Thursday, June 21, 2012

Me, My Kids, and Daycare

Sewaktu kami tinggal di USA dan saya bekerja, Damian kami titipkan di daycare. Waktu itu usianya dua setengah tahun. Tentu saja karena tidak ada pilihan lain, terutama seperti di Indonesia yang mudah memiliki babysitter pribadi. Baby Daycare hingga Elementary School sangat umum dan wajar di sana. Bahkan didukung dengan peraturan dan hukum yang jelas. Maka institusi daycare sangat bisa diandalkan, walau tetap 'ada harga ada rupa' berpengaruh pula terhadap kualitas daycare.

Dulu saya survey ke beberapa tempat sebelum menitipkan Damian, bahkan sempat memindahkan Damian dari daycare pertamanya karena merasa tidak cocok dengan sistem yang diterapkan. Saya cukup beruntung waktu itu masih bekerja paruh waktu sehingga transisi pun bisa berjalan lebih halus. Walau, tentu saja, ibu dan anak dua-duanya berlinang air mata saat berpisah setelah sekian lama menghabiskan waktu bersama seharian sejak bayi. Sejak saat itu hingga Damian berpindah sekolah, ia terbiasa dengan suasana daycare.

Menurut saya daycare berefek positif karena jadwal yang teratur membuat Damian lebih terstruktur dan mandiri, juga kesempatan sosialisasi dengan teman-teman sebaya. Selain itu orang tua juga mendapat laporan harian; dilarang menitipkan anak yang demam/sakit, dan membayar denda (per-menit!) jika anak terlambat dijemput. Intinya, orangtua tetap dilibatkan penuh dalam menjaga/merawat anaknya, dan menghargai pengasuh. Kekurangan dari daycare? Tentu saja ada, seperti anak mudah tertular sakit dari teman (biasanya flu), kadang karena terlalu senang bermain dengan teman sampai rumah sudah lelah.

Sekarang setelah memiliki anak kedua, Fabian, tak dinyana kami menitipkan anak kedua kami ini di daycare bayi. Apa pasal?

Bayangan saya dengan tinggal di Indonesia akan sangat mudah mencari asisten rumah tangga. Ternyata harapan jauh dari kenyataan. Tidak ada yang sesuai keinginan saya, pun tidak ada yang bertahan lama menetap di rumah. Dan saya yakin bukan karena saya yang bermasalah dalam memperlakukan mereka. Kesimpulan saya, untuk membantu rumah tangga saja sulit, apalagi babysitter yang bagus dalam menjaga bayi? Tegakah saya meninggalkan bayi saya dengan babysitter di rumah berdua saja tanpa pengawasan keluarga? Tentu saja Tidak. Kondisi kami saat ini adalah orangtua kedua pihak tinggal di luar kota, jadi sama sekali tidak ada keluarga yang membantu mengawasi. Maka tidak ada pilihan lain selain menitipkan bayi di daycare. Sementara ini berhenti bekerja bukanlah pilihan buat saya.

Maka dimulailah kembali survey daycare yang sesuai dengan keinginan saya (oya, suami ikut menemani, tetapi keputusan tetap ada pada saya). Di Bandung boleh dibilang hanya ada satu -dua yang benar-benar bagus, sedikit yang bagus, dan cukup banyak yang biasa saja atau kurang menurut penilaian saya. Yang lebih sulit lagi adalah karena saya sendiri punya pengalaman menitipkan anak di daycare sebelumnya, jadi sedikit banyak saya berharap ada semacam standar yang menyerupai waktu di USA dulu. Kalau di Jakarta, mungkin daycare semacam itu akan menjadi amat sangat mahal. Untunglah di Bandung biaya daycare yang bagus masih dalam jangkauan. Akhirnya kami memilih salah satu daycare yang sekaligus satu lokasi dengan sekolah PAUD untuk tempat tumbuh kembang Fabian sehari-hari. Penilaiannya pertama-tama karena kebersihan tempat, sistem yang profesional, lingkungan yang sesuai dengan keinginan saya , pengasuh yang sayang anak plus trampil, dan terutama pengawasan pemilik dalam lingkungan daycare. Kelebihan lain adalah adanya klinik dan dokter anak yang masih berada dalam satu kompleks.

Waktu cuti melahirkan saya habis dan harus berpisah dengan Fabian, saya tersedu sepanjang jalan ke kantor. Bahkan ibu saya sendiri kurang mendukung, walau tidak bisa membantu lebih. Tapi saya berpikir, jutaan ibu lain mengalami hal yang sama, entah dititipkan di mertua, di rumah dengan babysitter, atau seperti saya, di daycare. Maka saya menguatkan hati. Pun saya harus memerah ASI untuk kebutuhan ASI Fabian setiap hari. Setelah saya berdamai dengan hati saya sendiri, ternyata banyak teman sekerja yang berkomentar negatif dengan keputusan saya menitipkan Fabian di daycare. Dengan tatapan tak percaya, beberapa berkomentar,” Haa... elo tegaa?” Jeeez... seolah saya sekejam ibu tiri. Akhirnya kalau ditanya orang yang kira-kira tidak sepandangan, saya tidak banyak cerita. Tapi kalaupun bercerita, saya cerita selengkap-lengkapnya, tentang pilihan saya, latar belakang, tempat yang saya pilih, dll.

Akhirnya Ibu saya dan teman yang kebetulan nebeng ikut mampir ke daycare Fabian mengakui; daycare pilihan saya bagus, pengasuh-pengasuhnya sangat terlihat sayang anak dan berpengalaman, terlebih Fabian tumbuh sehat dan aktif. Memang terkadang tertular flu, tetapi pertumbuhannya baik dan kami memperoleh laporan triwulan dari daycare, di luar buku laporan hariannya. Bahkan Fabian sangat apet dengan pengasuhnya, seperti keluarga sendiri. Saya seringkali bersyukur memperoleh tempat yang sesuai untuk Fabian sejauh ini. Walaupun seringkali saya kangen dengannya sewaktu bekerja, terutama setelah menghabiskan akhir minggu bersama. Well, ibu mana yang tidak?

Saat ambil rapor saya ngobrol dengan salah satu ibu yang bayinya baru masuk daycare. Ternyata kakak si bayi sudah lebih dulu dititipkan dan ibu ini puas dengan daycare yang sekarang. Ia juga trauma sewaktu anak pertamanya diasuh babysitter, karena ada kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan terhadap anaknya walaupun di rumahnya juga ada pembantu lain yang ikut mengawasi. Saya pikir untunglah saya tidak membiarkan Fabian diasuh babysitter sendirian saja. Sang ibu yang juga dokter ini bahkan mengatakan, perkembangan motorik anak keduanya lebih baik ketimbang anak pertama karena tidak sering digendong pengasuh daycare. Well, saya pikir, tentu saja ibu-ibu akan berusaha memberi yang terbaik untuk anaknya. Di masa mendatang saya yakin daycare akan semakin banyak dan berkembang karena kebutuhan dan karena tidak mudahnya mencari pengasuh/babysitter yang bisa diandalkan. Maka, kalau memang dibutuhkan, daycare bisa jadi pilihan.