Alkisah, seorang permaisuri dari raja Mangkunegaran seringkali ditinggalkan sang raja yang memiliki banyak selir. Ia merasa sangat kesepian dan diabaikan. Untuk membunuh waktu termangu, sang permaisuri mulai membatik. Mengambil motif bintang yang bertebaran di langit dari balik jendela istana, melukisi malam sendirian. Sekali waktu sang raja melihat karya sang permaisuri, dan menanyakan apa yang sedang dilukisnya. Taburan bintang di langit gelap, lambang kesepian menggayuti malam. Raja terenyuh. Lalu ia kembali ke istana dan meninggalkan selir-selirnya. Batik itu menyatukan lagi sang raja dan permaisuri. Motifnya dikenal sebagai batik truntum.
Cerita ini disampaikan padaku oleh kakakku, saat aku mulai belajar dasar membatik. Di luar perdebatan panjang tentang kepasrahan seorang istri yang ditinggalkan suaminya yang berselir banyak, dalam satu hal kami sepakat. Batik itu indah. Dan nggak gampang. Makanya adalah suatu seni tersendiri saat putri-putri jaman dulu bisa membuat batik tulis bermeter-meter dengan desain yang harus dicipatakan sendiri.
Aku sendiri beberapa kali terkena lelehan lilin panas, kesal karena tetesan lilin menodai kain, bahkan lengan tersenggol wajan. Butuh kesabaran dan konsistensi disamping kreasi. Beberapa potong kain aku habiskan sebelum satu lembar syal bisa kubatik bergambar bunga, kupu, capung dan kepik. Walau saat proses penyelupan warna terjadi kesalahan hingga hasilnya tidak sempurna, cukup puas rasanya bisa mulai belajar sesuatu, karya seni negeri sendiri. Apalagi langsung diklaim Damian sebagai miliknya. Karena warnanya biru muda.
***
"Pep, gue lagi pengen kelepon nih...."
"Apaan sih kayak orang ngidam aja, dari kemaren..."
"Abis dari kemaren belom ketemu keleponnya."
"Kan udah makan jajan pasar yang laen, ntar ajalah. Makanya bangun pagi-pagi ke pasar."
"Yaaa, tau sendiri gue bangunnya siang. Udah jauh-jauh masak nggak makan kelepon Pep...." liurku mulai menetes di ujung bibir, membayangkan lelehan gula merah yang mencelos dari bulatan hijau bertabur kelapa. Hmmm....
Aku uring-uringan.
Sampai pagi itu, saat aku ditinggal sendirian di rumah.
"Happy Birthdaaayyyy....!"
"Waaa... Makasihhh, apaan niy....?"
"Ini kelepon.... 33 biji, sesuai umur lo, awas nggak abisss!"
Aku membuka bungkusan daun kelapa, melihat bongkahan bola-bola hijau bertabur kelapa. Persis seperti yang kuidamkan. 33 biji. Hah....
"Bener nih nggak ada yang mau?" tawarku basa-basi.
Lalu kucomot bola itu. Satu-satu...
Jogjakarta, sometimes in February
Cerita ini disampaikan padaku oleh kakakku, saat aku mulai belajar dasar membatik. Di luar perdebatan panjang tentang kepasrahan seorang istri yang ditinggalkan suaminya yang berselir banyak, dalam satu hal kami sepakat. Batik itu indah. Dan nggak gampang. Makanya adalah suatu seni tersendiri saat putri-putri jaman dulu bisa membuat batik tulis bermeter-meter dengan desain yang harus dicipatakan sendiri.
Aku sendiri beberapa kali terkena lelehan lilin panas, kesal karena tetesan lilin menodai kain, bahkan lengan tersenggol wajan. Butuh kesabaran dan konsistensi disamping kreasi. Beberapa potong kain aku habiskan sebelum satu lembar syal bisa kubatik bergambar bunga, kupu, capung dan kepik. Walau saat proses penyelupan warna terjadi kesalahan hingga hasilnya tidak sempurna, cukup puas rasanya bisa mulai belajar sesuatu, karya seni negeri sendiri. Apalagi langsung diklaim Damian sebagai miliknya. Karena warnanya biru muda.
***
"Pep, gue lagi pengen kelepon nih...."
"Apaan sih kayak orang ngidam aja, dari kemaren..."
"Abis dari kemaren belom ketemu keleponnya."
"Kan udah makan jajan pasar yang laen, ntar ajalah. Makanya bangun pagi-pagi ke pasar."
"Yaaa, tau sendiri gue bangunnya siang. Udah jauh-jauh masak nggak makan kelepon Pep...." liurku mulai menetes di ujung bibir, membayangkan lelehan gula merah yang mencelos dari bulatan hijau bertabur kelapa. Hmmm....
Aku uring-uringan.
Sampai pagi itu, saat aku ditinggal sendirian di rumah.
"Happy Birthdaaayyyy....!"
"Waaa... Makasihhh, apaan niy....?"
"Ini kelepon.... 33 biji, sesuai umur lo, awas nggak abisss!"
Aku membuka bungkusan daun kelapa, melihat bongkahan bola-bola hijau bertabur kelapa. Persis seperti yang kuidamkan. 33 biji. Hah....
"Bener nih nggak ada yang mau?" tawarku basa-basi.
Lalu kucomot bola itu. Satu-satu...
Jogjakarta, sometimes in February