Wednesday, December 28, 2005

To Do Or Not To Do

Tanggalan tahun ini sudah menipis, hampir habis. Tahun ini banyak sekali kejadian yang agak di luar normal, hampir luar biasa. Baik yang menyenangkan maupun yang menyebalkan. Yang pasti menambah pengalaman, dan (mudah-mudahan) mendewasakan.

Lalu memulai resolusi baru. Hmmph... memangnya pernah bikin resolusi? Nggak tuh. Terlalu teoritis menurut saya, agak abstrak. Seperti jadi orang yang lebih baik (standarnya kan macem-macem), atau pingin mulai olahraga (kalau ini sih udah tau bakal males mulainya, hehehe). Yang ada paling bikin rencana-rencana, mencoba menuangkan lebih detail apa yang ingin saya lakukan. Mudah-mudahan.

Terkadang saya agak sulit mengambil keputusan di saat-saat genting bahkan nggak penting. Dan muncul pertanyaan," Lakuin - nggak, bikin - nggak, iya - nggak...." Lalu memilih sesuatu yang ternyata nggak tepat, dan kemudian menyesal. Sampai kemudian saya menemukan solusinya. Kalau saya memilih untuk tidak melakukan sesuatu tetapi saya pikir bakal menyesal kemudian dan akhirnya kepikiran, maka sebaiknya sesuatu itu saya lakukan saja. Semacam memilih 'a piece of mind'. Walau tetap dilakukan sebaik yang saya bisa. Kalau saya pikir dengan memilih untuk tidak melakukan sesuatu saya nggak akan menyesal, maka saya boleh nggak melakukannya, atau bisa ditunda saja. Kurang lebih begitu.

Contohnya? Selain saya praktekkan buat hal-hal yang lebih penting, bisa juga untuk hal-hal kecil seperti sekarang. Mau ngeblog kayaknya banyak banget yang pingin ditulis, sampai bingung dan males mulainya. Jadi menumpuk dan terkadang menguap begitu saja. (Ini juga yang bikin saya jarang menulisi apa yang saya alami/kunjungi/lakukan sehari-hari). Tapi kalau saya nggak nulis juga, saya bakal kepikiran karena sebenarnya saya pingin nulis. Heheheh, maka menulislah saya, walau isinya terkadang melenceng dari rencana semula.

Anyway, Happy New Year everybody!

Wednesday, December 21, 2005

Sendirian

Sendirian. Ia termangu. Hari itu mendadak libur. Sementara putranya sudah sign-up untuk satu minggu penuh di sekolah. Suaminya masuk kantor. Ia termangu. Sendirian.

Rasanya aneh, ada yang kurang. Celoteh dan dendang ramai anak kecil tak terdengar. Setelah tiga tahun lebih, tiba-tiba ia di rumah. Sendirian. Aneh. Lho, bukankah itu yang biasanya ia inginkan? Ketenangan, waktu sendirian sehari penuh? Ia termangu. Ternyata tidak juga. Ternyata ia sudah terbiasa. Dengan celoteh dan percakapan. Dengan dendang nyaring terkadang sumbang. Dengan hari yang terencana. Ia menunggu sore. Tapi sia-sia.

Ia adalah saya.

Lalu saya buka pintu kulkas, mencari-cari bahan yang bisa diolah jadi hidangan. Surfing resep. Ingin coba sesuatu yang baru. Ah, kayaknya yang itu bisa. Lady finger diganti vanilla cookie. Setelah browsing ternyata mascarpone bisa diganti cream cheese. Kahlua diganti rum. Yang lebih penting nggak usah dipanggang pakai oven. Sip. Lalu saya sibuk sendiri. Ngotorin dapur.

Dan voila, jadilah sepinggan tiramisu. Ala saya tentunya. Rasanya lebih mirip cheesecake. Ah, jadi ingat teman saya yang suka banget cheesecake (Umi, apa kabar?).

Beberapa hari kemudian, saya sendiri lagi. Tapi sekarang lebih terencana. Saya sudah daftar untuk volunteer di House of Ruth Tempat ini menampung wanita dan anak-anak terlantar. Kebetulan dibutuhkan khusus untuk holiday season, membantu sorting gifts yang masuk. Lagipula, sudah agak lama saya berencana volunteer buat holiday ini, terinspirasi dari Mer waktu Natal tahun lalu. Mencoba membelok spirit of shopping jadi spirit of giving. Paling nggak, giving time yang saya punya.

Setelah bertemu koordinator volunteer, saya ditempatkan di ruang mainan anak-anak. Ruangan itu dipenuhi toys anak-anak segala rupa. Bertumpuk-tumpuk, berserakan, sampai saya membelalakan mata. Ruang ini surga buat anak-anak! Semuanya toys baru, sumbangan dari orang-orang yang baik hati. Dari beberapa label yang saya baca, kebanyakan toys ini disumbang secara personal dari anak-anak juga. Anak-anak yang lebih beruntung. Yang mau berbagi buat anak-anak lain yang kurang beruntung.

Lalu saya dan seorang lain mulai bekerja, membuka kantong-kantong. Melabel rak-rak berdasarkan jenis mainan, menyusunnya rapi-rapi. Termasuk buku, games, bahkan sepeda. Terkadang berhenti sesaat, memperhatikan mainan yang lucu, sambil berbagi tawa dengan yang lainnya. Sambil membayangkan, betapa senangnya anak kecil yang masuk ke sini, memilih mainan yang ia suka.

Saya sempat terharu. Tadi saya sempat melihat ruang tempat bermain anak-anak. Mereka yang sudah nggak punya orang tua atau yang orang tuanya nggak mampu menafkahi anaknya. Dan cuma setahun sekali mereka boleh merasakan mendapat mainan baru. Dan walaupun mereka mendapat mainan yang mereka suka, saya bisa mengira apa yang sebenarnya mereka inginkan. Berkumpul bersama keluarga.

Setelah menyelesaikan tugas, saya pulang ke rumah. Ternyata saya sangat tidak sendirian.

Thursday, December 08, 2005

Angin

Aku adalah sebulir angin. Melayang di udara bersama renda-renda mutiara. Hari ini aku melaju ke utara, menebas ranting yang payungi jalan raya. Lalu aku terhenti, menabrak kaca jendela. Di dalamnya kulihat ruang duduk suram dengan perapian. Dan seorang anak memeluk lutut di mukanya mencari kehangatan. Badannya terayun-ayun mengikuti dendang lirih dari radio tua. "You better watch out, you better not cry..." Oh please... masihkah ia percaya akan Santa?

Bulir angin di sebelahku berbisik," Aku ke sini tahun lalu. Saat itulah kudengar kisahnya. Orang tua anak itu sudah tiada, sekarang ia tinggal bersama neneknya. Satu-satunya yang masih membuatnya gembira adalah musim ini. Saat ia masih bisa berharap, Santa akan mempertemukannya dengan orang tuanya....". Aku terdiam. Saat seseorang kehilangan sesuatu yang luar biasa, sungguh wajar ia jadi percaya akan hal-hal yang luar biasa pula. Untuk meredam rasa kehilangannya....

Aku adalah sebulir angin. Melayang di udara bersama jarum-jarum air. Hari ini aku melaju arungi benua. Menghirup hangat di bibir samudera, menari-nari dengan butir pasir. Aku terhenti saat tertambat di rambut seorang perempuan muda. Di tangannya tergenggam ranting, menggores hamparan pasir. I love.... (sebuah nama). Ah, ia jatuh cinta. Lalu ia berdendang, akan cinta yang mengarung jarak, tak tembus mata. Hanya rasa yang melayang di udara, berharap angin menyampaikan pada yang terkasih di belahan dunia sana. Aku terpana. Masihkah ia percaya, akan cinta tanpa tatap mata?

Pasir yang memeta nama sang pria tersenyum mendengarku. "Hei, sudah dua tahun perempuan ini selalu ke pantai ini. Dan kami selalu menunggu goretannya yang tak pernah berubah. Bukankah itu pertanda indah, kesetiaan?" Aku tersenyum ragu. Sampai kapan ia akan bertahan menunggu?

Lalu pasir itu berlagu," Tolonglah angin, sampaikan pesan ini pada sang pria di belahan dunia sana...." Lalu aku berputar-putar di atas pasir yang memeta sebuah nama. Mengingatnya baik-baik sebelum membuatnya pudar dengan pasir yang berterbangan. Ah ya, daripada penuh sangsi dan banyak tanya, bukankah lebih baik membantu orang yang percaya?

Aku adalah sebulir angin. Terbang bersama burung. Menebar salju di udara dingin. Menari berputar bersama pasir. Berkejaran dengan jarum air. Meneruskan pesan, yang tak bisa disampaikan lewat kabel dan surat. Ke sudut hati.

Monday, November 28, 2005

Special

Waktu kecil, kita merasa spesial. Memiliki sesuatu yang nggak dimiliki orang lain. Mampu melakukan sesuatu yang nggak mampu dilakukan orang lain (dengan lebih baik, mungkin). Setelah punya anak sendiri, aku baru sadar, bahwa rasa 'spesial' itu datangnya dari orang tua. Mengalami sendiri ternyata anak sangat spesial buat kami berdua. Ia yang terbaik, paling luar biasa, setidaknya buat sang orang tua. Maka si kecil merasa dirinya paling spesial, seperti yang kita rasakan waktu masih kecil.

Lalu kita jadi besar. Ternyata rasa spesial itu masih ada. Walau banyak dikelilingi orang-orang berbakat ini-itu lainnya, kita yakin bahwa kita punya satu bakat spesial. Bakat spesial yang kemudian jadi cita-cita. Dan berlarilah kita mengejar sang cita-cita.

Kemudian kita sekolah, bekerja, masih dengan rasa spesial di dada. Mungkin kita mampu merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan apa yang kita punya. Walau secuil. Mungkin. Dan ternyata di dunia yang penuh dengan cita-cita sama, kita temukan juga orang-orang yang spesial. Orang-orang yang mungkin lebih spesial. Dalam kerja, dalam hidup, dalam hubungan. Dan kita jadi bertanya-tanya. Seberapa spesial kita sebenarnya? Di dunia yang dipenuhi orang spesial itu, bisakah kita mencungkil sejumput perbedaan?

Lalu kita berjalan statis. Mengikuti arus yang dipenuhi orang-orang spesial, yang tadinya kita kira paling tidak kita termasuk di dalamnya. Saat inilah, seringkali kita terombang-ambing. Kehilangan arah, mencari sesuatu di luar diri yang mungkin belum tertemukan. Barangkali kita menemukan sesuatu yang lebih spesial di ujung kelingking yang tersembunyi. Pencarian yang kadang bikin tersesat.

Kemudian di satu titik kita putus asa. Ternyata kita tidak spesial sama sekali. "When everybody is super, no one will be," kata Syndrome. Dan sesaat pula kita terdiam. Kita butuh waktu untuk terpekur. Membalik sebuah pertanyaan," Apa yang akan kulakukan dengan apa yang kupunya/kubisa?" dengan,"Apa yang sebenarnya kuinginkan?" Pertanyaan yang kadang butuh waktu sepanjang sisa hidup untuk mencari jawabnya. Sambil dilipur dendang Four Season,"...let's hang on to what we've got, don't let go cos we got alot..."
Unik menjadi kata yang absurd.

