waaa... Makasihhh, apaan niy....?"
"Ini kelepon.... 33 biji, sesuai umur lo, awas nggak abisss!"
Aku membuka bungkusan daun kelapa, melihat bongkahan bola-bola hijau bertabur kelapa. Persis seperti yang kuidamkan. 33 biji. Hah....
"Bener nih nggak ada yang mau?" tawarku basa-basi.
Lalu kucomot bola itu. Satu-satu...

Jogjakarta, sometimes in February

Wednesday, April 18, 2007

Pusara

Pernahkah kamu bayangkan, perjalanan ke kampung halaman, bukan lagi menjadi liburan? Melainkan ziarah. 
 
Bukan lonjakan peluk penuh tawa riang, tapi tenggelam dalam sedan. Memeta sosok yang utuh dalam kenangan. Hanya bertatapan dengan foto rautnya di dinding, tanpa dekapan. Kesunyian di hati, dan jelalatan mencari-cari. 
 
Aku kehilangan masa, waktuku dicuri. Akukah yang terlambat, ataukah waktu yang merampasku terlalu cepat? Memohon masa lalu kembali sejenak, memberi kesempatan bercakap. Entah dengan sesosok bayang, ilusi, atau mimpi. Tak hanya dalam ingatan yang mengabut. 
 
Aku butuh menjamah. Tak hanya bertanya di bibir pusara. Mengucap penyesalan dan doa di seonggok tanah. Mengelus dan mengusap kelembutan rumput. Menetesi air di hitam granit berpayung terik. Yang cuma bisa menggores nama, tanpa cerita panjang di baliknya. Menabur kelopak bunga beraroma kasih, tanpa sungkem sembah memohon maaf. Atas kedatangan yang terlambat.  
 
Flower place (as Damian names it), Jakarta, January 2008. To all friends and people who had lost their loved ones.

Thursday, April 12, 2007

Suatu Hari di Awal Januari

Pandanganku mencoba memeta lobby kedatangan Incheon Airport. Yup, itu dia information, tempat aku bisa minta dipanggilkan shuttle dari hotel. Mendadak ransel di punggung dan stroller yang kudorong menjadi terasa ringan. Irit pembicaraan, pemudi di balik counter memintaku menunggu, dan tak sampai 10 menit kemudian ia sudah memanggilku lagi. Jemputannya sudah datang. Fiuh,nggak sabar rasanya meluruskan badan setelah 14 jam duduk di perjalanan. 
 
Aku mencoba ramah pada pengendara, memancing info dan bertanya-tanya. Tapi, hey, dia tak lancar berbahasa inggris. Maka 5 menit perjalanan diisi dengan bungkam, kecuali celoteh Damian yang hampir selalu bicara kalau tidak sedang tidur. Saat itu sekitar pukul enam sore di Airport New Town, lokasi hotel kami menginap semalam. Satu hal yang kuingat dari hotel ini adalah perlengkapan rambut. Tampaknya orang Korea terobsesi dengan rambutnya, karena di kamar mandi hotel aku menemukan perlengkapan selain shampoo, conditioner dan hair dryer: tonic, gel rambut, sisir (ihhh, siapa juga yang mau pake?!), dan hairspray.... Setelah mandi Damian bersikeras nonton Sinchan di kamar hotel, padahal aku ingin segera makan malam dan beristirahat kemudian. 
 
