Entah sejak kapan Damian mulai menyebutkan satu kata itu. Why? Mungkin awalnya tidak kusadari, karena awalnya hanya menanyakan masalah 'sepele'. "Why do people eat, Ma?" "Biar tambah besar dan kuat," jawabku singkat. Dan ia manggut-manggut. Lalu,"Why do we pray, Ma?" "We should be thankful and ask for blessings." Habis ini ia akan menanyakan "What is blessings, Ma?" Kali ini aku mesti berpikir dulu sebelum menjawab. Itu masih biasa.
Kemudian setiap kali aku minta dia melakukan atau tidak melakukan sesuatu langsung disambarnya,"Why, Ma?" Ohhh, rasanya tidak habis-habisnya aku berucap menjelaskan panjang lebar hanya untuk menjawab satu kata itu. Setiap kali ia bertanya sebelum melakukan apa yang kuminta. Itu masih kuanggap biasa. Dan selalu bisa dijelaskan alasannya.
Film pertama Damian di bioskop, Spiderman 3. Seru, banyak action, dan Damian antusias menyaksikannya. Yang lebih seru lagi,setiap ada adegan yang tidak dimengerti ia akan bertanya,"Why Spiderman turned black,Ma?" "Why the Sandman jadi bad guy,Ma?" "Why Harry jadi goodfriend lagi, Ma?" Dengan suaranya yang nyaring. Di dalam bioskop. Dan aku sibuk menjawab berbisik-bisik. Oh well, untunglah film anak-anak. Banyak anak-anak, dan nggak terlalu penting buatku mengikuti setiap adegan.
Belakangan, variasi dan bobotnya bertambah. Seringkali aku 'terjebak' menjawab panjang lebar. "What's inside this, Ma?" Telunjuknya menyentuh dahinya. "Brain." Kupikir sudah, titik. "Why do we have brain, Ma?" Dan kutatap dia dengan raut menyerah-malas-menjawab-tapi-selalu-nggak-tega, dan berkicaulah aku hingga wajahnya menunjukkan kepuasan disertai manggut-manggut. Entah mengerti atau tidak. Damian juga suka menceritakan mimpinya. Setiap pagi ia bercerita tentang mimpinya semalam. Kupikir mungkin sebagian benar, sebagian khayalan. Lalu,"Why do we have dreams, Ma?" Kali ini jawabku,"I'm not sure, Damian. Let me find out about that, OK?" Untunglah kali ini ia cukup puas, aku hanya berharap ia lupa. Ternyata tidak.
Cogito ergo sum, I think therefore I am. Ia bukan cuma seorang anak, tapi manusia yang utuh, berpikir. Aku jadi terpekur, sudah lama sekali aku tak bertanya 'mengapa'. Tidak banyak lagi yang jadi kejutan rasanya. Berita, cerita, bahagia, derita, hidup. Tidak lagi menimbulkan pertanyaan 'kenapa'. Sudah kurang rasa ingin tahu, antusiasme melihat hal baru. Menerima dan menyerap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dirasakan. Seringkali tanpa pertanyaan. Would that make me less of a human?
Kemudian setiap kali aku minta dia melakukan atau tidak melakukan sesuatu langsung disambarnya,"Why, Ma?" Ohhh, rasanya tidak habis-habisnya aku berucap menjelaskan panjang lebar hanya untuk menjawab satu kata itu. Setiap kali ia bertanya sebelum melakukan apa yang kuminta. Itu masih kuanggap biasa. Dan selalu bisa dijelaskan alasannya.
Film pertama Damian di bioskop, Spiderman 3. Seru, banyak action, dan Damian antusias menyaksikannya. Yang lebih seru lagi,setiap ada adegan yang tidak dimengerti ia akan bertanya,"Why Spiderman turned black,Ma?" "Why the Sandman jadi bad guy,Ma?" "Why Harry jadi goodfriend lagi, Ma?" Dengan suaranya yang nyaring. Di dalam bioskop. Dan aku sibuk menjawab berbisik-bisik. Oh well, untunglah film anak-anak. Banyak anak-anak, dan nggak terlalu penting buatku mengikuti setiap adegan.
Belakangan, variasi dan bobotnya bertambah. Seringkali aku 'terjebak' menjawab panjang lebar. "What's inside this, Ma?" Telunjuknya menyentuh dahinya. "Brain." Kupikir sudah, titik. "Why do we have brain, Ma?" Dan kutatap dia dengan raut menyerah-malas-menjawab-tapi-selalu-nggak-tega, dan berkicaulah aku hingga wajahnya menunjukkan kepuasan disertai manggut-manggut. Entah mengerti atau tidak. Damian juga suka menceritakan mimpinya. Setiap pagi ia bercerita tentang mimpinya semalam. Kupikir mungkin sebagian benar, sebagian khayalan. Lalu,"Why do we have dreams, Ma?" Kali ini jawabku,"I'm not sure, Damian. Let me find out about that, OK?" Untunglah kali ini ia cukup puas, aku hanya berharap ia lupa. Ternyata tidak.
Cogito ergo sum, I think therefore I am. Ia bukan cuma seorang anak, tapi manusia yang utuh, berpikir. Aku jadi terpekur, sudah lama sekali aku tak bertanya 'mengapa'. Tidak banyak lagi yang jadi kejutan rasanya. Berita, cerita, bahagia, derita, hidup. Tidak lagi menimbulkan pertanyaan 'kenapa'. Sudah kurang rasa ingin tahu, antusiasme melihat hal baru. Menerima dan menyerap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dirasakan. Seringkali tanpa pertanyaan. Would that make me less of a human?
4 drops:
lately someone accused me for not trusting her stories (non fiction, real stories), just because I asked her too much. Lah bawaan dari kuliah jurnalistik he he he...
--durin--
(deg degan menanti saat whyism-nya Fabian)
bukannya 'i know therefore i am'? tapi dibasikan oleh Damian sendiri; "i dont know therefore iam (alive to find out kan?)"
Gw juga suka pusing sama pertanyaan anak. Paling gampang sih; "tanya ibu!"
soen sayang buat Yoes.
Durin, iya nih mesti mulai banyak nanya lagi, belajar dari anak kecil...
Abi, bisa juga begitu... malu bertanya sesat di jalan... kamu sama aja Iyus suka ngoper pertanyaan anak, hehe...
Adik saya yg paling kecil dulu juga begitu. Dan oleh ayah saya, dia dikasih penjelasan panjang lebar. Kadang terpuaskan, kadang tidak. Wajar kok, kan kita g secanggih Google ato Wiki. Tp menurut saya, ada hal yg penting dibalik itu. Masa2 anak merasa ingin tau, adalah masa pembentukan kepribadian dasar. Momen yg sangat tepat untuk mengajarkan kelembutan, nilai2 dan ibroh dibalik suatu fenomena/kejadian... Saya rasa anda benar dengan selalu menjawab pertanyaan-nya. Kesabaran dan kasih sayang yg tulus akan senantiasa membekas dan akan mewarnai kepribadiannya kelak...
Kerendahan Hati, Kesederhanaan dan Kejujuran. Itu dulu yang ditanamkan oleh Ayah saya.
:D
Salam kenal
~kang.siau.hi@gmail.com~
Post a Comment