Lalu aku membaca sebuah buku yang secara angin-anginan kubaca. Bahwa kita ada dengan tugas yang spesial. Spesial sebagaimana kuumpamakan demikian: Bukan spesialnya sebuah mesin mobil, tetapi spesialnya satu sekrup di mesin mobil itu. Sekrup yang bisa diganti dengan mudah kalau rusak, tapi selama ia berfungsi si mesin tetap bergantung pada sekrup itu. Maka jadilah sekrup yang baik. Semampu yang kamu bisa. Karena sekrup itu spesial, seperti setetes oli, sepotong kabel, secuil metal. Supaya semesta mobil bisa terus bergulir.

Tapi kita seringkali terlupa betapa spesialnya kita, karena ternyata kita butuh pengakuan bahwa kita masih spesial dari orang lain. Terutama dari orang terdekat. Sama seperti waktu kecil. Dan memiliki anak kecil yang luar biasa spesial buat kita, ternyata membuat kita juga merasa spesial. Tetap merasa berbeda, dan karenanya bisa membuat perbedaan. Paling tidak buat orang-orang terdekat.

Buat orang terdekat menjelang hari jadinya: walau jarang kubilang, you're always be my special someone.

Friday, November 18, 2005

He loves....

He loves train so much he wants to be a choo-choo train when he grows up (are you sure you don't want to be the train driver? No, I want to be a choo-choo train).
He loves Andrea Bocelli so much he would sing 'Conte Partiro' in the car seat on our ride and refuse to hear other 'adult song'.
He loves to sing so much he could follow all the songs in disc 1 of 'Lagu Anak Indonesia'.

He hates dirt and trash so much he would move to hold my other hand when we passed a trash/dumpster.
But he loves falling leaves so much he would swim in it and ignore all dirts on it.

He loves order so much he would put things properly, otherwise he would let them completely in a mess.
He loved to play online games in computer so much now he doesn't want to play them anymore.
He loves to climb on a slide but hates to be put on a swing.
He loves bugs so much he would look for them when we go outside but refuse to touch them.
He loves to do things completely in a right way otherwise he would throw it away.
He loves puzzle so much that's the one thing he should do at the library.
He loves to read so much I have to read him all ten books we just borrow from the library at the same time.

He loves chocolate milk so much he never wanted a 'white' milk.
He loves coffee so much that it's his favorite ice cream flavor and he would secretly sip my coffee.
He is very picky in terms of food, he becomes our standard. Other than spicy-hot food, we agree that food he doesn't want to eat is awful.

He loves to play fighting so much his teacher had to make him sit down on a chair.
He loves Elmo so much he brings it to school and refuse to put it in his cubby, and always ask me to play Elmo's voice.
He loves to run chasing his friends at school that's the first thing he remembers when I ask him what he was doing at school today.
He loves bubble so much sometimes he just want to take a bath if I let him play with it in the bathroom.

He loves to say "Mama pretty" to calm me when I'm angry.
He loves to say "Pretty lady" (tante cantik) when he sees Victoria Secret ads on TV.
He said "Mrs Jackie, you're fired" when he saw Donald Trump said it in Apprentice. Btw, Mrs Jackie is his teacher and of course he just said that in front of me.
He would tease his dad when he was asked,"What's your name?" "My name is Earl..."
He would say "Film mama" when he saw Desperate Housewives begin to air, and he won't disturb me for the whole hour.

He's a bit shy with strangers but very loving to people who he knows well.
He loves babies so much he would try to make connection with them and ignore their parents.

He loves fishes so much he should see them everytime we go to Han Ah Reum (Asian supermarket).
He loves to shop himself he had to handed his things to cashier and pay all by himself.

He loves to run and jump and climb like any other boys, but he also loves pretending to fall like batman.
He loves to sing along with Barney "I love you, you love me..." and looking for me to give me a hug and a kiss.
He still loves to hold my nose that's the first thing he touch when he wakes up in the morning, and the last one when he's falling asleep.

He loves many things and hates several things, and this page can never fit them.... He's only 3 years 2 months 11 days, but he is just a complete personality....

Friday, November 11, 2005

Catwalk

Berkejaran dengan waktu, rutinitas, kesibukan, kadang ada hal yang terlewat. Bukan kadang, banyak malah. Salah satunya menikmati pemandangan. Ya, sederhana.... Tapi buatku adalah luar biasa di musim sekarang. Karena aku enggan berselisipan dengan musim gugur (ya, selama di sini tentu saja). Aku ingin bertemu muka dengannya, mengalaminya.


Aku menemukan kiasan lagi buat musim ini. Gara-garanya juga sederhana, aku selalu tersenyum saat melihat pohon berwarna merah. Selalu. Walau sedang sebete apapun. Saat berjalan sepanjang trotoar dengan deretan pohon di sisinya, buatku pohon-pohon itu cantik sekali, seperti peragawati. Dan trotoar adalah catwalknya. Dan aku selalu kagum memandangi busana sang peragawati itu. Sempurna.

Lalu aku jadi memperhatikan. Bagaimana hijau bisa jadi coklat? Ternyata ada prosesnya, lengkap dengan gradasi sejuta warna. Hijau kelopak menjadi kuning (hijau tua, hijau muda, hijau kuning, kuning muda, kuning). Kuning menjadi oranye (kuning tua, oranye terang, oranye). Oranye menjadi merah (oranye, merah muda, merah tua). Dan merah menjadi coklat (merah tua, merah bata, coklat muda, coklat tua). Dan kemudian helai itu jatuh ke tanah. Bayangkan, dari sekian banyak pohon, sekian banyak itulah warna yang kulihat. Kadang dalam satu pohon ada beberapa proses perubahan warna, kadang dalam satu pohon hanya ada satu warna. Merah, misalnya. Warna pohon yang selalu bikin aku senyum, walau sedang sebete apapun. Bahkan kupikir cherry blossom jadi pucat dibanding musim ini....

Ah ya, bicara soal peragawati. Aku masih beruntung bisa memandanginya setiap pagi. Berjalan di catwalk dengan anggun, sebelum busananya dilucuti (hmmm....). Dan kemudian jutaan helai yang jatuh jadi tempatku dan Damian berjalan sambil mengangkatnya dengan ayunan kaki. Selalu mencari jalan di atas tumpukan daun, bercanda dengan gemerisiknya. Berlarian dengan layang helainya di udara. Pura-pura jatuh supaya bisa tergeletak di atasnya. Kemudian tertawa-tawa tanpa kata....

Wednesday, October 26, 2005

Dingin

"Do you like living here...?"
"Well... bla bla bla..." (nggak penting), dan kusambung,"What about you? You like it here?"
"Hmmm... it's just too cold..."
Ia gadis dari Beijing, belajar di Texas dan mulai bekerja di kota ini. (Aku nggak pernah sadar ternyata banyak cakap yang didapat dalam 15 menit perjalanan). Dingin, dua hari belakangan. Ditambah basah dan angin 20mil/jam. Tidak biasa sebenarnya, di musim gugur seperti sekarang.

Dingin, yang membuatmu bangun pagi dengan ujung jempol kesemutan. Yang membuat malas beranjak ke kamar mandi dan bersentuhan dengan dudukan toilet. Dingin yang membuat kopi dituang mengepul dan mendingin lima menit kemudian. Dingin yang membuat nafas mengepul di udara luar, ujung hidung dan cuping telinga beku walau mulut berciuman. Dingin jadi alasan untuk datang kerja terlambat dan pulang lebih cepat, membeli minuman hangat untuk memanaskan telapak.

Angin yang menusuk walau kamu memakai baju tiga lapis dan sepatu boot selutut. Dingin yang membuatmu lapar dan mengantuk bersamaan, di saat yang tidak tepat. Membuatmu misuh-misuh saat bus datang terlambat padahal ingin cepat pulang. Membuatmu lelap lebih cepat padahal malam belum beranjak. Dingin... yang membuatmu mengira salah alamat saat keluar rumah, memasuki kulkas raksasa dengan butir embunnya....

Tetapi, somehow... dingin itu indah....

Dan aku pernah berkomentar," Coba manusia bisa hibernasi ya... musim dingin tidur aja terus, nggak pake lapar.... bangun-bangun udah spring tapi nggak perlu jam tidur malam. Kayaknya asik ya...." Dan suamiku balas berkomentar,"Wahh... nanti bangun-bangun 'pupu'nya banyak dong...." Huahahaha....

Tuesday, October 18, 2005

Sisters


Aku punya dua orang kakak dan seorang adik tercinta. Semuanya perempuan. Tapi kali ini aku ingin menceritakan mbakyu-mbakyuku saja. Keduanya menjalani hidup yang sama sekali berbeda. Sampai aku berpikir, sebenarnya hidup itu apa ya....

Mbakyu-ku yang pertama punya otak cemerlang, ber-IQ tinggi, suka matematika. Maka ia memilih jalur akuntansi, di perguruan tinggi negeri paling top. Ia tahu apa yang diinginkannya, dan menginginkan segala sesuatu berjalan sesuai rencananya. Saat ini ia sudah bekerja di perusahaan asing dengan karir cemerlang di daerah pinggiran Jakarta, yang memakan waktu perjalanan satu jam lebih sekali perjalanan. Oh ya, ia sudah menikah, dan mencintai ibukota.

Mbakyu-ku yang kedua mencintai seni. Maka ia pilih jalur seni di perguruan tinggi negeri yang bukan nomor satu di Bali, tapi hidupnya hampir selalu dikelilingi seniman. Ia tahu apa yang diinginkannya, dan kesimpulannya ia lebih senang hidup tanpa diperintah atasan. Maka ia menjalani bisnis sendiri. Saat ini ia hidup bersama keluarganya di kaki gunung di daerah Yogyakarta, mencintai alam natural dengan tempo cenderung lambat.

Lalu aku jadi membandingkan dengan cerita orang kota yang melihat nelayan yang menurutnya hanya bermalas-malasan memancing ikan di pinggir laut. "Kenapa kamu hanya duduk-duduk memancing ikan? Bukankah masih banyak hal-hal lain yang perlu dikerjakan?" Lalu si nelayan menjawab,"Bapak sendiri, susah-susah bekerja sebenernya kalo pensiun juga ingin bermalas-malasan kan Pak? Itulah yang sedang saya lakukan sekarang...."

Memang sih, cerita tentang mbakyu-mbakyuku di atas lebih menampakkan permukaan saja, walaupun sebenarnya sangat menggambarkan beda kepribadian mereka. Tetapi aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya hidup mencari dan meraih ini-itu sebenarnya kan bertujuan sama: mencapai ketenangan hidup.... Ah, ternyata kadang-kadang aku masih bingung....

(Btw, I love you all sis....)

Monday, October 10, 2005

Beautiful Stranger

Terkadang, kita berpapasan dengan seseorang tak dikenal, tapi berkesan. Tak dikenal maksudnya: bertemu di satu titik tempat dan satu titik waktu, berhubungan sesaat di titik itu, kemudian berlalu. Berkesan karena: walaupun kita sering bersinggungan dengan banyak orang tak dikenal, hanya satu dua yang membekas dan diingat.

Seperti pertemuan saya dengan Tina.

