Monday, January 24, 2005

Ruang Tunggu II

Sungguh, bukan bermaksud menulis sequel. Jadi menulis yang satu ini, karena kawan-kawan yang baik mengira aku sakit.... padahal tidak.

Ruang tunggu yang kutulis sebelumnya adalah sebuah analogi. Ruang tunggu sebagai state of mind. Mengapa kita berada di sebuah ruang tunggu? Karena kita dalam posisi SADAR sesuatu akan terjadi, di satu waktu tertentu. Yang paling ideal adalah kalau kita tahu APA yang bakal terjadi dan KAPAN hal itu akan terlaksana. Misalnya saat dalam perjalanan menunggu pesawat di bandara. Kita tahu mau ke mana dan jam berapa pesawat berangkat. Atau seorang ibu yang hamil dan tahu sembilan bulan lagi akan melahirkan.

Yang menyebalkan adalah saat kita tak tahu persis apa yang akan terjadi, dan entah kapan sesuatu itu tercapai, tetapi kita tetap harus menunggu. Misalnya firasat buruk. Atau suatu harapan yang sudah jadi sugesti, dan kita hanya bisa mengira-ngira tanpa tahu pasti. Yang paling parah adalah menunggu godot. Menunggu sesuatu yang mustahil terjadi.

Dalam skala besar kehidupan, penantian dipecah dalam fragmen-fragmen yang lebih terukur. Kapan lulus, kapan menikah, kapan melahirkan, kapan membuka bisnis sendiri, atau sekedar kapan pindah apartemen. Belum lagi ditambah faktor luar yang jadi obstruksi maupun akselerator. Seperti badai yang menunda penerbangan, atau angin yang mempercepat perahu layar. Calon suami yang mendadak ditugaskan ke Irak, atau pensiun cepat karena menang lotere.

Dari gradasi penatian itu, semua orang berada dalam posisi yang sama. Berada di ruang tunggu. Ruang yang mencakup dimensi metrik dan dimensi waktu. Jadi buat tiap orang dimensinya bisa luas sekali dalam skala semesta berkecepatan cahaya, atau hanya di satu ruang tunggu dokter gigi hanya dalam sekian menit. Ruang tunggu sebagai state of mind.

Maka dalam ruang tunggu semacam ini, apa yang kita lakukan menjadi penting. Karena penantian itu menjadi PROSES dalam dimensi ruang dan waktu yang seringkali tidak terukur, bahkan tidak disadari. Apa yang kamu lakukan saat dalam penantian itu? Apakah berjalan mondar-mandir menghitung langkah? Atau sibuk bertelepon mengurus ini itu? Atau gelisah karena sudah mulai kesemutan dan pantat terasa panas? Ataukah menyaksikan hidup orang lain di layar tivi? Apakah merasa asing dan tak betah? Atau merasa nyaman dan menikmati harum ruangan? Ataukah membatalkan janji dan urung menunggu?

Menjadikan ruang tunggu virtual di benak bisa menimbulkan kesadaran. Dan di satu titik aku menjumpai ruang tunggu yang absolut, semacam ini: Bahwa saat kita memasuki ruang tunggu gigantis bernama kehidupan ada satu pintu yang akan terbuka memanggil kita pada kematian.

Mungkin sebenarnya saat ini aku sedang tidak menunggu sesuatu dalam sadar. Duduk di kursi yang usang tapi nyaman itu cuma keinginan untuk jadi diri sendiri yang sudah lama kukenal dimana aku merasa nyaman, tak hendak mencoba kursi baru atau kursi yang lebih besar. Dan kalau aku ingin duduk manis, itu karena biasanya dalam penantian aku nggak bisa diam... (eh, bukan cerewet lho...)... jadi baris sisanya silakan direka sendiri... ;P

