Berita itu terpampang jelas di layar monitor. Jatah visa kerja di US untuk tahun fiskal 2005 sudah habis. Pemerintah US tidak akan menerima aplikasi visa kerja untuk orang asing [H1B] hingga bulan April tahun depan, dengan ijin mulai kerja pada bulan Oktober 2005. Kesimpulannya buatku jelas, hingga setahun penuh ke depan, tertutup kemungkinan buatku untuk mencari kerja lagi.
[Entah kenapa ada satu bagian dalam diri gue pingin kerja lagi. Dulu di Bandung gue sambil kuliah sudah magang di perusahaan interior, habis lulus tiga tahun di Jakarta gawe di konsultan arsitektur dan interior plus proyek2 sampingan, terus pindah ke Singapore kerja dua tahun di konsultan arsitektur juga. Gue pingin kembali ke tempat yang sudah gue tinggalkan dengan rela dua tahun lalu, saat gue melahirkan anak yang memang ingin gue urus sendiri. Dan gue nggak pernah menyesal dengan keputusan itu. Gue terbiasa mengatur dan merencanakan hidup gue sendiri. Bukan gue nggak percaya ada campur tangan yang Di Atas, cuma gue berusaha meraih apa yang gue rencanakan. Dan maunya sih setelah Damian usia dua tahun gue pingin kerja lagi.]
Berita itu sudah jadi konfirmasi sebuah ucap perpisahan yang sudah kugumam dua minggu sebelumnya. Saat harapanku membuncah setelah diterima bekerja di perusahaan interior-furniture ternama di US, sebagai Designer Assistant. Hanya ada satu kendala, mereka menawarkan gaji di bawah standar rata-rata yang diperbolehkan untuk memulai proses aplikasi visa. Kenapa tampak rumit? Sebenarnya nggak. Syarat aplikasi visa H1B untuk orang asing dasarnya kurang lebih begini: kerjanya dalam bidang 'speciality occupation' [arsitektur termasuk di dalamnya], minimal lulusan sarjana dengan pengalaman kerja sesuai jalurnya, disponsori oleh perusahaan yang menerima kerja, dengan gaji standar minimum di state masing2 sesuai latar belakang dan pengalaman. Ada hal-hal yang lain yang menentukan memang, tetapi syarat2 di atas sudah jadi saringan untuk memulai urusan keimigrasian. Sudah bisa ditebak, untuk perusahaan satu ini, di point terakhir aku terhambat.
[Gue sudah melalui wawancara paling enggak di empat perusahaan. Konsultan arsitektur pertama bilangnya sih tertarik dengan portfolio gue, tapi berpikir keras setelah tahu harus mensponsori visa gue, yang artinya perusahaan dia bakal bayar biaya administrasi dll minimal seribu dolar.
Perusahaan kedua di bulan Maret, setelah presentasi ke empat orang , gue rada kaget juga, langsung menerima gue. Semua nggak ada masalah, begitupun gaji. Ehh... nggak tahunya pas mau ngurus visa, jatah visa tahun ini-2004 sudah habis! Gue nggak bisa aplikasi visa dan kerja sampai bulan oktober tahun ini. Perusahaan ini nggak bisa nunggu, butuh orangnya kan saat itu juga. Kecewa juga sebenarnya, tetapi saat itu memang Damian belum dua tahun, jadinya gue masih nggak apa2, dan hal ini bikin gue optimis paling nggak kualifikasi gue memenuhi standar orang sini.
Konsultan ketiga kelihatannya tertarik, tetapi tampak hati2 karena sudah terbiasa menerima kerja orang asing. Karena belum bisa kerja sampai oktober ini, dia nawarin solusi, kerja aja dulu di sini, dibayarnya nanti setelah visanya keluar, alias agak2 ilegal dulu. Gue bukan nggak percaya sama dia, karena beberapa teman gue juga melalui hal yang sama. Tapi waktu itu masih bulan Juli, jadi kalo nunggu sampai Oktober, gue 'diutangin' dulu tiga bulan...Wah mending nggak dulu deh, mending ngurus Damian di rumah....
Memang nggak mudah mau kerja di negara orang, kecuali mau dibayar rendah sekalian atau punya outstanding quality (penelti, sekolah di sini), atau punya koneksi. Di sini aja orang banyak yang nganggur, ngapain bayar dan sponsorin orang asing? Sampai terakhir ke perusahaan yang barusan udah mau terima gue ini.]
Sejak dulu aku percaya, suatu hal terjadi sesuai harapan jika memenuhi 'the right person, the right time, the right place'. [Jadi inget kampanye Kerry "the wrong war at the wrong time in the wrong place" heheh...]. Maka terjadilah, termasuk secuil keberuntungan. [No question, tentu saja dengan ijin yang Maha]. Jadi dari sini kesimpulanku, memang belum waktunya atau mungkin sudah bukan waktunya lagi. Mungkin aku harus belajar berpikir informal, terbuka untuk berbagai kemungkinan. It's another country, with another rules, but with some other possibilities.
[Gue sempat shock karena nggak siap dengan kemungkinan ini, apapun alasannya. Suatu kemungkinan yang harusnya sudah gue siapin sejak nikah dan punya anak dan pindah ke negara lain. Tapi dua minggu lalu, dengan rela, gue sudah mengucapkan salam perpisahan, dalam hati. Dengan masa lalu dan pengalaman yang terlanjur gue tekuni dan sukai. Dengan gambar dan resume yang sudah gue simpan dengan rapi. Di laci yang terkunci.]