Ia single mother, putrinya berumur 15, walaupun Tina sendiri tampak masih muda. Ia wanita african-american yang menurut saya luar biasa. Pindah dari California ke Washington DC, ia bekerja di tiga tempat. Bekerja di Hecht's jika dibutuhkan (on-call), I need more discounts for christmas. Tempat kerja satunya di kantor pemerintah yang mengurus perumahan (saya lupa namanya), that's how I know a good place to stay with a good price. Dan di sebuah condominium tempat ia menjadi receptionist, I work for really looong hours here, sometimes 8am to 10pm. Dan ia cuma punya hari libur setiap Senin, dua minggu sekali, when I have time to have a good long sleep....

Saya berjumpa dengannya di satu sore yang basah, menyapanya untuk menanyakan bus menuju station metro terdekat. Ia bertanya," memang tujuanmu sebenarnya ke mana?" "Union Station". "Well, that's quite far, but I'm going to have a break soon and I'm going to Connecticut Ave where I can drop you off." Tentu saja tak saya tolak tawarannya. Menunggu taksi akan memakan waktu lebih lama lagi pikir saya. Dan saat kami meluncur itulah ia banyak bercerita.

Menyambung pembicaraan tentang kesibukannya bekerja, saya jadi bertanya-tanya dalam hati. Memang hidup di Washington DC tidak mudah, apalagi ia single mother. Tapi tanpa saya tanya ia sudah menuturkan alasannya. Putri tercinta. "I'm very proud of her. She can speak two foreign language, Spanish and French." Waktu anaknya kecil dan diasuh hispanic baby-sitter, Tina melarang anaknya menonton TV (it's a stupid waste-of-time box and I hate that purple Barney) dan cuma boleh diajak bicara in spanish. Berbahasa Inggris hanya jika sang putri bercakap dengan ibunya. Tumbuhlah ia dengan dua bahasa, plus les tambahan bahasa lainnya. And she plays music, too. Putrinya-lah tempat ia menambat mimpi. Mimpi-mimpi yang tak sempat disinggahi dalam kesibukannya sendiri. Tak lupa saya ceritakan tentang diri saya, perjalanan ke DC, dan putra tercinta (Are you married? Yes. Tapi saya tak banyak cerita soal suami karena enggan menyinggung dirinya).

Ia menyelingi dengan menunjukkan barang belanjaanya untuk putri tercinta, plus untuk dirinya sendiri (I bought this Armani perfume just because I love the free handbag, can you believe that...?) Saya menyungging senyum," Hey, what woman who doesn't like shopping...?" Pembicaraan kami akhirnya terputus (...I'm gonna drive my father to NC with his new truck which I bought for him....), karena saya sudah sampai di metro station. "Thank you so much Tina, you really save my day...." Dengan keingintahuan yang sudah terjawab "I know you are a good person, so I'm glad I can be of any help."

Well, I know you're a good person too, Tina. Giving a ride to a complete stranger.... whom you know for only a half hour.

Tuesday, September 27, 2005

Suara Itu

Suara itu selalu datang dari sebelah kiri. Di atas pundak, di belakang telinga. Dengan posisi itu aku tak pernah mampu menatapnya. Atau lebih tepat, aku tak punya keberanian untuk memeta wajahnya. Dengar suaranya saja aku selalu tunduk. Karena ia selalu datang saat aku gentar.

Seperti empat minggu lalu. Suaranya sayup menerpa tanpa pertanda.

"Kamu alpa?"
"Ya... lagi-lagi" Suaraku lirih, mataku menerawang kancing baju.
"Tapi kali ini, aku nggak akan menghindar. Atau cari-cari alasan," tambahku, dalam bisikan yang hanya mampu sampai di telinganya. Kami terdiam sekian detik, dengan hatiku yang berdebar gentar.
"Kenapa...?"
"Karena aku abaikan semua pertandamu yang lirih. Aku sepelekan suara sekitar yang peduli..."
Ia tak bersuara, tapi aku rasakan tajam tatapnya di kudukku.
"Kenapa...?"
"Karena aku tak mendengarmu sebelum kamu bersuara...."
Kali ini kurasakan tatapnya melunak, tapi desahnya menggemakan sedih.
"Kamu tahu...."
"Ya, aku tahu. Kamu tak akan menamparku kalau saja aku sadar, siuman."
Tanpa ia tumpah ucap pun aku serasa mengerut menjadi cacing. Kalau saja aku mampu menyusup ke tanah....

Aku rasakan hembusnya yang beranjak pergi. Aku tergeragap.
"Tolong... jangan pergi."
"Aku perlu ditemani...." mohonku nyaris meratap.
"Aku tidak akan memberi beban yang melebihi berat tubuhmu. Sudah saatnya kamu menatap silau matahari yang kaunikmati sinarnya, walau untuk sesaat kamu harus buta...."
"Bukan itu.... ada yang ingin kutanya."
Suaranya tak lagi menjauh, kurasakan lagi hembusnya di belakang telinga,"Apa yang ingin kamu ungkap?"
"Aku... sudah berhitung. Kali ini, mungkin yang kedua."
Suaraku bertambah berat," Bukankan segalanya diakhiri hitungan ketiga?"

Kali ini hening terasa menembus dinding. Aku makin tunduk, menghitungi detik.
"Mungkin... semuanya akan diakhiri hitungan ketiga. Atau diawali pada hitungan ketiga."
"Aku... takut..." Akhirnya aku mengakui ciut hatiku, tanpa topeng.
Dan dengan desahnya yang serupa senyuman, kudengar ia beranjak pergi.

Kali ini aku menoleh, mencarinya di sebelah kiri belakang telingaku. Tentu saja ia sudah lenyap, secepat datangnya yang tak diundang.
Tiba-tiba, rasa takut itu lenyap. Hatiku kosong seperti dihirup sedotan. Dan mataku basah.

Thursday, September 22, 2005

[Dua lumit]

Runi terkasih,
Terimakasih untuk sayap indahmu. Percayalah, kamu bisa terbang tanpa aku.
Kamu tahu, bukan padamu aku marah. Bukan pada nasib aku kecewa. Andai kamu melihat mata tua itu Runi, mungkin kamu mengerti. Remang tanpa masa depan, kehilangan harap dan percaya. Mata yang berkaca tanpa lelehan. Sejenak aku sudah menjadi dia.

Sejak lama aku sadar sudah berbeda. Bukan karena aku mau, tetapi anak-anak tetangga yang setiap hari mengingatkanku. Walau kami berlari di gang yang sama, memancing di empang yang itu juga. Aku belajar menerima perbedaanku dengan menghindari pertengkaran, berbuat ekstra baik terhadap orang yang kukenal. Semua kulakukan supaya kami bisa diterima. Tetapi mereka yang selalu mengejek dan meneriaki setetes kesalahanku. Kamu tahu, akulah yang dipukul mama kalau sampai ribut dengan anak tetangga, tak peduli bukan aku biang keladinya?

Anak-anak tetanggaku itu menjadi besar sepertiku. Mereka baik terhadapku dan selalu bermain bersama sepanjang sekolah. Tetapi setiap ada lomba dan acara, merekalah yang terpilih dan bukan aku, tak peduli siapa yang lebih baik. Percayakah kamu bahwa itu semua nasib? Kalau kamu percaya, mengapa orang lain yang mengatur nasibku? Walau setelah dewasa mereka sungguh baik terhadapku, bukankah suara masa kanak jauh lebih jujur apa adanya? Benar, aku berbeda. Entah apapun usahaku menghapus semua itu. Dan sekarang.... mata tua itu jadi saksi. Sekaligus pemantik bara dalam darahku.

Runi terkasih,
Kamu adalah bagian terindah dalam hidupku. Karena hanya kamu yang menerima aku apa adanya. Dan sayapmu yang indah membawaku melayang melintasi cakrawala. Tetaplah terbang, Sayang. Karena kamu bersinar saat singgah di awan.

Aku bersimpuh untuk merenggutmu melayang bersamaku. Tapi aku tak mampu. Bumi pijakanmu terlalu kuat menawanmu.....

*****

ga usah diperjelas deh awal dan sesudahnya... ini kitaran 1998


Friday, August 26, 2005

[Sekelumit]

...Love had given me wings so I must fly....

Sekelumit yang kuingat saat kita menonton berdua, Jalu, entah apa filmnya. Tetapi selalu terngiang kala kita bersama. Denganmu aku mampu melayang walau canggung, mampu menukik tanpa harus terbentur. Karenamu aku menyusuri jembatan pelangi, menggarisi senja yang jingga, menyibak setapak cakrawala.

Aku harus terbang, Jalu. Karena aku diberi sayap untuk melayang. Setinggi yang aku sanggup, sejauh yang aku mampu. Tidakkah kaulihat, sayapku mampu mengarung jarak? Tidakkah kau ecap nikmat kapas awan di ketinggian udara?

Tetapi sekarang sayapku patah. Tergeletak di tanah basah menggiris ngilu. Aku berusaha menyeret sayap-sayapku, tapi bumi terlalu kuat menawanku. Aku rawat luka-lukanya supaya sembuh seperti dulu, tapi patahannya malah memberati ragaku.

Aku mengerti kamu marah, Jalu. Marah terhadap perbedaan kita. Marah terhadap nasib ‘bangsamu’ yang porak poranda. Ah, bahkan kamu sudah memakai kata itu. Bangsamu dan bangsaku. Tidakkah kau mau menyingkap yang sebenarnya? Bahwa mereka adalah mereka dan bukan karena bangsa? Bahwa orang biadab yang merenggut kehidupan saudaramu tidak sama dengan tetangga mamamu? Bahwa aku adalah aku? Bahwa kita menjejak bumi yang sama, beratap langit yang itu juga?

Aku ingin menggapai kamu, tapi aku tak tahu kemana harus menuju. Aku ingin kamu kembali menyentuh sayap patahku, supaya ia bisa mengangkatku lagi. Tolong bisikkan padaku, kemana aku harus menyeret sayapku, Jalu. Karena aku tahu akan sembuh... kalau saja kamu mengajakku untuk memahami. Dan belajar terbang lagi....

*****

Gue pingin banget nulis, karena memang ada yang pingin ditulis. Tapi sekarang weekend, udah malem lagi, otak males diajak mikir. Jadi gue post aja ini, sekelumit dari tulisan yang sudah lama tak tersentuh.... Oh iya, tunggu kelanjutannya: surat balasan dari Jalu buat ceweknya ini.

Sunday, August 14, 2005

Dua kali lipat

Sejak ia ada, ia menjadi bayangku yang hidup. Membuat tubuhku tidak hanya satu, tetapi dua. Dan diriku yang dua melakukan segalanya dua kali lipat.

Aku terbangun di pagi hari dua kali; saat diriku bangun, dan kemudian saat dirinya bangun dan meneriakkan namaku minta ditemani. Aku sarapan dua kali; saat kulahap sarapanku terburu dan kemudian saat kutemani -terkadang kusuapi- makannya yang lambat sambil bercakap. Aku berangkat kerja dua kali; saat kuantar ia ketempat kerjanya -which is playing, actually-, kemudian saat aku sampai di tempat kerja. Terkadang aku makan siang pun dua kali, makan siangku dan makan siangnya.