Cuaca dingin menusuk, neon bertulisan kanji menerpa saat kami menyusuri jalan. Banyak hotel dan restoran di sekitar jalan itu. Makan di mana ya? Aku nggak ngerti bahasanya.... Tapi aku sengaja menghindari tempat makan berbahasa Inggris, supaya bisa mencoba makanan tradisional sini. Jadilah kumasuki satu restoran di belokan jalan yang terlihat menarik dengan furniture serba kayu natural, dan gambar-gambar makanan terpajang sepanjang bagian atas dinding. Paling tidak, aku bisa menunjuk gambar kalau pramusajinya tidak berbahasa Inggris. Benar saja. Kutunjuk gambar seafood soup,"Spicy?" "Yes, yes, spicy." "OK, one for me. And shrimp noodle soup for my son, not spicy." "Yes, yes, shrimp, not spicy." Ia kembali dengan side dishes yang beraneka, tapi nggak ada yang disentuh Damian; dari kimchi, nori, sampai bakso ikan dan sejenis kacang. Lalu datanglah pesanan kami. Punyaku tepat seperti di gambar: panas, spicy, yummy. Punya Damian noodle soup, tapi mana udang-nya...? Hehehe.... kendala bahasa, tapi untunglah tidak spicy jadi Damian masih bisa menikmati. Harga makanannya sekitar 5000-7000 won per porsi, sekitar $5-$7, yang menurutku tidak mahal melihat tempat dan jenis makanan yang disajikan. 
 
Malam itu tidur jam sebelas malam, setelah menelepon my hubby di belahan dunia sana. Dan Damian sudah bangun lagi jam empat pagi minta jatah serealnya. Aku menggerutu, oh please.... aku masih pengen tidur niiii. Apa boleh buat, setelah tidak ada tanda-tanda bakal bisa tidur lagi, kami check out jam tujuh pagi dan minta diantar ke airport. 
 
Tujuan berikut: Seoul City, menghabiskan waktu sampai waktu berangkat jam lima nanti sore. Perjalanan 50 menit dari Yeongjong Island mulai terasa menarik di duapuluh menit terakhir, saat kami memasuki pusat kota Seoul. Macet, ruas jalan lebar, bangunan tinggi, tapi masih terselip ciri khas Asia. Menyeberangi Han river, yang pinggirnya masih membeku es, menuju downtown Seoul, melewati City Hall, lalu turun di Namdaemun Gate. Berfoto di depan Namdaemun, National Treasure #1 yang berdiri tahun 1398. Kulihat seperti gerbang kuno yang membingkai peradaban modern di sekitarnya. 
 
Menahan dingin dengan salju yang menjadi es, jalan jadi licin dan kami lanjutkan perjalanan menuju Namdaemun Market di seberang jalan, pasar terbuka-tradisional Korea yang luasnya melebihi 10 acres (40000m2) dan berisi lebih dari 1000 penjual. Serius, aku hampir nyasar di sini. Ramainya dan kaki limanya menyerupai pasar Tanah Abang -yang entah seperti apa sekarang- tapi luasnya jauh melebihi. Yang dijual segala rupa dari jajanan dan bahan makanan dan suvenir sampai tas bermerek tiruan, campur-aduk. 
 
Sebelum tambah jauh menyelusup dan akibat Damian yang protes minta makan, kami menyusuri pinggir jalan mencari tempat makan. Restoran ini letaknya tak jauh dari pasar, kecil, bangkunya berdempet, isinya ibu-ibu yang sibuk memotong-motong dan menyiapkan makanan. Selain harum makanan yang menggoda, tentu saja ada gambar yang jadi andalan buat memilih makanan. Ternyata menunya lebih baik daripada semalam, ada keterangannya dalam bahasa Inggris. Untungnya perutku tidak berontak dimasuki makanan pedas, sedikit asam dan segar sejak semalam. Mungkin karena ada penetralnya di salah satu side dish itu. 
 
Anyway, setelah sarapan yang cukup memuaskan, kami menyusuri lagi jalan menuju City Hall. Mampir ke toko suvenir yang terlewat, mengambil gambar City Hall, lalu menyeberang ke Deoksu Palace. Di depan Taehanmun Gate kami melihat-lihat, tapi aku memutuskan untuk tidak masuk karena harus kembali ke airport. Kebetulan, kami sempat melihat upacara pergantian penjaga istana sebelum naik bus menuju airport. Tiba-tiba tiga jam berlalu sangat cepat. Setelah mengambil ransel yang kutitipkan, kami melalui imigrasi dan menunggu penerbangan berikut. Tujuh jam lagi perjalanan menuju tanah air.