Ruang tunggu yang kutulis sebelumnya adalah sebuah analogi. Ruang tunggu sebagai state of mind. Mengapa kita berada di sebuah ruang tunggu? Karena kita dalam posisi SADAR sesuatu akan terjadi, di satu waktu tertentu. Yang paling ideal adalah kalau kita tahu APA yang bakal terjadi dan KAPAN hal itu akan terlaksana. Misalnya saat dalam perjalanan menunggu pesawat di bandara. Kita tahu mau ke mana dan jam berapa pesawat berangkat. Atau seorang ibu yang hamil dan tahu sembilan bulan lagi akan melahirkan.
Yang menyebalkan adalah saat kita tak tahu persis apa yang akan terjadi, dan entah kapan sesuatu itu tercapai, tetapi kita tetap harus menunggu. Misalnya firasat buruk. Atau suatu harapan yang sudah jadi sugesti, dan kita hanya bisa mengira-ngira tanpa tahu pasti. Yang paling parah adalah menunggu godot. Menunggu sesuatu yang mustahil terjadi.
Dalam skala besar kehidupan, penantian dipecah dalam fragmen-fragmen yang lebih terukur. Kapan lulus, kapan menikah, kapan melahirkan, kapan membuka bisnis sendiri, atau sekedar kapan pindah apartemen. Belum lagi ditambah faktor luar yang jadi obstruksi maupun akselerator. Seperti badai yang menunda penerbangan, atau angin yang mempercepat perahu layar. Calon suami yang mendadak ditugaskan ke Irak, atau pensiun cepat karena menang lotere.
Dari gradasi penatian itu, semua orang berada dalam posisi yang sama. Berada di ruang tunggu. Ruang yang mencakup dimensi metrik dan dimensi waktu. Jadi buat tiap orang dimensinya bisa luas sekali dalam skala semesta berkecepatan cahaya, atau hanya di satu ruang tunggu dokter gigi hanya dalam sekian menit. Ruang tunggu sebagai state of mind.
Maka dalam ruang tunggu semacam ini, apa yang kita lakukan menjadi penting. Karena penantian itu menjadi PROSES dalam dimensi ruang dan waktu yang seringkali tidak terukur, bahkan tidak disadari. Apa yang kamu lakukan saat dalam penantian itu? Apakah berjalan mondar-mandir menghitung langkah? Atau sibuk bertelepon mengurus ini itu? Atau gelisah karena sudah mulai kesemutan dan pantat terasa panas? Ataukah menyaksikan hidup orang lain di layar tivi? Apakah merasa asing dan tak betah? Atau merasa nyaman dan menikmati harum ruangan? Ataukah membatalkan janji dan urung menunggu?
Menjadikan ruang tunggu virtual di benak bisa menimbulkan kesadaran. Dan di satu titik aku menjumpai ruang tunggu yang absolut, semacam ini: Bahwa saat kita memasuki ruang tunggu gigantis bernama kehidupan ada satu pintu yang akan terbuka memanggil kita pada kematian.
Mungkin sebenarnya saat ini aku sedang tidak menunggu sesuatu dalam sadar. Duduk di kursi yang usang tapi nyaman itu cuma keinginan untuk jadi diri sendiri yang sudah lama kukenal dimana aku merasa nyaman, tak hendak mencoba kursi baru atau kursi yang lebih besar. Dan kalau aku ingin duduk manis, itu karena biasanya dalam penantian aku nggak bisa diam... (eh, bukan cerewet lho...)... jadi baris sisanya silakan direka sendiri... ;P