Salah satu yang kunikmati adalah aku bermain dua kali lipat; saat aku bermain di senggangku dan kemudian saat bermain dengannya. Mandipun aku dua kali, mandiku dan saat aku memandikannya. Satu hal lagi yang kusukai: aku membaca dua kali lipat, bukuku dan bukunya. Aku bernyanyi dua kali lebih banyak, menonton dua macam film, berjalan-jalan ke dua tempat. Laguku dan lagunya, filmku dan filmnya, tempat yang kusuka dan tempat bermainnya.

Terkadang saat ia sakit, aku merasa dua kali lebih sakit, even beg to give away his pain for me. Saat ia sedih dan menangis, hatiku ditoreh dua kali. Kala ia jatuh aku menghiburnya dua kali lebih banyak. Waktu ia belajar menjadi bocah besar, aku berharap bisa belajar jadi orang tua dua kali lebih baik.

Sejak ia ada, ia menjadi bayangku yang hidup. Membuat aku tak lagi satu, tetapi dua. Dan semuanya menjadi dua kali lipat. Kecuali satu. Waktuku sendiri menjadi dua kali lebih sedikit. And guess what? I never ever regret it. Malahan saat ia bahagia aku diberi tawa dua kali lipat lebih banyak. Wrong... tepatnya, kebahagiaanku belipat-lipat saat ia tertawa bahagia... And nothing can beat that feeling.

Wednesday, August 03, 2005

Anonymous

I really have loads of matters to write right now, even too much to just stay on my fingertips.... But it also too much that it weighs my heart, I just stare at the blank screen. You my dear blog, are just like a kid, a plain white page without a scratch, patiently waiting for me to fill you in. Once I splash the ink, nothing can wipe it, no paint will conceal it. It stays forever, even if I try to rub the stain.

And though I believe you as much to understand my heart, you, just like a kid, will candidly say it to the whole world. Say it naively to a world of bias and bigotry. Sometimes a world that loves cute fictions rather than reality. Sometimes a world that makes you an enemy. And that is why, my dear blog, I wish I were anonymous sometimes…. Where you can be my space to vomit as well as to splash a rejoice poetry.

Wednesday, July 20, 2005

Check This Out

Please check out my new collection here: Jingga Gems. Thanks!

My collections also displayed at Watermark Gallery, downtown Baltimore. The owner is Manzar, a great painting artist who also taught me to see a jewelry as a piece of art, rather than just making it for a good sale. Some of them are good compositions, color harmony, flowing-vision, scale, texture, distraction, etc. In fact, there is a major on jewelry design at some universities in US. Well, to be frankly, I did not think of my pieces that way though, simply just following my hand, intuition, trial & error. But since I know now, I guess that would be a great way to start doing it as I would design something else....

Friday, July 15, 2005

Fireworks

Damian menengadah ke langit-langit.
"Di mana?" Tanyaku.
"Tu... di sana...." Telunjuknya menunjuk satu titik di langit-langit ruangan, enam puluh derajat dari horisontal.
"Oh iya... itu dia," ucapku gembira, terbawa antusiasnya.
Damian tersenyum dan matanya mengerjap-ngerjap cepat.
"Memangnya Damian lihat apa...?" pancingku melirik, ingin tahu, sekaligus tak ingin salah menebak.
Matanya mengerjap-ngerjap cepat tak henti, telunjuknya menunjuk langit-langit.
"Itu... fireworks, ma...." Sekarang suaranya menimpali dengan bunyi,"Dum... dum... dum...."


Ah ya.... aku ikut menengadah lagi, mengerjapkan mata cepat... Itu dia fireworks-nya! Kami menikmati kerlip itu bersama, di dalam ruang ditimpali rintik gerimis. Tersenyum sambil mengerjapkan mata....

I'm amazed how he's just so full of imagination.

(Posting ini juga buat Tante Neenoy yang pingin lihat fireworks.... dari Damian)

Monday, July 11, 2005

Freedom

Di January 1941, President Roosevelt mengutarakan pidato tahunan di depan kongres Amerika. Isinya mengenai konsep "four freedom": Freedom of Speech, Freedom of Worship, Freedom from Want, and Freedom from Fear. Konsep ini kemudian digunakan sebagai promosi publik saat pengerahan perang dunia II, dibantu dengan ilustrasi dari Norman Rockwell di harian Saturday Evening Post, dua tahun kemudian.

Di ruang makan kami tergantung dua poster reproduksi karya Norman Rockwell ini: Freedom of Speech, dan Freedom from fear. Keduanya membuat saya menyimak lebih jauh. Kebebasan, terkadang jadi salah guna, bahkan bumerang, jika diterapkan berlebihan.

Saat orang di sini (US) bebas bicara dan berekspresi, terkadang jadi kurang mendengarkan. Mereka sangat pandai dalam berucap, mengemukakan pikirannya, sehingga ke-aku-annya menjadi sangat penting. Satu hal yang menurut saya jadi bumerang dalam Freedom of Speech ini contohnya adalah pengesahan hukum pernikahan sesama jenis (di beberapa negara bagian). Argumennya semata-mata adalah rasio, selain didukung kebebasan ekspresi kelompok gay. Selain itu adalah keinginan mereka untuk memilik keturunan yang sah dengan hak-hak yang sama seperti orang tua lainnya. Dan kerena hampir segala hal di sini berdasar rasio semata, tampaknya sudah sangat sulit mencari alasan lain untuk menolak hukum ini. Saya bukan orang yang sangat religius, apalagi rasis. Saya menghormati kebebasan orang lain, tetapi di lain pihak saya masih percaya ada hal-hal yang sudah diatur dari 'sananya' (haa... Indonesia banget!); salah satunya adalah pernikahan antara dua lawan jenis (+ anak yang memiliki ayah-pria dan ibu-wanita).

Dan freedom of Speech (and expression) saat dulu didengungkan dan jadi landasan berpikir orang-orang di US, buat saya konteksnya jadi berbeda ketika diterapkan di pop culture seperti sekarang. Maka saya sudah nggak heran lagi dengan orang di sini yang pandai bersilat lidah. Malah kalau kamu bertengkar dengan orang boleh bersumpah-serapah f**k, sh*t, a**h***, s*c* dan sejenisnya, asal tangan nggak ikutan bicara!

Dari poster Freedom from Fear, saya lihat bapak dan ibu yang menyelimuti dua anaknya. Kalau diperhatikan, koran yang dipegang si bapak punya headline ini: "Bombing k.... horror hit....". Kalau saya cari asal pidatonya Roosevelt, terjemahan bebas konsep satu ini kira-kira demikian: "...pengurangan kekuatan senjata di seluruh dunia sehingga nggak ada negara yang mampu melakukan agresi fisik terhadap negara tetangga, di manapun di dunia".

Makanya nggak heran sekarang US jadi polisi dunia, malah sibuk menyerang negara lain. Mungkin maksudnya menerapkan "Freedom from fear". Supaya anak-anaknya bisa tidur nyenyak. Tapi mudah-mudahan ia juga sadar, begitu menyerang negara lain, negaranya sendiri jadi nggak bisa tenang. Masih ingat penyerangan US ke Irak disebut Operation Iraqi Freedom? Dan freedom from fear ini sudah jadi bumerang, karena headline di koran lukisannya Norman Rockwell persis sama seperti headline koran yang dipegang bapak-bapak jaman sekarang....

(Ditulis mengingat kemerdekaan US tanggal 4 Juli lalu, disusul pengeboman di London, Inggris yang sekutunya US)

Thursday, June 16, 2005

Treasure

What good is a victory if it wounded another body...?
What good is a speech if it offended another heart...?
What good is a work if the object is unaware...?
What good is a plan if it not be executed...?
What good is a success if it's only your perceptive...?
What good is a cruise if you're sailing alone...?
What good is a medicine if you're feeling sick...?
What good is a diamond if you don't keep it...?

Saturday, June 11, 2005

Today

Sekarang weekend. Jam 12.30am. Enggak, aku nggak imsonia. Lagi menikmati secangkir coklat, dan baru menyelesaikan setangkup roti. Ya, tadi aku melewatkan makan malam. Dan sekarang, tiba-tiba aku memiliki waktu sebentar, buat menikmati hening. Let's see... hari ini (ah, sudah kemarin ternyata) agak melelahkan. Aku tidur-bangun karena Damian juga begitu. Lagi sakit dia, beberapa hari ini badannya panas. Akhirnya pagi-pagi aku telepon dokter bikin janji, hari ini juga, jam satu siang.

Lalu aku menelepon tempat kerja, minta ijin nggak masuk. Aku beruntung sekali bisa part-time di tempat yang waktunya cukup fleksibel begini, padahal baru tiga hari yang lalu minta ijin off. Setelah itu aku coba telepon seorang artis yang punya art gallery di downtown. Kami berjumpa di craft fair seminggu lalu, dan wanita asal Iran ini menawarkan untuk consignment jewelry yang kubuat di gallery-nya. Aku cuma bisa meninggalkan pesan di answering machine, i had no idea what her gallery hours is. Btw, aku cukup senang dengan hasil show minggu lalu. Senang hasil karyaku diapresiasi, dan jadi tahu apa yang disukai pembeli. Aku sempat berkenalan dengan pemilik tenda sebelah, yang menjual art & craft asal Peru. Jadi kepikiran, art & craft Indonesia nggak kalah dan lebih bagus dimataku, gimana ya caranya supaya bisa dipasarkan di sini. Hmm... catatan yang satu ini bakal kusimpan dulu di laci, sambil cari info lagi.

Sepagian Damian tidur lagi, enggan makan. Sedih melihat anak yang biasanya berloncatan dan banyak tanya ini cuma berbaring saja, yang biasanya mau makan apa saja menolak ditawari makanan enak. Setelah kubawa ke dokter, diagnosanya nggak mengkuatirkan. "He's suppose to be alright in a couple of days". Ya, aku berdoa semoga begitu adanya, can't wait 'till Sunday when it happens... Setelah beli obat, sampai rumah aku bujuk Damian makan sup, dan ia segera tertidur lagi setelah minum obat. Setelah makan siangku yang terlambat dan istirahat sebentar, Damian bangun lagi dan menolak diajak bermain. Tak lama bersiap kami berangkat menjemput my hubby, dan menuju pertokoan, membeli hadiah perkawinan seorang teman besok, dan hadiah lainnya. Aku ingin segera sampai rumah karena ingin Damian cepat istirahat lagi, dan ternyata sudah jam sembilan malam setiba di rumah, ditambah ada sedikit masalah dengan jendela mobil. Hmphh... Lalu Damian kumandikan, makan lagi sedikit, minum obat, dan baru tertidur lagi jam sebelas lebih.

Dan sekarang, here I am. At 1am. Penasaran melihat postingku setahun lalu. Lagi apa aku setahun lalu, di waktu yang sama? Ah, ternyata waktu itu komputer crash. Tepat setelah kami balik dari NY. Dan baru dua minggu lalu kami kembali lagi ke New York, one of my favorite cities I've known. Dan sekarang aku sudah kehilangan kata-kata buat menceritakannya, dan perasaanku masih sama seperti setahun lalu kami ke sana. Soal ini aku nggak bisa terapkan kata-kata bijak Edna," I don't look back, Darling... It distracted from the now...." Because sometimes, I do looking back, and enjoy it. Soal tokoh film yang satu ini, aku suka karakternya yang menonjol walau cuma muncul sebentar. Ia bukan tokoh utama, tetapi ia ada dan membekas... Ahh aku jadi melantur, mungkin sebaiknya aku tidur....


