Waktu kecil, kita merasa spesial. Memiliki sesuatu yang nggak dimiliki orang lain. Mampu melakukan sesuatu yang nggak mampu dilakukan orang lain (dengan lebih baik, mungkin). Setelah punya anak sendiri, aku baru sadar, bahwa rasa 'spesial' itu datangnya dari orang tua. Mengalami sendiri ternyata anak sangat spesial buat kami berdua. Ia yang terbaik, paling luar biasa, setidaknya buat sang orang tua. Maka si kecil merasa dirinya paling spesial, seperti yang kita rasakan waktu masih kecil.
Lalu kita jadi besar. Ternyata rasa spesial itu masih ada. Walau banyak dikelilingi orang-orang berbakat ini-itu lainnya, kita yakin bahwa kita punya satu bakat spesial. Bakat spesial yang kemudian jadi cita-cita. Dan berlarilah kita mengejar sang cita-cita.
Kemudian kita sekolah, bekerja, masih dengan rasa spesial di dada. Mungkin kita mampu merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan apa yang kita punya. Walau secuil. Mungkin. Dan ternyata di dunia yang penuh dengan cita-cita sama, kita temukan juga orang-orang yang spesial. Orang-orang yang mungkin lebih spesial. Dalam kerja, dalam hidup, dalam hubungan. Dan kita jadi bertanya-tanya. Seberapa spesial kita sebenarnya? Di dunia yang dipenuhi orang spesial itu, bisakah kita mencungkil sejumput perbedaan?
Lalu kita berjalan statis. Mengikuti arus yang dipenuhi orang-orang spesial, yang tadinya kita kira paling tidak kita termasuk di dalamnya. Saat inilah, seringkali kita terombang-ambing. Kehilangan arah, mencari sesuatu di luar diri yang mungkin belum tertemukan. Barangkali kita menemukan sesuatu yang lebih spesial di ujung kelingking yang tersembunyi. Pencarian yang kadang bikin tersesat.
Kemudian di satu titik kita putus asa. Ternyata kita tidak spesial sama sekali. "When everybody is super, no one will be," kata Syndrome. Dan sesaat pula kita terdiam. Kita butuh waktu untuk terpekur. Membalik sebuah pertanyaan," Apa yang akan kulakukan dengan apa yang kupunya/kubisa?" dengan,"Apa yang sebenarnya kuinginkan?" Pertanyaan yang kadang butuh waktu sepanjang sisa hidup untuk mencari jawabnya. Sambil dilipur dendang Four Season,"...let's hang on to what we've got, don't let go cos we got alot..."
Unik menjadi kata yang absurd.
Lalu aku membaca sebuah buku yang secara angin-anginan kubaca. Bahwa kita ada dengan tugas yang spesial. Spesial sebagaimana kuumpamakan demikian: Bukan spesialnya sebuah mesin mobil, tetapi spesialnya satu sekrup di mesin mobil itu. Sekrup yang bisa diganti dengan mudah kalau rusak, tapi selama ia berfungsi si mesin tetap bergantung pada sekrup itu. Maka jadilah sekrup yang baik. Semampu yang kamu bisa. Karena sekrup itu spesial, seperti setetes oli, sepotong kabel, secuil metal. Supaya semesta mobil bisa terus bergulir.
Tapi kita seringkali terlupa betapa spesialnya kita, karena ternyata kita butuh pengakuan bahwa kita masih spesial dari orang lain. Terutama dari orang terdekat. Sama seperti waktu kecil. Dan memiliki anak kecil yang luar biasa spesial buat kita, ternyata membuat kita juga merasa spesial. Tetap merasa berbeda, dan karenanya bisa membuat perbedaan. Paling tidak buat orang-orang terdekat.
Buat orang terdekat menjelang hari jadinya: walau jarang kubilang, you're always be my special someone.
Lalu kita jadi besar. Ternyata rasa spesial itu masih ada. Walau banyak dikelilingi orang-orang berbakat ini-itu lainnya, kita yakin bahwa kita punya satu bakat spesial. Bakat spesial yang kemudian jadi cita-cita. Dan berlarilah kita mengejar sang cita-cita.
Kemudian kita sekolah, bekerja, masih dengan rasa spesial di dada. Mungkin kita mampu merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan apa yang kita punya. Walau secuil. Mungkin. Dan ternyata di dunia yang penuh dengan cita-cita sama, kita temukan juga orang-orang yang spesial. Orang-orang yang mungkin lebih spesial. Dalam kerja, dalam hidup, dalam hubungan. Dan kita jadi bertanya-tanya. Seberapa spesial kita sebenarnya? Di dunia yang dipenuhi orang spesial itu, bisakah kita mencungkil sejumput perbedaan?
Lalu kita berjalan statis. Mengikuti arus yang dipenuhi orang-orang spesial, yang tadinya kita kira paling tidak kita termasuk di dalamnya. Saat inilah, seringkali kita terombang-ambing. Kehilangan arah, mencari sesuatu di luar diri yang mungkin belum tertemukan. Barangkali kita menemukan sesuatu yang lebih spesial di ujung kelingking yang tersembunyi. Pencarian yang kadang bikin tersesat.
Kemudian di satu titik kita putus asa. Ternyata kita tidak spesial sama sekali. "When everybody is super, no one will be," kata Syndrome. Dan sesaat pula kita terdiam. Kita butuh waktu untuk terpekur. Membalik sebuah pertanyaan," Apa yang akan kulakukan dengan apa yang kupunya/kubisa?" dengan,"Apa yang sebenarnya kuinginkan?" Pertanyaan yang kadang butuh waktu sepanjang sisa hidup untuk mencari jawabnya. Sambil dilipur dendang Four Season,"...let's hang on to what we've got, don't let go cos we got alot..."
Unik menjadi kata yang absurd.
Lalu aku membaca sebuah buku yang secara angin-anginan kubaca. Bahwa kita ada dengan tugas yang spesial. Spesial sebagaimana kuumpamakan demikian: Bukan spesialnya sebuah mesin mobil, tetapi spesialnya satu sekrup di mesin mobil itu. Sekrup yang bisa diganti dengan mudah kalau rusak, tapi selama ia berfungsi si mesin tetap bergantung pada sekrup itu. Maka jadilah sekrup yang baik. Semampu yang kamu bisa. Karena sekrup itu spesial, seperti setetes oli, sepotong kabel, secuil metal. Supaya semesta mobil bisa terus bergulir.
Tapi kita seringkali terlupa betapa spesialnya kita, karena ternyata kita butuh pengakuan bahwa kita masih spesial dari orang lain. Terutama dari orang terdekat. Sama seperti waktu kecil. Dan memiliki anak kecil yang luar biasa spesial buat kita, ternyata membuat kita juga merasa spesial. Tetap merasa berbeda, dan karenanya bisa membuat perbedaan. Paling tidak buat orang-orang terdekat.
Buat orang terdekat menjelang hari jadinya: walau jarang kubilang, you're always be my special someone.