Friday, January 21, 2005

Ruang Tunggu


Sungguh, kali ini aku ingin duduk manis saja
duduk di bangku ruang tunggu yang usang tapi nyaman
memandang kemilau salju putih terbingkai jendela
mengecap kopi dan menghirup aromanya lama-lama
membaca majalah tua yang aku sudah hapal isinya
melonjorkan kaki dan menggoyangnya saat kesemutan
bersenandung lirih tanpa mengganggu pendengaran
dan....ah ya,
tentu saja menatap buah hati bermain dengan keretanya
menjawab celotehnya yang manis terseling keras kepala
melemparkan bola untuk ditangkapnya dengan tertawa

Sungguh, kali ini aku ingin duduk manis saja
duduk di bangku ruang tunggu yang usang tapi nyaman
tanpa ronta resah dan gelisah
menahan senut-senut dan segala bengkaknya
mengakrabi dingin dan mencandai jam dinding

Sungguh, kali ini aku ingin duduk manis saja
duduk di bangku ruang tunggu yang usang tapi nyaman
hingga saatnya pintu ruang itu terbuka
dan suara yang jernih mengalun dari balik daunnya
memanggilku, karena giliranku sudah tiba....

Monday, January 17, 2005

Re: philanthropia

Da,
Kemarin malam aku nonton concert of hope di tivi. Konser di NBC untuk menggalang dana buat korban tsunami. Sejak lama aku sudah nggak tertarik nonton acara berbau keartisan yang glamor. Bosan. Tapi kemarin aku sempat menikmati. Kenapa? Apa karena dibuka penyanyi Madonna yang live di London? Atau karena ada Brad Pitt di meja sudut sibuk bertelepon? Atau karena tanpa selingan iklan sama sekali? Atau karena konser itu sungguh-sungguh bersahaja? Atau karena ada mantan presiden US dan sederet artis papan atas tanpa harus pura-pura sempurna? Entahlah. Mungkin karena semuanya. Mungkin juga, karena yang satu ini sungguh beda.

Da,
Sepanjang acara aku sibuk bertanya-tanya. Karena sesungguhnya aku skeptis, bahwa orang-orang penting dan kaya itu rela membuang waktunya duduk menerima telepon sumbangan yang masuk. Bahwa mereka nggak dapat apa-apa dari situ. Bahwa yang mereka lakukan murni untuk satu hal. Kemanusiaan.
Di lain pihak aku berpikir mereka sudah terlalu tenar untuk mencari prestise, terlalu sibuk untuk sekedar duduk di sana, dan tanpa dibayar pula, walau entah kalau ada motif lainnya (ah ya, janganlah sebut-sebut misi keagamaan di sini, aku sudah bosan mendengarnya). Tolong bilang kalau aku terlalu berprasangka. Tolong aku Da, kalau kamu dapat jawabnya.

Da,
Mungkin memang aku terlalu berprasangka. Orang-orang ini mungkin punya kemauan besar untuk sekedar membantu. Bantuannya jadi besar karena mereka orang terkenal. Mereka sadar punya power untuk menggalang massa dan mengajak pengagumnya untuk ikut peduli. Mereka tahu tandatangan mereka bisa dilelang berharga tinggi. Makanya mereka bergabung dan menyumbang apa yang mereka bisa selain uang: kekuatan mengajak pemirsa untuk berpartisipasi. Lalu rewardnya apa? Mungkin juga nggak ada. Di titik ini aku sudah kehabisan ide untuk berprasangka. Prasangka juga yang menihilkan niat baik, maka aku juga tidak mau berpikir buruk.

Da,
Mungkin merekalah orang-orang yang disebut philanthropist. Mereka menyumbang waktu dan tenaga untuk membantu sesama. Termasuk anak-anak kecil yang menjual lemon dan mengorek tabungan koinnya untuk disumbangkan. Karena aku percaya bahwa anak kecil adalah manusia paling jujur, aku juga percaya mereka membantu apa yang mereka bisa, sesuai kemampuannya. Tanpa embel-embel dan motif apapun. Karena mereka sekedar pencinta manusia.