This posting is also dedicated to my dear sisters, whom I miss so much sometimes but didn't have a chance to talk as much as we used to.... and chat about every little details of our lives.

Thursday, May 26, 2005

Still....

Maaf ya,
Seperti biasa, untuk urusan selamat
(terutama acara selamat setiap tahun)
seringkali aku terlambat.
Lagi-lagi, aku diingatkan orang lain
bahwa usiamu sudah bertambah satu annum.

Kamu, yang muncul tak disengaja
kamu, yang kusimpan di satu laci terbuka
Buat memerahkan otakku yang beku
dan memutihkan hatiku yang menyala
Kamu, yang apa adanya tanpa cela
Jadi curahan dan meluruskan jalan

Karena kamu juga aku bertemu pribadi lain
pribadi maya yang tak penting lagi fisiknya
tak penting lagi lokasinya, materinya
pribadi tanpa wajah yang banyak cerita
isi yang lebih penting dari bungkusnya
(ah ya, seringkali aku tersenyum bersama mereka,
terkadang menitikkan air mata)

Terkadang aku ingin mencaci di lembarmu
ingin menetesi serapah di sekujurmu
Tapi dengan tombol publish yang sakti itu
kamu tak lagi subyektif buatku
kamu sudah jadi obyektif, penjernih
kamu ada walau aku jarang berkunjung
kamu sedia saat aku ingin bertutur

Selamat satu tahun blogku.
(kamu membuat curahan jadi berarti,
tak sekedar gundukan rasio dan emosi)

Tuesday, May 24, 2005

Journey

Congratulations, my dear hubby. Despite everything you've been through, you've done it all. Yourself.

And it was yesterday that I waved my hand happily, norakly, to people outside. "Hey... it's mine... it's ours... it's mine...!" Yup. My hubby. My son. Our ride. Yayy....

Thursday, May 19, 2005

Incredibles

Gara-gara keseringan nonton Incredibles (yup, ketularan Damian), ada quotes menarik yang menari-nari di kepala saya:

Edna: "Luck prefers the prepared."
(do you believe luck chooses you because you've done nothing?)

Syndrome: "When everybody's super... then no one will be..."
(if i'm everything then i'm nothing)

Update Laci Satunya

Hmmm... ternyata makan waktu juga ngapdet blog yang satu ini: jingga gems.
Ini pun belum benar-benar selesai... hmmm.....

Tuesday, May 10, 2005

Putih

Diusung intip surya pagi, aku putih hari ini. Warna indah busur pelangi membaur, sembunyi. Seribu warna yang memang putih asalnya. Kala putih itu muncul, silaunya membutakan indera. Membungkus otak, merayapi raga.

Kala bajuku putih, enggankah kamu menodainya? Kala hatiku putih, tegakah kamu semburatkan darahnya? Dan saat helai itu congkak kilaunya, ia memohon dirapati barisan abjad. Dilitani doa, diurapi berkat. Huruf itu melayang sebelum ditulisi, otak itu mengawang sebelum dicermati. Seperti awan yang enggan menurunkan hujan, atau bunga yang urung mekar. Kata-kata yang hilang ucap, atau petuah basi dalam nasihat.

Tidakkah indah putih itu. Melambai memanggil dalam damai. Menguasai tanpa tendensi. Menyerah tanpa kalah. Menitahmu mencuci muka, tangan, dan kaki. Membisikimu putih rasio, melumat merah emosi. Mendamparkanmu dalam hening, menyegarkan dalam bening.

Diusung intip surya pagi, aku putih hari ini. Ingin menyamari tembok untuk tak dikenali. Merelakan diri untuk dicoreti.


Tuesday, April 26, 2005

The Namesake


What's in a name? Nama, suatu identitas yang menempel di tubuh seseorang. Seperti tattoo, tompel, hidung mancung, kulit hitam, mata sipit. Nama ada sejak lahir, otomatis, dan susah lepas. Dan pertanyaan what's in a name mendadak jadi sangat penting. Jika nama itu jadi masalah buat pemakainya. Apalagi sampai menimbulkan krisis identitas. Konsep nama sejenis ini diusung oleh Jhumpa Lahiri dalam novelnya The Namesake.

Dilatarbelakangi kehidupan sepasang imigran india di Amerika, persoalan nama menjadi masalah besar saat sang istri melahirkan putra pertama. Karena menurut tradisi India, nama ini harus diberikan oleh sang nenek yang ada di belahan Calcutta. Karena surat berisi nama sang putra nyasar entah ke mana (yup, belum ada email!), terjadilah 'kesalahan' pertama sejak si anak masih bayi. Ia dinamai Gogol Ganguli. Gogol, sebagaimana dalam Nikolai Gogol, penulis Rusia favorit yang juga jadi bagian sejarah hidup sang ayah.

Semuanya ini ditampilkan mengalir dan menarik, terbukti Lahiri adalah penulis yang piawai dalam menyusun alur cerita. Dan ceritanya terus berlanjut, hingga Gogol menjadi dewasa, sekolah, pacaran, sex pertama, menikah, dan seterusnya. Yang menarik adalah rajutan hidup orang tua Gogol sebagai imigran yang sebagian hatinya tertambat di India, di lain pihak sebagian tradisinya mengadaptasi kehidupan sebagai 'american'. Konflik ini berpengaruh sepanjang hidup Gogol, seperti namanya yang tidak India dan tidak pula Amerika. Hingga akhirnya Gogol berkeputusan untuk maju ke pengadilan, dan merubah namanya. Saat sang hakim bertanya 'mengapa', jawban Gogol singkat saja,"Because I've always hate the name." Perubahan nama ini tidak menjadi klimaks, malah jadi tiang pancang putusnya hubungan Gogol dengan sejarah sang ayah. Ia menjalani babak baru dengan lebih Amerika, menjauhi akarnya yang India.

Tokoh Gogol mungkin mewakili garis kedua kebanyakan imigran di Amerika, tak hanya imigran India. Kehidupan dalam dua budaya yang terkadang menimbulkan konflik, menghasilkan species pribadi baru. Satunya adalah jenis yang menolak beradaptasi dalam dua kultur yang ada, bahkan melarikan diri ke dalam kultur yang lain (diwakili Moushumi). Lainnya adalah species Gogol, yang mampu beradaptasi dan cenderung mencari identitas di kultur yang baru. Kesamaan keduanya, mungkin sekali pencarian identitas ini tidak akan membuahkan solusi, selain kesadaran untuk berdamai dengan diri sendiri.

Sayangnya, walau kehidupan Gogol diceritakan dengan menarik, saya kehilangan pemikiran seorang Gogol dalam buku ini. Ia menjadi tokoh sentral tetapi kepribadiannya samar, bahkan pada saat usianya menginjak 30. Atau mungkin, penulis memang sengaja membuatnya demikian. Jhumpa Lahiri adalah peraih pulitzer yang menanjak dengan cerita semacam ini, jenis cerita yang selalu menarik minat saya, mengenai akar. Kalau mau dikasih rating, buat saya buku ini dua tingkat di atas Joy Luck Club-nya Amy Tan, tapi belum bisa disejajarkan dengan Ignorance-nya Milan Kundera.

Pada akhirnya, nama menjadi satu hal penting; karena seperti rumah, nama adalah tempat seorang anak bisa pulang. Tempat ia merasa nyaman dan menemukan dirinya.


Thursday, April 21, 2005

Prasangka

Heran, sampai sekarang orang masih juga menilai orang lain dari penampilan. Waktu belum lama lulus kuliah dan mulai kerja, aku berjumpa kawan lama dan makan siang bersama. Sejak SMP kami nggak pernah bertukar sapa, dan saat itu barulah kami bercerita panjang lebar. Saat itu aku cuma bercelana jeans dan berkaus, masih berbau mahasiswi. Kawanku akhirnya tak tahan berucap," Yaa ampun, nggak sangka deh elo tu lulusan i**, kerjanya jadi a***t** lagi...." sambil pandangannya menelusuri ujung rambut sampai ujung kakiku. Waa... yang ada aku jadi heran, memang kenapa...? Usut punya usut, kawanku ini banyak gaul di kalangan artis, yang terkadang walau urusan kerjaannya seret, penampilan harus tetap wah dan jaim. Karena penampilan memang dibutuhkan di bidangnya, kalau nggak siapa yang mau pake?

Banyak kejadian lain yang serupa. Kalau aku liburan, belum mandi dan menemani ibu belanja di pasar tradisional lalu bertemu kawannya,"Ini anaknya, Bu?" "Kok nggak pernah kelihatan?" "Ohh... kerjanya di S****p***?" Lalu ia manggut-manggut tapi wajahnya kelihatan sekali nggak percaya. Hoahaha....

Belum lama seorang teman yang membaca blogku berkomentar,"Aduh... nggak nyangka deh kamu bisa nulis begitu rupa...". Mungkin setiap kali berjumpa di acara khusus, penampilanku jauh dari kesan suka baca, apalagi nulis! Wah, sering sekali aku ngalamin yang kayak beginian, sampai-sampai aku jadi nggak peduli lagi dibilang orang aku ini orangnya gimana dan kayak apa.

Yang bahaya, ternyata prasangka macam ini terselip juga dalam diri. Saat aku berkenalan dengan orang lain pertama kali, saat menyadari ketidakcocokan dengan kawan, saat mendengar curhat sahabat lama, saat berhadapan dengan perbedaan. Karena nggak cuma aku, orang lain pun berubah. Karena nggak cuma aku, orang lain pun berbeda. Dengan alasannya masing-masing.

Tuesday, April 12, 2005

Semi, Sakura

Image hosted by Photobucket.comTidal Basin, di pagi musim semi yang cerah. Karena bukan akhir minggu, keindahan dan ketenangannya ternikmati, di sela barisan orang yang mengitari air. Bunga Sakura berada di puncak kembangnya, berwarna merah muda manis, melingkari danau hijau serupa cincin. Langit biru terang tersapu kabut awan horisontal, angin sejuk mencubiti kulit. Jefferson Memorial di garis cakrawala jadi titik bidik postcard yang sempurna. Helai sakura yang mulai rontok terbawa angin seperti taburan kertas kecil, terdampar mengambang di danau yang beriak dilewati sepasang bebek yang berkejaran.

Sepasang kekasih menabur bisik mesra, mengawali musim yang penuh janji. Sepasang orang tua duduk-duduk bernaung rimbun bunga, menikmati senja usia di tiap detiknya. Rombongan anak sekolah berbaris sibuk menunjuk berbagai arah. Seorang fotografer merekam momen yang hanya ternikmati setahun sekali, di tempat ini. Setengah lusin turis muda berdarah Asia membuka jaketnya, mengira cuaca masih dingin. Seorang ibu muda dan anak toddlernya menyapa saya, meminta saya mengambil gambar mereka berdua. Saya mengangguk dan memanfaatkannya untuk gantian meminta tolong mengambil gambar saya bersama Damian. Senyum di pagi musim semi yang cerah. Klik.

