Tuesday, September 26, 2006

choo-choo....

oooh i can't wait... kenapa rasanya lama sekali? semalaman susah tidur menunggu hari ini. dan tadi tidur sepanjang jalan karena bangun terlalu pagi. sekarang sudah sampai pun masih harus menunggu... chugga-chugga-chugga-chugga-choo-choo...

 
suara itu menari-nari di kepalaku, asap hitam itu hadir di mimpiku, wajah birunya yang tersenyum bertebaran di ruang mainku. benarkah ia sungguh ada? biru, besar, dan bisa dinaiki? ahhh.. tak sabar rasanya. chugga-chugga-chugga-chugga-choo-choo... 
 
suara itu masih menari-nari di kepalaku. kali ini ditimpali suara aslinya, dari lokomotifnya yang raksasa, dengan asap hitam tebal melayang di angkasa. ohhh itu diaaaa.... chugga-chugga-chugga-chugga-choo-choo... 
 
aku melompat-lompat kegirangan, dibarengi ratusan anak lainnya. melihat wajah senyumnya ditimpali gerak bola matanya. it's coming, it's coming, thomas's coming... chugga-chugga-chugga-chugga-choo-choo... 
 
don't blame me if i like train so much... maybe too much.... 
[as if told by a four-year-old-boy in his special trip]

Tuesday, September 12, 2006

Tragedi

Dua malam berturut memelototi tivi. Total sekitar 5 jam setengah, tanpa iklan. Enggan diusik, malas bangkit dari depan layar. Titelnya The Path to 9/11. Dalam rangka mengingat kejadian September 11 lima tahun lalu. Konsepnya sejenis film G30S/PKI yang diputar tiap tahun menjelang Kesaktian Pancasila di Indonesia. (Eh, jadi bertanya-tanya, sebenarnya masih'sakti' nggak ya... Istilahnya itu lho, dipikir-pikir mistis banget: 'sakti', memang kerisnya empu atau naga terbang...?ah sudahlah, melantur). Terus: konsepnya saja yang sama, tapi dari isi dan plotnya jauh beda. Walau keduanya bukan murni dokumenter, Film The Path cenderung independen --tidak disponsori pemerintah dan berbasis laporan komisi 9/11-- ditambah tempo shoot yang cepat, nggak lama-lama menyorot isapan rokok atau tatapan mata. Begitu. Makanya irit berkedip, enggan melepas alur dan isi omongan yang padat.  
 
Dan ternyata kejadian hari itu berlatar belakang hampir satu dekade, saat basement gedung WTC diledakkan tapi gagal diruntuhkan tahun 1993. Film ini nggak segan-segan menuding ignoransi pemerintah, jalur birokrasi yang lambat berkeputusan dan kurangnya kerja sama antar badan pemerintahan --termasuk antara FBI dan CIA. Yang menarik, selain runtutan kejadian dalam rentang delapan tahun, satu jam terakhir berisi runtutan kejadian pada 11 September 2001. Lengkap dengan detik-detik saat petinggi pemerintahan duduk terpana menyaksikan runtuhnya gedung WTC lewat layar ruang konferensi. Detail lain yang menarik adalah tidak dibesar-besarkan/disorotnya para korban, melainkan hal-hal lain seperti putusnya saluran network telepon seluler saking tingginya lintas pembicaraan, atau laporan seorang istri yang suaminya berada di salah satu pesawat yang dibajak. 
 
Film ini tidak berusaha memancing emosi, bahkan menggelar sisi lain Amerika yang tidak melulu super-kuasa. Salah satu tokoh agen khusus FBI John O'Neill yang selama film muncul dalam posisi penting ternyata, surprisingly (karena saya memang tidak tahu sejarah tokoh ini), menjadi salah satu korban hari itu. Tragis, karena tokoh ini duduk dalam divisi keamanan nasional yang mendalami Al Qaeda dan percaya OBL adalah ancaman terhadap US, tetapi tidak diindahkan oleh FBI pusat. Hingga akhirnya ia meninggalkan FBI di musim panas 2001, lalu menjabat kepala keamanan gedung WTC, dan menjadi korban. Mungkin lebih tepat disebut ironis. US's ignorance isn't bliss anymore.  
 
Kebetulan, dua hari sebelumnya baru pinjam foreign movie Paradise Now. Film berbahasa Arab berlatar dua pemuda Palestina yang menyelinap ke Israel untuk.... Ah, panjang ceritanya, nonton saja sendiri. Film ini membuka mata dan bikin terpana. Menyaksikan satu sisi coin yang seringkali dihindari. Membuat benar salah jadi nisbi. Jauh di luar prototipe hollywood, setelah nonton film ini dan kemudian menyaksikan The Path to 9/11, it just makes you wonder....