"Aku merasa kosong" ujarnya, lamat. Tanpa binar semangat, pun tanpa semburat sendu.
"Kenapa?" tanyaku tanpa mengharap jawab. Aku tahu, kali ini bukan penjelasan yang penting. Hanya rasa. "Mungkin kamu sudah moksa," gurauku menyunting senyumnya. "Sudah di atas awan, nggak ingin apa-apa lagi, nggak merasa apa-apa lagi...." Pikirku, tiadakah lagi yang penting buatnya? Mungkin, harapku, hanya saat ini.
Senyumnya pudar, pandangnya kembali mengawang," Nggak tahu, kosong aja...." dan berlalu dari hadapku. Seribu kenapa menghujam benak. Tapi aku tahu, bukan penjelasan yang penting. Hanya rasa.
Saat harap terhempas dan melayang, mengundang harap lain yang tak lagi mampu menggayut senyum.
Saat uang tak lagi mampu menyogok keinginan, teronggok di celengan berselaput debu.
Saat langkah tergesa mengejar jabat menjadi lambat, tak lebih cepat dari merangkak.
Kerja jadi biasa, prestasi jadi klise, ambisi jadi memuakkan.
Ucap jadi basi, senyum jadi tawar, tawa jadi hampa.
Tak ada lagi kecewa, tak juga sesal. Kosong.
Itukah kosongnya? Seperti gelas yang airnya habis diminum? Atau gelap yang merayapi malam, atau desis statik setelah lagu usai? Kosong tanpa pretensi.... Seperti kertas yang penuh tulisan dan kemudian dihapus. Seperti menutup cerita di sebuah buku, atau menelepon kekasih yang jauh. Ada, namun tak terjamah. Memenuhi pikiran, sekaligus memeras otak hingga kering. Kosong, tak positif, tak pula negatif. Titik nol.
Hari ini ia tersenyum. Saat tulisanku belum usai, kosongnya sudah lalu. Sudah kuduga, kosong itu ada buat dia. Kosongnya adalah putihku. Saat rasaku tak berwarna, di satu masa.