(Setelahnya kami ke National Zoological Park. Karena dinaungi Smithsonian Institution, masuknya gratis tetapi pengelolaannya profesional. Sangat saya rekomendasikan untuk mengajak anak-anak bermain di kebon binatang ini!)

Monday, April 04, 2005

Anak Tangga

Tiga minggu belakangan aku magang di sini. Suatu kesempatan yang menyenangkan menebas rutinitas. Seperti halnya orang yang sudah lama tak naik sepeda dan kemudian mulai mengayuh lagi, aku mengalami hal yang sama. Sedikit grogi pada awalnya dan tiba-tiba semuanya berjalan mulus. Ah ya, tentu saja dengan tambahan polesan oli di sana-sini.

Anyway, tiba-tiba saja yang menjadi hal besar bukanlah soal apa yang kulakukan. Tapi menebas rutinitas seorang anak berusia dua setengah tahun yang nggak pernah terpisah dari ibunya. Aku telusuri semua artikel mengenai separation anxiety, dan kesimpulanku proses ini terjadi di berbagai anak tangga seorang bayi hingga menjadi bocah kecil. Sama saat ia lepas dari air susu ibunya dan ia menangis dua malam tak henti. Sama saat ditinggal pertama kali dengan eyangnya padahal selama dua jam saja. Belum lagi aku sendiri sama sekali nggak boleh ikut terbawa kesedihannya.

Baru setelah seminggu lebih kelihatan ia bisa menikmati kegiatannya di daycare sekaligus playgroup tempatnya bermain dan belajar. Dan aku kedapatan bonusnya setiap kami berangkat tidur malam. Damian mulai menyanyikan lagu-lagu favorit yang dipelajarinya. Twinkle Star, Bus, Friends, A-B-C, Spider, Baba Black Sheep, disela Balonku, Cecak, dll. Tapi di antara semua, ada satu lagu favoritku. Satu tembang Jawa yang sering kunyanyikan sejak dulu menjelang tidurnya, dan sekarang dinyanyikannya untukku dengan segala kelucuannya.

Bo-Bobo Damian sayang
isih cilik ta' kudang-kudang
ta' beri nastiti suci
'yen gedhe keno ta' sawang

lungo'no kandaku iki
dadio satrio utomo
ra' lio pengarepanku
wasis ing sembarang karyo...

Dan sekarang saat magangku selesai, aku akan menciuminya lagi semau hati. Suatu saat dulu, hitungan ciumanku berhenti di angka 59, padahal ia belum lagi tidur siang. Sekarang aku mau bayar hutang dulu... sampai puass... :)

Belasungkawa

Turut berduka atas wafatnya Pope John Paul II. Salah satu pemimpin dunia yang kematiannya dirundungi banyak negara, seseorang yang cinta damai, bahkan mendoakan orang yang mencoba membunuhnya.

Percikan seorang pemimimpin yang terlahir Karol Wojtyla di sini.

Wednesday, March 23, 2005

Puzzled

Kamu percaya alpha dan omega?
Bahwa semua berasal dari titik awal. Titik yang kadang muncul tersamar dan membesar perlahan-lahan. Kelak mungkin menghilang, mengendap tanpa ketahuan.

Belakangan ini banyak kepingan yang terserak dalam keseharian saya. Fragmen yang saya coba pasang tanpa tahu di mana awalnya. Ah ya, mungkin juga kepingan-kepingan ini tidak berasal dari satu gambar saja, melainkan bermacam layar yang kepingannya sempat terserak di masa lalu.

Saya percaya alpha dan omega, dan di antaranya terselip kabut dejavu... Ah ya, ini kepingan saya selama sebulan terakhir, saya catat karena penting... paling tidak buat saya.

Period. Alam rusa. Fever. Merah. ER. Whatnot. Solitari. Mimpi. Cipro. Losing friends. New friends. Pizza & food culture. Long sleep. Old friends. Queu. Hugs. Gigs. Phone call. Gertrude. Minority. Chagall. Cosmo. Koeli koentrak. Crawling. Dejavu. Damian. Transition. Mina. Humble. Decision. Honesty. Alam rusa. Period.

Intermezzo

Komen yang menarik dari posting sebelumnya: "So are you watching God too?"
I am watching God. Setiap kali melihat matahari bulat berwarna merah. Lebih sering di tepi barat karena saya tidak rajin bangun pagi. Mungkin saya lebih tepat hidup di jaman Mesir kuno, yang memuja Ra.


Monday, March 07, 2005

I'm Watching God....

Kalimat di atas adalah jawaban Janie, saat sesuara menanyakan apa yang sedang dilakukannya. Kala jawaban ini keluar, Janie selalu sedang berada dalam bening air sungai, sendirian berenang telentang menghadap langit, tanpa berkedip. Dan sebelum ia terjun ke air, berbagai peristiwa selalu mendului tindakannya ini. Kala sedih dan marah karena dipaksa menikah saat ia berusia 17, dengan lelaki tua berusia 50 yang kaya. Kala ia merasakan kebebasan saat suami keduanya yang diktator meninggal dunia. Dan saat ia merasa bahagia ketika menemukan eksistensi dirinya dan menjalani hidup menuruti kata hatinya. Saat ini ia sudah berusia 40 lebih dan baru ditinggal mati suami ketiga yang sangat dicintainya.

Janie, seorang perempuan berjiwa bebas yang hidup di tahun 30-an di Selatan Amerika, diperani oleh Halle Berry dalam film tivi "Their Eyes were Watching God", diproduseri oleh Oprah Winfrey. Keduanya perempuan african-american yang dijadikan ikon di kalangan selebriti amerika. Ceritanya sendiri diambil dari buku berjudul sama, karangan Zora N. Hurston. Dan yang jauh menarik minat saya ternyata adalah pengarangnya, yang saat meninggal dunia berada dalam kondisi miskin dengan nisan tak bernama. Selengkapnya tentang pengarang yang menurut saya sangat luar biasa di jamannya, bisa dilihat di sini: About Zora Neale Hurston

Seperti jernih dan segar yang menyejukkan dalam air, jawaban "I'm Watching God...." meluruhkan semua emosi yang lekat dari tubuh Janie sebelum terjun ke air. Dan kala ia telentang mengambang menghadap langit, ia berada dalam kebebasan, bahkan keluar dari dirinya sendiri, walau sejenak.

Monday, February 28, 2005

Ranting


Beautiful... cantik... cantik...
Hari ini surya enggan mengintip
Ia tahu ada tabir yang menguasai langit
Saat layar putih keperakan itu kembali menghempas
Aku sekian kali menahan nafas
Turun... abadi...

Lihatlah pohon beranting kering tak berdaun
Warnanya tak lagi coklat abu-abu
Ia dikuasai selaput debu putih tebal halus
hingga rantingnya membuat siluet perak di udara
dan warna coklat abu-abu itu menyerah, menjadi bayangnya
Ia, pohon tangguh yang tertempa musim dan masa
kali ini merendahkan diri pada lembut sapuan renda
... aku terpana ...

(...biarkan aku terus terpana, ya Maha
memandangi keajaiban setiap hari
seperti melihatnya pertama kali...)

Thursday, February 24, 2005

Gandhi dan Bahagia

Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony. -Mahatma Gandhi-

"........"
"Aku lagi nggak bahagia."
"Kenapa?"
"Kayaknya yang aku lakuin serba salah dan nggak sesuai kemauan...."
"Belum tentu kamu nggak bahagia."
"Kok kamu yang sok tahu, kan aku yang ngerasain?!"
"Coba aja rumusannya Gandhi...."
"Apa katanya?"
"Bahagia adalah saat apa yang kamu pikir, kamu ucap dan kamu lakukan berjalan selaras."
"Jadi?"
"Kalau tidak bahagia berarti pikiran, ucapan dan kelakuan jalan sendiri-sendiri."
"Menurutmu aku nggak masuk kategori nggak bahagia?"
"Nggak. Soalnya kamu sekarang lagi mikir kamu nggak bahagia, terus kamu bilang kamu nggak bahagia... jadi pikiran sama ucapan udah sejalan."
"Jadi kalau terus gue nangis karena merasa nggak bahagia itu artinya malah gue bahagia?"
"Iya, soalnya yang kamu pikir, omongin dan lakuin, semuanya harmonis. Kalau kamu malah ketawa-tawa sok bahagia malah artinya kamu nggak bahagia."
"Ah... kok malah jadi terbalik...?"
"Coba contoh lain aja ya?"
"Iya lah, yang gampangan, biar aku bisa curhat lagi...."
"Perhatikan deh kalau anak kecil lagi bahagia, menurut kamu gimana?"
"Emh... mereka bilang kalau senang, matanya bersinar-sinar, terus jadi jejingkrakan...."
"Nah... itulah puncak kebahagiaan mereka... dan karena masih kecil, mereka bebas mengekspresikannya...."
"Betul juga... berarti nggak susah ya merasa bahagia?"
"Paling nggak, kamu punya teman curhat saat sedih pun itu cukup membahagiakan."
"Lho kok jadi seperti orang Jawa...?"
"Maksudnya?"
"Biar kemalangan masih ada untungnya, hehehe... Kamu sendiri, kapan merasa paling bahagia?"
"Kalau sesuai guru Gandhi ya... waktu aku tidur...."
"Aku tahu... soalnya kamu nggak usah ngomong, nggak usah mikir, dan nggak usah ngerjain apa-apa...iya kan?"
"Betul, hehehe... tuh udah ngerti."
"Terus, yang nggak bahagia itu yang gimana ya?"
"Orang yang mikirnya sama ucapannya sama kelakuannya nggak harmonis...."
"Kedengarannya seperti hipokrit ya?"
"Betul, dan hipokrit itu...."
"Artinya nggak bisa atau menolak jadi diri sendiri."
"Betul lagi. Jadi kamu sudah menemukan puncak kebahagiaan kamu?"
"Saat aku bisa jadi diri sendiri...."
"......."
"Gimana... kok diam? Jadi diterusin nggak curhatnya?"
"Nggak deh, batal curhatnya, nggak penting... heheheh...."


Tuesday, February 22, 2005

Pada Sebatang Hujan

Pada sebatang hujan aku melihat tongkat peri. Tongkat bening tembus pandangan, ia tak halangi penglihatan. Kala tertimbun cahaya ia pantul buliran warna serupa pelangi. Aku tak kuasa melihat asalnya di udara, karena ibu peri melayangkan selendang kabutnya. Aku kehilangan remahnya, karena hujam batangnya menyesapi tanah. Saat telapakku menadah ia mencolekkan kesegaran di tubuh basah.

Pada sebatang hujan aku melihat tongkat peri. Kala ibu peri mendesah sabdanya, tongkat peri itu mengajakku bermain berlompatan dengannya. Kala ibu peri menggelegar marah, tongkat peri itu jadi peringatan sakit dan derita di batang beningnya. Dan karena ibu peri selalu baik hati, setiap kali tongkat peri diayunnya, tanah jadi harum dan bumi jadi bersih seperti habis dicuci...

Thursday, February 17, 2005

My Piece on BeadStyle Mag Community

I just feel ecstatic. Please click here: Forum Challenge to see my piece on Web Forum Challenge 3 of BeadStyle magazine online, and look for my name beside the picture along with edited description. All other pieces are gorgeous and I learned a lot from them.

