If you're bored in New York, you're boring (anonymous).
Dua hari yang lalu kami sekeluarga ke New York City (Manhattan tepatnya), selama dua hari. Sampai sekarang aku masih menghela napas setiap kali menyebut namanya dalam desah. Hanya sebagian kecil yang kulihat, tapi banyak sekali yang kudapat. Dan tak ada kata yang tepat untuk melukiskannya. Aku harus menyebut "apa yang tidak ada" padanya, karena terlalu banyak "apa yang ada" padanya. Untuk melukiskannya aku harus membandingkannya dengan sesuatu, karena tak cukup hanya satu dua coretan untuk membuat sketsanya. Sampai sekarang belum juga kutemukan kata-kata yang bisa menumpahkan seluruh isi otak dan hatiku, tidak juga cukup buku-buku yang ingin kukutip tentang kota ini.
Mungkin, sepercik ini bisa cukup mewakili:
Sekali waktu kita berlibur ke desa, camping naik gunung, atau berwisata ke pantai. Di tengah pemandangan indah, alam yang megah, wangi bunga, dan suara lebah, ada satu rasa yang mencuat tiba-tiba. Betapa Maha-nya Sang Pencipta, betapa kecilnya kita manusia. Kita bagai sebungkil jiwa tak berarti, dibandingkan limpahan karya yang meneriakkan kata Sang Khalik.
Dan kita bersyukur, berdoa, dalam sunyi alam.
Manhattan adalah semua dalam kebalikannya. Di sini, kita akan merasa sangat berarti sebagai manusia yang mampu mencipta. Semua gedung berteriak, jalan raya bersorak, manusia berkeringat dalam kerja, berbinar dalam suasana riuh, gembira, lelah, sedih, dua puluh empat jam sehari. (Itupun mungkin dirasa kurang oleh penghuninya). Ia kembali pada makna: in the Greek word, human means "they who look up". Kota ini mengingatkan kita: manusia sangat berarti dengan apa yang ada padanya, mampu mencipta yang kita pikirkan, mencapai apa yang kita inginkan, dan survive dalam berbagai cobaan. Oh ya, tentu saja aku sempat terhenyak dengan kebebasannya, tapi di sini orang begitu sibuk merayakannya kebesaran dan kebebasan masing-masing hingga tak sempat peduli dengan yang lain. Manusia sangatlah Besar, dan Bebas, sia-sialah yang tidak merengkuh harinya.
Kota ini adalah wujud nyata dari jiwa "Carpe Diem" : Seize The Day. Karena manusia diciptakan untuk mencipta, and live the life to the fullest.
Dan aku bersyukur, berdoa, dalam riuh manusia.
Mungkin, sepercik ini bisa cukup mewakili:
Sekali waktu kita berlibur ke desa, camping naik gunung, atau berwisata ke pantai. Di tengah pemandangan indah, alam yang megah, wangi bunga, dan suara lebah, ada satu rasa yang mencuat tiba-tiba. Betapa Maha-nya Sang Pencipta, betapa kecilnya kita manusia. Kita bagai sebungkil jiwa tak berarti, dibandingkan limpahan karya yang meneriakkan kata Sang Khalik.
Dan kita bersyukur, berdoa, dalam sunyi alam.
Manhattan adalah semua dalam kebalikannya. Di sini, kita akan merasa sangat berarti sebagai manusia yang mampu mencipta. Semua gedung berteriak, jalan raya bersorak, manusia berkeringat dalam kerja, berbinar dalam suasana riuh, gembira, lelah, sedih, dua puluh empat jam sehari. (Itupun mungkin dirasa kurang oleh penghuninya). Ia kembali pada makna: in the Greek word, human means "they who look up". Kota ini mengingatkan kita: manusia sangat berarti dengan apa yang ada padanya, mampu mencipta yang kita pikirkan, mencapai apa yang kita inginkan, dan survive dalam berbagai cobaan. Oh ya, tentu saja aku sempat terhenyak dengan kebebasannya, tapi di sini orang begitu sibuk merayakannya kebesaran dan kebebasan masing-masing hingga tak sempat peduli dengan yang lain. Manusia sangatlah Besar, dan Bebas, sia-sialah yang tidak merengkuh harinya.
Kota ini adalah wujud nyata dari jiwa "Carpe Diem" : Seize The Day. Karena manusia diciptakan untuk mencipta, and live the life to the fullest.
Dan aku bersyukur, berdoa, dalam riuh manusia.
*****
Sisi jalan yang kulalui
dipenuhi mesin kuning menderu
Mendongak di hadapanku
cipta ragam warna dalam surya
Putih Kuning Merah Coklat Hitam
Kuterabas cipta Sang Maha
Kunikmati dengung jalan raya dan gedung
Kurengkuh cakrawala lampaui mata silau
Kuhirup harum karya sang cipta
di tiap detik, tiap langkah...
0 drops:
Post a Comment