Friday, December 10, 2004

Angels & Demons; Antara Putih dan Hitam


Menempatkan perdebatan antara science vs religi bersamaan dengan thriller tampaknya berlebihan. Angels & Demons -yang kubaca akibat penasaran setelah Da Vinci Code dan ternyata punya plot bertempo sama- membuktikan ia jadi tergopoh ingin memampatkan seluruh tema dalam satu gerbong. Jadinya di akhir halaman malah mengecewakan, karena endingnya terlalu dipaksakan. Apalagi ia ingin jadi bombastis dan serba mega ala Amerika. Buat pembaca di sini disebut seru dan highly recommended, tapi buat pembaca dari luar US -Itali atau Jepang misalnya- banyak hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya tokoh bernama Olivetti yang diambil dari merek mesin ketik padahal di Itali sendiri nama ini nggak umum dipakai. Atau kontradiksi tokoh-tokohnya yang agak berlebihan. Buatku sendiri kelompok Illuminati -yang jadi sentral dan diulas cukup panjang di sini- ternyata hanya jadi kedok satu orang malah membuat antiklimaks yang disayangkan. Rekomendasi: bolehlah dibaca di waktu senggang, tapi nggak usah dikoleksi, heheh... :)

Science dan religi yang kulihat selama ini adalah dua dunia yang terpisahkan, hampir tabu untuk dibicarakan. Karena dibesarkan dan sekolah yang memang mengacu ke arah ini. Akibatnya banyak fakta science yang tidak seluruhnya terjelaskan, guru pun belum siap dengan pertanyaan bertopik ini. Akibat lain adalah fakta sejarah yang juga mengambil jalan putar dan dijelaskan dalam kerangka menghindari terjadinya konflik. Akibat besarnya: kita diajarkan hal-hal yang terkadang bukan hal sebenarnya dan berdampak pada kebingungan, atau ketidaksiapan pada fakta science dan sejarah. Akibatnya di lain pihak: aku malah merasakan pentingnya faith yang sudah disusupkan akibat model pendidikan yang kusebut di atas saat menghadapi kontradiksi. Mungkin ini yang disebut pendidikan nurani.

Yang menarik dalam Angels & Demons adalah penjelasan panjang lebar mengenai CERN (pencipta WWW) di Switzerland, dan konsep mengenai antimatter yang dijelaskan dengan mudah. Mengingatkan pada Burung-Burung Manyar-nya alm. YB Mangunwijaya yang juga sedikit mengupas CERN, dan menurutku punya tema lebih menarik dalam gaya literatur bertempo lambat. Pertentangannya kurang lebih sama tapi lebih humanis. Antara idealisme dan praktikalisme, antara luar negeri dan dalam negeri, antara rasio dan hati. Dari dua kutub kontradiksi, seringkali wilayah abu-abu tidak ada sama sekali. Dan saat ini terjadi, kita harus memilih. Pilihan yang seringkali belum tentu benar, tetapi seringkali tidak salah jika kita menuruti nurani. Karya literatur negeri sendiri yang sudah diterjemahkan sebagai The Weaverbirds dalam bahasa Inggris ini meraih SEA Write Award dari Thailand dan menurutku patut dikoleksi.

Kalau mau jujur, kita -ah, aku tepatnya- seringkali lebih memilih abu-abu saja. Karena ia tak harus dicap gelap karena hitam, atau diejek terang karena putih. Karena ia tak harus bangun kala siang dan tak harus lelap di waktu malam. Di bawah abu-abu kita -ah, aku tepatnya- tak harus bertanggung jawab pada siapa-siapa. Dan saat harus memilih, aku tak pernah harus ke ujung kutubnya (toh ada manusia lain di sana...). Akibatnya, terlalu enak terlalu lama berada di bawah kelabu, aku bungkam saat gelap menyerang dan silau saat terang membentang...aku hanya melayang kabut di atas tanah hitam berlangit putih...

2 drops:

neenoy said...

*ngangguk2 setuju sama komen atta* :)

btw, jadi pengen baca burung2 manyar lagi. termasuk salah satu buku yang gue rela beli sampe dua kali, karena yang pertama ilang :)

dy said...

Wah Atta... boleh banget tuh... kamu tahu caranya...? :)
Iya Noy... baca buku bagus emang suka diulang2 ya...