Da,
Alangkah baiknya kalau kita tak disekat perbedaan dan garis yang dibuat sendiri. Dan philanthropia jadi ide bersama. Ah, soal utopia yang satu ini, mungkin kelak aku sambung lagi tersendiri.

salam,
dari kawan di garis langit malam

Monday, January 10, 2005

Template Hadiah

Betul, ini template baru. Hadiah dari seorang kawan masa kuliah dan kos di Bandung dulu. Yang tak sampai setahun lalu terhubung lagi lewat blognya yang manis: Waterflow. Satu hal baru yang saya tangkap: ia seringkali disapa Bunda. Ya, siapa sangka kita yang dulunya mengisi waktu bercakap di kamar kos, mendengar kaset Alanis, sambil berbuat hal-hal lainnya ;p ... sekarang sudah jadi emak-emak!

Ia juga yang mendorong saya menulis di blog. Dari menulis lalu membuat saya terdorong untuk belajar membuat template baru (tentu saja, bukan memulai dari nol, toh sudah banyak template yang bagus). Hasilnya terlihat beberapa hari lalu, layout berwarna oranye yang duduk manis cenderung kaku, hehehe... Lalu kawan saya ini mengirim hasil karyanya yang katanya dibuat karena iseng. Nah lho... jadinya saya bilang aja, sering-seringlah iseng Noy... :)

Tadinya bernuansa hitam putih. Tapi saya rewel ingin punya background berwarna oranye. Entahlah, saya pencinta warna. Buat saya warna ada untuk dinikmati. Untuk dinikmati jadi harus dipakai. Jadilah diedit sedikit sana-sini. Dan voila... jadilah air putih di gelas itu menjadi fanta oranye yang segar... Hayo, tidakkah kamu jadi haus?

Buat saya hadiah ini sangat spesial karena dibuat sendiri, dengan menghabiskan sekian waktu dari 24 jam yang sedikit itu. Termakasih ya Noy...

Sunday, January 02, 2005

Janus


Tahun baru, walau seringkali menggelorakan gembira, terkadang mengawang rasa takut. Buat optimis ia mengusung masa depan, buat pesimis ia menyisakan air yang setengah kosong. Buat fatalis ialah waktu yang mengantar ke tempat tujuan, menuju akhir yang sudah ditentukan. Buatku tahun baru adalah seperti Janus, cikalnya January. Dewa Gerbang orang Roma yang mengantar ke sebermula.

Janus membuka gerbang surga di subuh hari untuk melepas pagi. Maka aku mengucap selamat tinggal pada matahari terbenam di penghujung tahun, karena esok ia bertugas menerangi bumi selama 365 hari lagi. Dan aku berdoa semoga ia belum bosan menjalankan tugasnya, walau di separuh belahan dunia kegelapan masih membayangi.

Janus menjadi punggawa awal dan akhir dalam tonggak hidup manusia. Ia juga mewakili bentang transisi. Antara panen dan tuai, antara perang dan damai, antara masa lalu dan sekarang. Ia harus ada, karena manusia cepat lupa, dan selalu butuh tonggak untuk mengingatkan. Bahwa yang kemarin terjadi bukan sekedar masa lalu, tetapi jadi memori yang terpatri di sudut hati. Bahwa tujuan menuai adalah memanen, dan tujuan perang adalah damai. Bahwa gerbang besar itu ada, dan kita harus bersiap melewatinya.

Janus adalah dewa berwajah dua yang bertolak belakang. Bukan karena ia hipokrit tetapi karena menggambarkan idealisme. Kesalahan yang sama tak akan terulang di masa datang, karena ia masih memandang kesalahan masa lalu. Buatku yang tidak mungkin punya mata di belakang kepala, cukuplah aku bercermin saja. Karena setiap garis wajah di ujung sana menandakan memori, transisi, dan juga masa nanti....