I subscribed for Beadstyle magazine online December last year which has given me more ideas to create beaded jewelries. Then last January I joined the beaders forum which has about 60 000 members from around the world. Turned out I learn from others for more vision and better techniques. It just happened that on early February they have Web Forum Challenge for the third time and I decided to participate. It is not a formal competition whatsoever and members could send their piece as long as it has a theme of ‘monochromatic’ with certain guidelines.

I spent one night to create the necklace and took another day to take pictures. Just two days before due date I sent the pics files to the organizer who is a beader and also a writer of the magazine. She gave me compliment for my necklace which I really appreciated. And finally… yesterday they display all the results on Beadstyle magazine online! I’m so glad because I do need promotion on my jewelry… :)

You can also click here for better pictures: jingga gems.

Tuesday, February 15, 2005

African Violet


Seorang kawan yang baik memberikan bunga yang indah buat saya. African Violet, atau Saintpaulia, bunganya kecil berwarna ungu berdaun hijau tua. Menilik sejarahnya, tahun 1892 tanaman ini ditemukan oleh Baron Walter von Saint Paul di Pegunungan Usambara, Tanzania. Lalu ia mengirimkan benih tanaman ini untuk ayahnya di Germany, yang kemudian dibiakkan di Royal Botanical Gardens di Hanover. Nama Saintpaulia dipakai untuk menghormati penemunya: keluarga Saint Paul. Kenapa ada nama African-nya saya sendiri belum tahu.

Di Amerika tanaman ini diimpor dari Germany dan England di tahun 1926 oleh Armacost and Royston di California, yang kemudian membiakkan tanaman ini menjadi sepuluh jenis hybrid. Sejak saat itu African Violet berkembang menjadi tanaman rumah yang terkenal di dunia dan terpopuler di Amerika.

Waktu anak kawan saya ini meletakkan pot di ambang jendela, saya cuma terpana. Wah, tanamannya indah, tetapi saya merasa sama sekali tidak bertangan dingin buat merawat mahluk hidup yang tergolong hewan dan tumbuhan. Kalau nanti mati bagaimana? Lalu kawan saya yang american ini mulai menjelaskan,"...dipeliharanya gampang kok, tinggal disiram tiap hari tapi jangan terlalu basah dan daunnya nggak boleh kena air. Lalu harus kena cahaya tapi nggak boleh kena sinar matahari langsung...". Nah lho... tanaman apa yang nggak boleh basah dan nggak boleh kena matahari? Lalu ia menambahkan," This is the easiest home plant to take care of...." OMG...

Anyway, ada kejadian lucu saat kawan saya datang untuk makan siang saat itu. Soto ayam yang saya sajikan lengkap dengan aksesori kol, bawang, telor rebus dll. dituangnya dalam mangkok dengan kuah soto. Lalu di mangkok yang sama ternyata ia masukkan pula sambal goreng ati dan nasi! Saya terlambat memberi tahu, dan dia cuma tersenyum-senyum malu saat saya kasih tahu. Wah mungkin yang dia cari tahu adalah cara makan gado-gado, mudah-mudahan dia nggak kapok makan masakan Indonesia lagi...

Seminggu sejak hari itu, benar saja. African violet saya layu. Bunganya yang manis mengering redup jadi kehitaman. Mungkin karena udara terlalu dingin, mungkin terlalu banyak saya siram air, mungkin kurang sinar matahari karena musim ini matahari jarang muncul, mungkin memang saya nggak bakat pelihara tanaman.... dan seribu alasan lainnya saya putar di kepala, sambil sibuk memindahkan bunga itu dan mengeceknya tiga kali sehari. Dua hari kemudian saya pasrah, Saintpaulia tak lagi saya sirami. Setiap kali bertemu kawan saya, saya tak kuasa untuk bercerita soal ini.

Seminggu lalu tanaman itu saya sirami lagi. Saya pikir, toh daunnya masih ada dan segar. Paling tidak saya sudah mencoba memelihara tanaman ini. Dan tiga hari kemudian saya melompat-lompat diiringi Damian, pertanda saya sedang senang walau Damian nggak tahu apa yang terjadi. Horreee....bunga saya tumbuh lagi! Kelopaknya yang sederhana berwarna ungu dan bersari kuning itu tampak makin indah di mata saya....

Sometimes, you just have to let go but never give up hope.... !

Tuesday, February 08, 2005

Negara Maju dan Perda Larangan Merokok


Tulisan ini dibuat begitu membaca soal perda larangan merokok di KCM, selesai nggak sampai satu jam. Tadinya dikirim ke satu harian ibukota, tapi nggak yakin alamat emailnya benar. Mumpung belum lama, saya publish di sini aja.... :)

**********

Seperti biasa, ada satu kalimat sakti yang seringkali dipakai petinggi negeri: “…negara-negara maju sudah melakukan itu…” ucapan Gubernur Sutiyoso seperti dikutip KCM, 3 Februari. Betul, kita ingin suatu waktu menjadi seperti negara maju. Dalam hal ini mengacu pada negara atau negara bagian yang memberlakukan larangan merokok di tempat-tempat umum. Seperti di Singapura, negara bagian New York, Irlandia, diikuti negara Eropa Barat lainnya. Bagaimana dengan Jakarta?

Salah satu pertanyaan mendasar mengapa peraturan ini diberlakukan sudah terjawab: karena 30 persen infeksi saluran pernapasan atas (IPSA) disebabkan oleh pencemaran udara dalam ruangan. Dan salah satunya adalah asap rokok. Tapi banyak hal lain yang tidak terjelaskan, paling tidak oleh saya sebagai orang awam. Seperti: penyebab lain selain asap rokok apa? Dan yang lebih mendasar lagi: 70 persen pencemaran udara sisanya disebabkan oleh apa? Saya yakin jawabannya cukup rumit untuk dijelaskan seorang gubernur yang punya waktu sedikit sementara permasalahan kotanya sangat melimpah. Tapi buat saya penjelasan 'ingin seperti negara maju' sangatlah absurd, bisa dibilang terlalu memudahkan persoalan.

Marilah kita lihat Singapura misalnya. Negara yang penuh aturan ini sudah melarang iklan rokok sejak tahun 1970, menaikkan harga rokok, melarang keras merokok di tempat ber-AC dengan denda yang terpampang jelas. Bahkan sejak Agustus 2004 membuat peraturan bagi produsen untuk memasang gambar yang mengerikan tentang efek buruk rokok pada tubuh di kotak rokok yang dijual! Satu hal yang berlebihan, mengingat seorang perokok berat yang akan tetap merokok walaupun di kotaknya ditempeli gambar hantu sekalipun...

Memang negara ini terkenal sebagai 'nanny state' yang memberlakukan warganya seperti anak kecil dengan berbagai peraturan. Tetapi di lain pihak, peraturan ini dilakukan dengan konsisten dalam waktu cukup lama, bahakan menunggu satu generasi sampai terlihat hasilnya. Dan yang lebih penting lagi, dibarengi dengan peraturan lain untuk menjaga kebersihan udara secara keseluruhan. Seperti uji layak kendaraan, harga dan pajak mobil yang tinggi, ruang terbuka hijau yang cukup, sirkulasi pembuangan limbah dan sampah, sampai aturan mengenai ventilasi udara dalam ruangan.

Di Jakarta, satu hal yang cukup mencolok dan belum terselesaikan masalahnya adalah ruang terbuka hijau, sampah dan limbah publik, dan terutama asap kendaraan bermotor. Mungkin karena sudah terlanjur sedikitnya ruang hijau, dan diperlukan perangkat yang tidak mudah untuk uji layak kendaraan yang mencapai 2,9 juta unit, pemerintah kota mencari jalan termudah. Membuat peraturan baru yang cenderung meredam masalah lama. Di lain pihak untuk memberlakukan peraturan larangan merokok juga diperlukan kerja keras dan konsistensi dalam jangka waktu yang tidak sebentar.

Di negara lain seperti Irlandia dan Norwegia, serta di New York City dan California, larangan merokok menjadi perdebatan panjang. Hal ini disebabkan karena aturan ini bahkan diberlakukan di tempat-tempat hiburan yang biasanya dipenuhi asap rokok, seperti restoran, bar dan perkantoran. Alasan utamanya adalah asap rokok ini mempengaruhi kesehatan perokok pasif, orang yang tidak merokok tetapi berada dalam ruangan bersama perokok aktif. Walaupun alasan ini bisa diterima luas, ada hal-hal lain yang perlu jadi pertimbangan. Misalnya, perokok hanya memindahkan kebiasaan merokoknya ke luar ruangan dan menimbulkan polusi udara luar. Di New York bahkan ada kejadian terbunuhnya seorang penjaga pub (bouncer) karena ia meminta seorang perokok meninggalkan ruang pubnya, hanya dua minggu setelah larangan merokok ini diberlakukan.

Di Jakarta yang kadar emosi penduduknya cukup tinggi (disebabkan oleh berbagai hal yang menimbulkan depresi), larangan merokok perlu disosialisasi lebih luas lagi secara bertahap. Saya pribadi menyetujui adanya peraturan ini terutama di tempat-tempat seperti kendaraan umum dan sekolah, atau tempat publik lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah menelusuri permasalahan lain yang menyebabkan polusi udara dan perlunya peraturan daerah di sektor lain ini secara integral. Mengenai denda yang 50juta itu, mungkin bisa dibagi dua dengan denda untuk orang yang membuang sampah sembarangan misalnya. Lalu jika ada perokok yang tidak mampu membayar denda (kemungkinan yang sangat besar), dan terpaksa harus denda kurung sekian bulan, cukupkah ruang tahanan yang tersedia?

Hal lain mencakup kerjasama yang tinggi dengan pengelola ruang publik untuk mendukung aturan ini secara lebih mendetail (detail: hal kecil tetapi penting yang seringkali dilupakan). Dan sebagai tambahan, mengacu pada negara maju bukan secara parsial karena mengikuti tren yang berlaku untuk mempermudah penyelesaian masalah.

**********

Wednesday, February 02, 2005

Saung Baru


Belakangan aku lagi asik main di saung baru.
Memilih nama, menata letak, memberi warna, memasukkan barang, mematut-matut, 'masang bola' (meminjam istilah Damian), tidur lambat. Setelah hampir beres rasanya mau bersantai-santai, belum mood nulis. Dan tentu saja bermain salju yang cantik bersama temanku - yang - keras - kepala - tapi - masih - diantar - ke - potty....

But hei, aku mau ajak kalian main ke sana. Ke saung baru-ku, tempatku bermain dengan warna dan menjadi beadaholic. Penyakit adiktif di US yang nggak dilarang karena nggak menimbulkan penyakit atau bikin DUI*. Mungkin ini cuma hobby sementara, atau penggalan yang cuma mampir sejenak dalam sekepal hidupku. Tetapi seperti biasa, aku bisa belajar banyak... banyak sekali dari penggalan-penggalan semacam ini.

Ayo, mampir ke sini: jingga gems . Selalu terbuka buat masukan, ide, cacian dan tentu saja... order, hehehe.... :)

see u there!

*DUI = driving under influence (of addictive drugs)

Monday, January 24, 2005

Ruang Tunggu II

Sungguh, bukan bermaksud menulis sequel. Jadi menulis yang satu ini, karena kawan-kawan yang baik mengira aku sakit.... padahal tidak.