[Entah kenapa ada satu bagian dalam diri gue pingin kerja lagi. Dulu di Bandung gue sambil kuliah sudah magang di perusahaan interior, habis lulus tiga tahun di Jakarta gawe di konsultan arsitektur dan interior plus proyek2 sampingan, terus pindah ke Singapore kerja dua tahun di konsultan arsitektur juga. Gue pingin kembali ke tempat yang sudah gue tinggalkan dengan rela dua tahun lalu, saat gue melahirkan anak yang memang ingin gue urus sendiri. Dan gue nggak pernah menyesal dengan keputusan itu. Gue terbiasa mengatur dan merencanakan hidup gue sendiri. Bukan gue nggak percaya ada campur tangan yang Di Atas, cuma gue berusaha meraih apa yang gue rencanakan. Dan maunya sih setelah Damian usia dua tahun gue pingin kerja lagi.]
Berita itu sudah jadi konfirmasi sebuah ucap perpisahan yang sudah kugumam dua minggu sebelumnya. Saat harapanku membuncah setelah diterima bekerja di perusahaan interior-furniture ternama di US, sebagai Designer Assistant. Hanya ada satu kendala, mereka menawarkan gaji di bawah standar rata-rata yang diperbolehkan untuk memulai proses aplikasi visa. Kenapa tampak rumit? Sebenarnya nggak. Syarat aplikasi visa H1B untuk orang asing dasarnya kurang lebih begini: kerjanya dalam bidang 'speciality occupation' [arsitektur termasuk di dalamnya], minimal lulusan sarjana dengan pengalaman kerja sesuai jalurnya, disponsori oleh perusahaan yang menerima kerja, dengan gaji standar minimum di state masing2 sesuai latar belakang dan pengalaman. Ada hal-hal yang lain yang menentukan memang, tetapi syarat2 di atas sudah jadi saringan untuk memulai urusan keimigrasian. Sudah bisa ditebak, untuk perusahaan satu ini, di point terakhir aku terhambat.
[Gue sudah melalui wawancara paling enggak di empat perusahaan. Konsultan arsitektur pertama bilangnya sih tertarik dengan portfolio gue, tapi berpikir keras setelah tahu harus mensponsori visa gue, yang artinya perusahaan dia bakal bayar biaya administrasi dll minimal seribu dolar.
Perusahaan kedua di bulan Maret, setelah presentasi ke empat orang , gue rada kaget juga, langsung menerima gue. Semua nggak ada masalah, begitupun gaji. Ehh... nggak tahunya pas mau ngurus visa, jatah visa tahun ini-2004 sudah habis! Gue nggak bisa aplikasi visa dan kerja sampai bulan oktober tahun ini. Perusahaan ini nggak bisa nunggu, butuh orangnya kan saat itu juga. Kecewa juga sebenarnya, tetapi saat itu memang Damian belum dua tahun, jadinya gue masih nggak apa2, dan hal ini bikin gue optimis paling nggak kualifikasi gue memenuhi standar orang sini.
Konsultan ketiga kelihatannya tertarik, tetapi tampak hati2 karena sudah terbiasa menerima kerja orang asing. Karena belum bisa kerja sampai oktober ini, dia nawarin solusi, kerja aja dulu di sini, dibayarnya nanti setelah visanya keluar, alias agak2 ilegal dulu. Gue bukan nggak percaya sama dia, karena beberapa teman gue juga melalui hal yang sama. Tapi waktu itu masih bulan Juli, jadi kalo nunggu sampai Oktober, gue 'diutangin' dulu tiga bulan...Wah mending nggak dulu deh, mending ngurus Damian di rumah....
Memang nggak mudah mau kerja di negara orang, kecuali mau dibayar rendah sekalian atau punya outstanding quality (penelti, sekolah di sini), atau punya koneksi. Di sini aja orang banyak yang nganggur, ngapain bayar dan sponsorin orang asing? Sampai terakhir ke perusahaan yang barusan udah mau terima gue ini.]
Sejak dulu aku percaya, suatu hal terjadi sesuai harapan jika memenuhi 'the right person, the right time, the right place'. [Jadi inget kampanye Kerry "the wrong war at the wrong time in the wrong place" heheh...]. Maka terjadilah, termasuk secuil keberuntungan. [No question, tentu saja dengan ijin yang Maha]. Jadi dari sini kesimpulanku, memang belum waktunya atau mungkin sudah bukan waktunya lagi. Mungkin aku harus belajar berpikir informal, terbuka untuk berbagai kemungkinan. It's another country, with another rules, but with some other possibilities.
[Gue sempat shock karena nggak siap dengan kemungkinan ini, apapun alasannya. Suatu kemungkinan yang harusnya sudah gue siapin sejak nikah dan punya anak dan pindah ke negara lain. Tapi dua minggu lalu, dengan rela, gue sudah mengucapkan salam perpisahan, dalam hati. Dengan masa lalu dan pengalaman yang terlanjur gue tekuni dan sukai. Dengan gambar dan resume yang sudah gue simpan dengan rapi. Di laci yang terkunci.]
4 drops:
Gue setuju sama pendapat elo Ki, memang jadi ibu itu penting bgt, dan gue enjoy spending time with Damian. Mungkin karena dulu gue terbiasa kerja, jadi pola pikirnya emang mesti diubah. Thanks buat artikel dan masukannya :).
saatnya bikin usaha sendiri neh... *wink-wink* :)
Atta: Betul, semua ada masanya. Soen dari Damian buat tante Atta.
Neenoy: Betul juga, mungkin skrg masanya bisnis sdr..:P
Post a Comment