...Love had given me wings so I must fly....
Sekelumit yang kuingat saat kita menonton berdua, Jalu, entah apa filmnya. Tetapi selalu terngiang kala kita bersama. Denganmu aku mampu melayang walau canggung, mampu menukik tanpa harus terbentur. Karenamu aku menyusuri jembatan pelangi, menggarisi senja yang jingga, menyibak setapak cakrawala.
Aku harus terbang, Jalu. Karena aku diberi sayap untuk melayang. Setinggi yang aku sanggup, sejauh yang aku mampu. Tidakkah kaulihat, sayapku mampu mengarung jarak? Tidakkah kau ecap nikmat kapas awan di ketinggian udara?
Tetapi sekarang sayapku patah. Tergeletak di tanah basah menggiris ngilu. Aku berusaha menyeret sayap-sayapku, tapi bumi terlalu kuat menawanku. Aku rawat luka-lukanya supaya sembuh seperti dulu, tapi patahannya malah memberati ragaku.
Aku mengerti kamu marah, Jalu. Marah terhadap perbedaan kita. Marah terhadap nasib ‘bangsamu’ yang porak poranda. Ah, bahkan kamu sudah memakai kata itu. Bangsamu dan bangsaku. Tidakkah kau mau menyingkap yang sebenarnya? Bahwa mereka adalah mereka dan bukan karena bangsa? Bahwa orang biadab yang merenggut kehidupan saudaramu tidak sama dengan tetangga mamamu? Bahwa aku adalah aku? Bahwa kita menjejak bumi yang sama, beratap langit yang itu juga?
Aku ingin menggapai kamu, tapi aku tak tahu kemana harus menuju. Aku ingin kamu kembali menyentuh sayap patahku, supaya ia bisa mengangkatku lagi. Tolong bisikkan padaku, kemana aku harus menyeret sayapku, Jalu. Karena aku tahu akan sembuh... kalau saja kamu mengajakku untuk memahami. Dan belajar terbang lagi....
*****
Gue pingin banget nulis, karena memang ada yang pingin ditulis. Tapi sekarang weekend, udah malem lagi, otak males diajak mikir. Jadi gue post aja ini, sekelumit dari tulisan yang sudah lama tak tersentuh.... Oh iya, tunggu kelanjutannya: surat balasan dari Jalu buat ceweknya ini.
Sekelumit yang kuingat saat kita menonton berdua, Jalu, entah apa filmnya. Tetapi selalu terngiang kala kita bersama. Denganmu aku mampu melayang walau canggung, mampu menukik tanpa harus terbentur. Karenamu aku menyusuri jembatan pelangi, menggarisi senja yang jingga, menyibak setapak cakrawala.
Aku harus terbang, Jalu. Karena aku diberi sayap untuk melayang. Setinggi yang aku sanggup, sejauh yang aku mampu. Tidakkah kaulihat, sayapku mampu mengarung jarak? Tidakkah kau ecap nikmat kapas awan di ketinggian udara?
Tetapi sekarang sayapku patah. Tergeletak di tanah basah menggiris ngilu. Aku berusaha menyeret sayap-sayapku, tapi bumi terlalu kuat menawanku. Aku rawat luka-lukanya supaya sembuh seperti dulu, tapi patahannya malah memberati ragaku.
Aku mengerti kamu marah, Jalu. Marah terhadap perbedaan kita. Marah terhadap nasib ‘bangsamu’ yang porak poranda. Ah, bahkan kamu sudah memakai kata itu. Bangsamu dan bangsaku. Tidakkah kau mau menyingkap yang sebenarnya? Bahwa mereka adalah mereka dan bukan karena bangsa? Bahwa orang biadab yang merenggut kehidupan saudaramu tidak sama dengan tetangga mamamu? Bahwa aku adalah aku? Bahwa kita menjejak bumi yang sama, beratap langit yang itu juga?
Aku ingin menggapai kamu, tapi aku tak tahu kemana harus menuju. Aku ingin kamu kembali menyentuh sayap patahku, supaya ia bisa mengangkatku lagi. Tolong bisikkan padaku, kemana aku harus menyeret sayapku, Jalu. Karena aku tahu akan sembuh... kalau saja kamu mengajakku untuk memahami. Dan belajar terbang lagi....
*****
Gue pingin banget nulis, karena memang ada yang pingin ditulis. Tapi sekarang weekend, udah malem lagi, otak males diajak mikir. Jadi gue post aja ini, sekelumit dari tulisan yang sudah lama tak tersentuh.... Oh iya, tunggu kelanjutannya: surat balasan dari Jalu buat ceweknya ini.