Ruang tunggu yang kutulis sebelumnya adalah sebuah analogi. Ruang tunggu sebagai state of mind. Mengapa kita berada di sebuah ruang tunggu? Karena kita dalam posisi SADAR sesuatu akan terjadi, di satu waktu tertentu. Yang paling ideal adalah kalau kita tahu APA yang bakal terjadi dan KAPAN hal itu akan terlaksana. Misalnya saat dalam perjalanan menunggu pesawat di bandara. Kita tahu mau ke mana dan jam berapa pesawat berangkat. Atau seorang ibu yang hamil dan tahu sembilan bulan lagi akan melahirkan.

Yang menyebalkan adalah saat kita tak tahu persis apa yang akan terjadi, dan entah kapan sesuatu itu tercapai, tetapi kita tetap harus menunggu. Misalnya firasat buruk. Atau suatu harapan yang sudah jadi sugesti, dan kita hanya bisa mengira-ngira tanpa tahu pasti. Yang paling parah adalah menunggu godot. Menunggu sesuatu yang mustahil terjadi.

Dalam skala besar kehidupan, penantian dipecah dalam fragmen-fragmen yang lebih terukur. Kapan lulus, kapan menikah, kapan melahirkan, kapan membuka bisnis sendiri, atau sekedar kapan pindah apartemen. Belum lagi ditambah faktor luar yang jadi obstruksi maupun akselerator. Seperti badai yang menunda penerbangan, atau angin yang mempercepat perahu layar. Calon suami yang mendadak ditugaskan ke Irak, atau pensiun cepat karena menang lotere.

Dari gradasi penatian itu, semua orang berada dalam posisi yang sama. Berada di ruang tunggu. Ruang yang mencakup dimensi metrik dan dimensi waktu. Jadi buat tiap orang dimensinya bisa luas sekali dalam skala semesta berkecepatan cahaya, atau hanya di satu ruang tunggu dokter gigi hanya dalam sekian menit. Ruang tunggu sebagai state of mind.

Maka dalam ruang tunggu semacam ini, apa yang kita lakukan menjadi penting. Karena penantian itu menjadi PROSES dalam dimensi ruang dan waktu yang seringkali tidak terukur, bahkan tidak disadari. Apa yang kamu lakukan saat dalam penantian itu? Apakah berjalan mondar-mandir menghitung langkah? Atau sibuk bertelepon mengurus ini itu? Atau gelisah karena sudah mulai kesemutan dan pantat terasa panas? Ataukah menyaksikan hidup orang lain di layar tivi? Apakah merasa asing dan tak betah? Atau merasa nyaman dan menikmati harum ruangan? Ataukah membatalkan janji dan urung menunggu?

Menjadikan ruang tunggu virtual di benak bisa menimbulkan kesadaran. Dan di satu titik aku menjumpai ruang tunggu yang absolut, semacam ini: Bahwa saat kita memasuki ruang tunggu gigantis bernama kehidupan ada satu pintu yang akan terbuka memanggil kita pada kematian.

Mungkin sebenarnya saat ini aku sedang tidak menunggu sesuatu dalam sadar. Duduk di kursi yang usang tapi nyaman itu cuma keinginan untuk jadi diri sendiri yang sudah lama kukenal dimana aku merasa nyaman, tak hendak mencoba kursi baru atau kursi yang lebih besar. Dan kalau aku ingin duduk manis, itu karena biasanya dalam penantian aku nggak bisa diam... (eh, bukan cerewet lho...)... jadi baris sisanya silakan direka sendiri... ;P

Friday, January 21, 2005

Ruang Tunggu


Sungguh, kali ini aku ingin duduk manis saja
duduk di bangku ruang tunggu yang usang tapi nyaman
memandang kemilau salju putih terbingkai jendela
mengecap kopi dan menghirup aromanya lama-lama
membaca majalah tua yang aku sudah hapal isinya
melonjorkan kaki dan menggoyangnya saat kesemutan
bersenandung lirih tanpa mengganggu pendengaran
dan....ah ya,
tentu saja menatap buah hati bermain dengan keretanya
menjawab celotehnya yang manis terseling keras kepala
melemparkan bola untuk ditangkapnya dengan tertawa

Sungguh, kali ini aku ingin duduk manis saja
duduk di bangku ruang tunggu yang usang tapi nyaman
tanpa ronta resah dan gelisah
menahan senut-senut dan segala bengkaknya
mengakrabi dingin dan mencandai jam dinding

Sungguh, kali ini aku ingin duduk manis saja
duduk di bangku ruang tunggu yang usang tapi nyaman
hingga saatnya pintu ruang itu terbuka
dan suara yang jernih mengalun dari balik daunnya
memanggilku, karena giliranku sudah tiba....

Monday, January 17, 2005

Re: philanthropia

Da,
Kemarin malam aku nonton concert of hope di tivi. Konser di NBC untuk menggalang dana buat korban tsunami. Sejak lama aku sudah nggak tertarik nonton acara berbau keartisan yang glamor. Bosan. Tapi kemarin aku sempat menikmati. Kenapa? Apa karena dibuka penyanyi Madonna yang live di London? Atau karena ada Brad Pitt di meja sudut sibuk bertelepon? Atau karena tanpa selingan iklan sama sekali? Atau karena konser itu sungguh-sungguh bersahaja? Atau karena ada mantan presiden US dan sederet artis papan atas tanpa harus pura-pura sempurna? Entahlah. Mungkin karena semuanya. Mungkin juga, karena yang satu ini sungguh beda.

Da,
Sepanjang acara aku sibuk bertanya-tanya. Karena sesungguhnya aku skeptis, bahwa orang-orang penting dan kaya itu rela membuang waktunya duduk menerima telepon sumbangan yang masuk. Bahwa mereka nggak dapat apa-apa dari situ. Bahwa yang mereka lakukan murni untuk satu hal. Kemanusiaan.
Di lain pihak aku berpikir mereka sudah terlalu tenar untuk mencari prestise, terlalu sibuk untuk sekedar duduk di sana, dan tanpa dibayar pula, walau entah kalau ada motif lainnya (ah ya, janganlah sebut-sebut misi keagamaan di sini, aku sudah bosan mendengarnya). Tolong bilang kalau aku terlalu berprasangka. Tolong aku Da, kalau kamu dapat jawabnya.

Da,
Mungkin memang aku terlalu berprasangka. Orang-orang ini mungkin punya kemauan besar untuk sekedar membantu. Bantuannya jadi besar karena mereka orang terkenal. Mereka sadar punya power untuk menggalang massa dan mengajak pengagumnya untuk ikut peduli. Mereka tahu tandatangan mereka bisa dilelang berharga tinggi. Makanya mereka bergabung dan menyumbang apa yang mereka bisa selain uang: kekuatan mengajak pemirsa untuk berpartisipasi. Lalu rewardnya apa? Mungkin juga nggak ada. Di titik ini aku sudah kehabisan ide untuk berprasangka. Prasangka juga yang menihilkan niat baik, maka aku juga tidak mau berpikir buruk.

Da,
Mungkin merekalah orang-orang yang disebut philanthropist. Mereka menyumbang waktu dan tenaga untuk membantu sesama. Termasuk anak-anak kecil yang menjual lemon dan mengorek tabungan koinnya untuk disumbangkan. Karena aku percaya bahwa anak kecil adalah manusia paling jujur, aku juga percaya mereka membantu apa yang mereka bisa, sesuai kemampuannya. Tanpa embel-embel dan motif apapun. Karena mereka sekedar pencinta manusia.

Da,
Alangkah baiknya kalau kita tak disekat perbedaan dan garis yang dibuat sendiri. Dan philanthropia jadi ide bersama. Ah, soal utopia yang satu ini, mungkin kelak aku sambung lagi tersendiri.

salam,
dari kawan di garis langit malam

Monday, January 10, 2005

Template Hadiah

Betul, ini template baru. Hadiah dari seorang kawan masa kuliah dan kos di Bandung dulu. Yang tak sampai setahun lalu terhubung lagi lewat blognya yang manis: Waterflow. Satu hal baru yang saya tangkap: ia seringkali disapa Bunda. Ya, siapa sangka kita yang dulunya mengisi waktu bercakap di kamar kos, mendengar kaset Alanis, sambil berbuat hal-hal lainnya ;p ... sekarang sudah jadi emak-emak!

Ia juga yang mendorong saya menulis di blog. Dari menulis lalu membuat saya terdorong untuk belajar membuat template baru (tentu saja, bukan memulai dari nol, toh sudah banyak template yang bagus). Hasilnya terlihat beberapa hari lalu, layout berwarna oranye yang duduk manis cenderung kaku, hehehe... Lalu kawan saya ini mengirim hasil karyanya yang katanya dibuat karena iseng. Nah lho... jadinya saya bilang aja, sering-seringlah iseng Noy... :)

Tadinya bernuansa hitam putih. Tapi saya rewel ingin punya background berwarna oranye. Entahlah, saya pencinta warna. Buat saya warna ada untuk dinikmati. Untuk dinikmati jadi harus dipakai. Jadilah diedit sedikit sana-sini. Dan voila... jadilah air putih di gelas itu menjadi fanta oranye yang segar... Hayo, tidakkah kamu jadi haus?

Buat saya hadiah ini sangat spesial karena dibuat sendiri, dengan menghabiskan sekian waktu dari 24 jam yang sedikit itu. Termakasih ya Noy...

Sunday, January 02, 2005

Janus


Tahun baru, walau seringkali menggelorakan gembira, terkadang mengawang rasa takut. Buat optimis ia mengusung masa depan, buat pesimis ia menyisakan air yang setengah kosong. Buat fatalis ialah waktu yang mengantar ke tempat tujuan, menuju akhir yang sudah ditentukan. Buatku tahun baru adalah seperti Janus, cikalnya January. Dewa Gerbang orang Roma yang mengantar ke sebermula.

Janus membuka gerbang surga di subuh hari untuk melepas pagi. Maka aku mengucap selamat tinggal pada matahari terbenam di penghujung tahun, karena esok ia bertugas menerangi bumi selama 365 hari lagi. Dan aku berdoa semoga ia belum bosan menjalankan tugasnya, walau di separuh belahan dunia kegelapan masih membayangi.

Janus menjadi punggawa awal dan akhir dalam tonggak hidup manusia. Ia juga mewakili bentang transisi. Antara panen dan tuai, antara perang dan damai, antara masa lalu dan sekarang. Ia harus ada, karena manusia cepat lupa, dan selalu butuh tonggak untuk mengingatkan. Bahwa yang kemarin terjadi bukan sekedar masa lalu, tetapi jadi memori yang terpatri di sudut hati. Bahwa tujuan menuai adalah memanen, dan tujuan perang adalah damai. Bahwa gerbang besar itu ada, dan kita harus bersiap melewatinya.

Janus adalah dewa berwajah dua yang bertolak belakang. Bukan karena ia hipokrit tetapi karena menggambarkan idealisme. Kesalahan yang sama tak akan terulang di masa datang, karena ia masih memandang kesalahan masa lalu. Buatku yang tidak mungkin punya mata di belakang kepala, cukuplah aku bercermin saja. Karena setiap garis wajah di ujung sana menandakan memori, transisi, dan juga masa nanti....